Tema lincak tentang budaya tanding pada beranda GS bulan ini memang membingungkan bagi kami yang masih sangat fakir akan pemahaman. Haus akan pendar-pendar cahaya ilmu dan pengertian dari sebuah kata atau retorika dan juga tema yang sering mengalir dari Samudera Ilmu Maiyah. Setiap saat dan dimanapun berada kita disuguhkan dengan realita dinamika yang sangat kompleks. Disetiap detik waktu dan keadaan kita diajarkan oleh samudera maiyah untuk tetap balance dan presisi juga ikhtiar untuk sadar bahwa semua adalah kehendak Allah SWT.
Ikhtiar kesadaran dan usaha-usaha yang kita lakukan setiap hari itu jika tidak keliru kok sepertinya sedikit menyerempet dengan tema budaya tanding tersebut. Setiap detik dan setiap jengkal waktu maupun tempat kita dihadapkan untuk tanding. Tanding dengan diri sendiri, tanding dengan hati sanubari, tanding dengan keadaan, tanding dengan kesombongan, tanding dengan keangkuhan, tanding dengan kemalasan, serta tanding-tanding dengan ribuan tandingan yang muncul dari internal pribadi sendiri maupun eksternal diri kita ini.
Jangan-jangan budaya tanding itu memang energi bagi berjalannya kehidupan ini? Atau memang sengaja Allah menciptakan dan memunculkan pertandingan-pertandingan untuk menjadikan manusia sebagai hamba yang mutakin. Hamba yang linuwih serta menempa pribadi hamba-hamba yang memiliki _”ahsani takwim”_ untuk lebih baik lagi jasmani dan rohaninya.
Budaya tanding rasa-rasanya, angen-angennya dan tangkapan nalar kami yang terbatas kok kayaknya memang substansinya melatih manusia untuk survive dalam keadaan bagaimanapun. Kalau memakai filosofi jawa rasa-rasanya banyak sekali benang merah yang dapat kita tarik untuk menyandingkan tema dan pengertian budaya tanding ini.
Misalnya “ojo kagetan lan ojo gumunan” melatih diri kita agar berusaha tenang dalam hal apapun. Tidak gampang terheran-heran dan juga ikhtiar mengajak diri sendiri untuk tenang menandingi hal yang seharusnya mengagetkan kita. Entah itu permasalahan sosial di masyarakat atau lebih tinggi lagi yaitu persoalan bangsa dan negara. Sering kita saksikan pemegang kekuasaan saling bertanding untuk berebut kepentingan-kepentingan yang entah sampai kapan. Sulit memang menandingkan hal yang budaya tandingnya ambigu dan diluar kebiasaan kita.
Setiap hari kita disuguhkan dengan pertandingan-pertandingan yang bermacam-macam. Kadang kita juga melihat manusia bertanding dengan sesuatu yang tidak ada selesainya. Lebih parahnya menyita banyak sekali kesempatan dan waktu untuk tanding dengan hal lain yang lebih berguna. Entahlah kita bingung dengan pertandingan-pertandingan hiruk pikuk dunia.
Tibalah tulisan ini pada paragraph terakhir, kami masih bertanding dengan diri sendiri, menimbang-nimbang tentang pantas atau tidaknya menulis ini. Cakap atau tidaknya diri ini ikut mengisi tulisan dengan tema ini. Sudah benar atau malah salah kaprahkah tulisan dan kalimat-kalimat tulisan ini. Atau memang menandingi budaya tanding itu adalah ikhtiar diri untuk mengenali yang sejati. Melalui dinamika _pepaese dunyo_ kita bertanding dengan apapun juga, dimana saja, kapanpun jua. Sebagai ikhtiar menjadi hamba yang di ridhoi-Nya.