Tak tahu pasti tepatnya kapan waktunya berkenalan dengan maiyah. Sependek ingatanku mulai tahun 2017 ikut pengajian di Baiturrahman. Kalau secara Individu Mbah Nun, tahu dari membaca quotes, buku, dan video tentang Mbah Nun. Kalau tidak salah sejak SMA. Yakni tahun 2014-an. Menarik memang pemikiran yang beliau tuangkan dalam tulisan di buku. Efek dari pemikiran beliau, aku menjadi paham. Fungsi dan tugas pokok sekolah. Hanya untuk mempersiapan diri untuk bekerja. Harapanku saat itu lebih dari itu, aku pikir sekolah adalah tempat yang nyaman untuk belajar. Harapanku tentang sekolah salah. Ternyata sekolah hanya tempat untuk mengejar apa yang dinamakan kurikulum. Puncaknya adalah Ujian Nasional. Aku jalani masa SMAku dengan biasa aja. Tak mau berharap lebih. Malah sempat ada keinginan untuk tidak sekolah. Namun itu aku urungkan, mengingat orang tua susah payah membiayai aku sekolah. Perkenalan dengan pemikiran Mbah Nun itu, aku jadi tidak berorietasi pada nilai mata pelajaran, akibatnya nilai memang tak begitu bagus. Rangking 3-5 dari bawah sudah biasa. Namun suatu ketika ada Try Out Ujian Nasional, satu kelas sepakat untuk tidak mencontek. Hasilnya aku bisa bertengger di 5 besar. Kelasku memang kelas unggulan di sekolahku.
Nilai kejujuran yang aku bangun, sumbernya dari Mbah Nun juga, karena rasa khawatir nilai jelek seketika tak terpikirkan. Penting adalah memiliki kejujuran. Kepada pribadi dan kepada orang lain. Merasa ada kenyamanan dengan pemikiran beliau, aku terus mencari beliau. Paling mudah lewat video yang ada di youtube. Bahkan banyak sekali dulu ditahun 2017 mendownload video beliau. Ketika itu tanpa sengaja ada video yang bercerita tentang simpul maiyah. Dan salah satunya ada di Semarang. Aku coba mencarinya. Karena akan lebih menarik jika bertemu langsung daripada lewat youtube.
Aku coba cari tahu lewat facebook dan Instagram tentang Gambang Syafaat. Dua kali aku nggak jadi ikutan. Padahal sudah hadir di Masjid Baiturrahman. Posisi pengajian atau sinau bareng tidak terlihat jelas. Pamflet juga tidak ada di depan masjid. Terpaksa saat itu aku pulang lagi. Aku mengira rutinan tanggal 25 malam libur bulan itu. ternyata tidak. Circleku tidak ada yang rutin ikut maiyahan. Aku coba cari tahu sendiri. Bulan berikutnya tanggal 25 sengaja aku tunggu. Seminggu sebelumnya aku benar-benar mencari tahu. Dimana letak kumpul sinau bareng itu pada malam tanggal 25 akhirnya ketemu.
Senang, bingung, dan nyantai. Perasaanku saat itu. melihat banyak orang yang didominasi kaum muda yang kumpul bareng. Ketawa dan nyanyi bareng. Ini baru pertama kali aku temui. Konsep pengajian yang bisa dikatakan unik. Boleh sambil ngopi, rokok, dan makan. Benar-benar santai dan pikiran menjadi plong. Serasa bisa merefresh pikiran setelah dipusingkan dengan rutinitas di kampus. Soal ilmu, banyak sekali yang aku dapatkan. Lebih dari sekadar yang aku dapatkan di kampus. Aku rajin mencatat hal-hal yang penting dalam diskusi itu. Beberapa menjadi judul tulisanku. Seperti tulisanku di blog pribadi ‘Bagaimana jadinya jika pemilihan presiden seperti pemilihan imam salat’. Terinspirasi dari diskusi di acara Gambang Syafaat. Lupa tepatnya kapan.
Intinya dari hasil catatan yang aku tulis dalam acara Gambang Syafaat, beberapa aku kembangkan menjadi tulisan. Iseng-iseng aja saat itu. karena kuliah juga begitu-begitu aja. Dari tulisan-tulisan itu ada yang selesai menjadi essai. Ada yang hanya berhenti menjadi judul saja. Namun yang menurut penilaianku, beberapa judul atau tema yang aku tulis cukup menarik. Beda dari yang lain. Aku juga masih suka membacanya sampai saat ini. Bahkan ketika membacanya saat ini, bisa berubah atau semakin berkembang tulisanku. Padahal selisih menulisku baru empat tahun. Apalagi besok kalau sudah 10 tahun, akan semakin berkembang lagi dari tulisan yang inspirasinya dari Gambang Syafaat. ‘Kulak’an Tulisan dan Ide’.
Terimakasih Gambang Syafaat
Aku masih ingat betul, pertama kali berangkat Gambang Syafaat sama teman satu kontrakan. Namanya Syarif. Dia mengaku tidak begitu paham dengan diskusi yang disampaikan. Tapi dia menikmati acara itu. aku perdalam lagi dengan pertanyaanku. Kebetulan aktif juga di pers kampus. Singkatnya temenku yang bernama Syarif ini menikmati atmosfir suasananya. Kata dia, ketemu ekosistem yang nyaman, damai, dan santai. tertawa dan bercanda. Dia hampir selalu mau jika aku ajak untuk menemani maiyahan. Walaupun diatas jam 12 dia hampir dipastikan duduk sambil ketiduran. Merasa tak enak hati, kalau sama Syarif jam setengah satu pagi aku putuskan untuk pulang. Walaupun sebenarnya masih ingin mengikuti diskusinya.
Teman-temanku ternyata tahu kalau aku beberapa kali ikut maiyah. Ada beberapa juga yang sengaja pengen ikut. Akhirnya ikutan, dan mereka merasa puas. Bulan depan meminta untuk dikabari lagi kalau pas acara Gambang Syafaat. Sama seperti Syarif yang merasakan atmosfer yang damai, temanku yang lain juga merasakan itu. Bedanya lebih fokus ke memahami diskusi, terutama diskusi tentang hakikat hidup. Ada juga salah seorang teman yang nunggu hal-hal lucu yang diucapkan oleh narasumber. Sampai sekarang kalau waktunya pas, masih sering mengikuti rutinan Gambang Syafaat. Bagiku maiyah adalah Listrik, tempatku mengecash, kadang merefresh kegelisahan dalam hidup. Selesai acara, seakan-akan menjadi manusia baru yang penuh energi.