Dua tahun sudah, kita hidup bersama dengan virus. Masyarakat umum biasa menyebutnya virus Corona (Covid-19). Masih teringat jelas dalam ingatan, masa awal pandemi, bagaimana kebingungannya manusia menghadapi virus ini. Secara pribadi, saat itu aku melihat ada dua kemungkinan. Pertama kemungkinan dampak yang ringan. Seperti halnya kasus flu burung dan flu babi beberapa tahun silam. Kemungkinan kedua, dampaknya akan sangat besar. Banyak orang yang meniggal secara mendadak, di jalan-jalan dan di rumah-rumah. Ternyata dua kemungkinan itu tidak benar-benar terjadi. Setelah dua tahun ini rasanya hidup kembali normal. Apalagi saya yang hidup di desa. Bedanya hanya saat keluar rumah orang memakai masker. Selebihnya tetap sama, kegiatan berjalan jalan normal dan tidak ada kekhawatiran berlebih.
Pandemi juga mengingatkan bahwa manusia tak memiliki kuasa sejati. Karena kesejatian hanya milik Allah. Sebuah contoh dari kehidupanku sendiri. Awal pandemi 2020 aku masih dalam fase mengerjakan skripsi. Tepat semester delapan. Waktu yang sangat pas untuk lulus sebenarnya. Hal tersebut sudah menjadi rencana saat awal masuk kuliah. Namun seketika rencana itu kandas. Padahal secara pribadi aku sudah memilih judul penelitian yang cukup mudah aku selesaikan. Tantangannya adalah penelitian ke lapangan, bertemu masyarakat. Masa awal-awal pandemi yang membuat orang takut keluar rumah. Apalagi bertemu dengan orang asing. Semester delapan berlalu begitu saja. Rencana manusia hanya tinggal rencana. Singkatnya aku selesaikan skripsi di semester sembilan. Tepatnya di akhir tahun 2020, tentunya dengan perjuangan yang cukup berat. Semakin menguatkan manusia hanya bisa berencana. Sisanya adalah kapasitas Allah yang berkehendak.
Ternyata dampak pandemi tidak hanya menggagalkan rencana waktu kuliahku. Namun sampai susahnya mencari kerja. Lulus di tengah gempuran pandemi membuyarkan rencana yang telah aku susun jauh-jauh hari. Usaha untuk mencari jaringan sudah aku lakukan sejak semester tiga. Semester enam dan tujuh saat itu banyak tawaran untuk bekerja. Namun secara halus aku menolaknya. Menyelesaikan skripsi dulu, pikirku saat itu. Jaringan di luar kampus yang aku bangun seketika ambyar. Banyak orang kena PHK. Dan aku lulusan baru hanya bisa gigit jari. Sulit sekali mencari pekerjaan. Sekali lagi menandakan manusia hanya bisa berencana. Sisanya adalah kapasitas Allah yang berkehendak.
“Jangan rendahkan dirimu dengan uang.”
Masa-masa sulit saat menjadi pengangguran membuat frustasi. Beruntung hal tersebut tak berlangsung lama. Berdamai dengan keadaan menjadi kunci. Berat memang, tapi itu harus dilakukan. Kalau tidak bisa-bisa gila karena keadaan. Titik balik yang aku rasakan adalah dengan berdamai dengan diri sendiri. Mengambil pekerjaan seadanya dulu sambil menunggu pekerjaan yang lebih baik. Batu loncatan istilahnya. Merelakan pekerjaan apapun dilakukan yang penting bekerja dulu. Perlahan setelah menemui beberapa kegagalan saat interview, akhirnya bisa diterima kerja. Saat itu aku jadi teringat inti dari perkataan Mbah Nun. Jangan rendahkan dirimu dengan uang. Hal itu secara tak sengaja aku temukan dalam proses kehidupanku. Yaa, setelah tidak begitu berambisi mencari pekerjaan dan berdamai dengan diri sendiri, akhirnya malah bisa diterima kerja. Menjadi jurnalis di salah satu media terkemuka. Alhamdulillah.
Rencana-rencanaku yang gagal, tampaknya sebagai penanda bahwa manusia benar-benar tidak pantas untuk menyombongkan diri. Betapa tidak, saat masih kuliah dulu banyak tawaran kerja. Aku cukup percaya diri saat itu, setelah lulus tidak mengalami fase menjadi pengangguran. Pandemi menyelamatkanku dari rasa sombong itu. Terimakasih aku ucapkan makhluk yang bernama Corona. Kalau tidak karena ada pandemi bisa-bisa saja aku semakin sombong dengan terwujudnya rencana yang telah aku siapkan. Setelah rencana sudah buyar, kemudian aku berdamai dengan keadaan. Tidak ada ambisi berlebihan menuhankan rencana. Ternyata tawaran kerja malah banyak yang datang. Aku dibuat takjub. Kenapa saat aku merencanakan tidak terjadi, namun setelah aku berdamai dengan keadaan atau ikhlas menerimanya malah banyak hal yang mendekat. Memang rencana Allah yang paling tepat.
Setelah semua itu, aku menjadi paham posisi. Sebagai manusia, memang boleh berencana. Apapun itu. Namun harus sadar yang memujudkan rencana itu bukanlah manusia. Tapi kuasa Allah. Rencana cukup untuk membuat jalan kita semakin terarah dan bergairah dalam hidup. Sedangkan hasilnya kita pasrahkan pada yang Maha Pencipta. Itu aku dapatkan awalnya dari ilmu-ilmu maiyah, namun aplikasi yang nyata setelah adanya pandemi. Pandemi menjadi sebuah penegasan-penegasan bahwa manusia memang tak berdaya. Terimakasih pandemi. Aku sadar posisi sebagai manusia.
Saat ini aku masih menyusun rencana-rencana yang akan aku kejar. Namun bedanya sekarang lebih siap kalau rencana itu tidak terwujud atau justru diganti dengan rencana Allah. Tidak terlalu berambisi, tapi tidak juga terlalu pesimis. Penempatan posisi yang tepat saja. Seperti istilah dari Simbah, kapan kudu ngegas , kapan kudu ngerem. Hidup tidak dalam bayang-bayang ambisi rencana memang lebih nikmat. Namun untuk menemukan itu memang butuh proses dan kembali berproses. Aku menyadari mungkin saat ini aku dalam fase kesadaran itu. Namun tidak menutup kemungkinan suatu hari lagi ada masalah yang datang, aku lupa dengan kesadaran saat ini. Kesadaran yang muncul saat masa pandemi.