Saya ingin membuka tulisan ini dengan mengutip sebuah hadist riwayat Al Hakim “Barang siapa hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung, Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin dialah tergolong orang yang merugi dan Barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin dialah tergolong orang yang celaka.”. Hadist yang sering digunakan mubaligh ketika mengisi acara tahun baru. Baik tahun hijriyah ataupun masehi. Terkadang juga digunakan di bulan syawal. Meningkatkan kualitas ibadah lebih baik dari ramadhan.
Hadist tersebut sering digunakan untuk perenungan diakhir tahun atau awal tahun. Padahal kalau dilihat, jelas dalam hadist itu Nabi mengoreksi diri. Membandingkan hari ini dengan hari kemarin. Ada tiga poin utama yang disampaikan Nabi dalam hadist tersebut. Pertama Hari ini lebih baik dari kemarin adalah orang yang beruntung. Pernyataan yang masuk akal. Jika hari ini lebih dari hari kemarin, berarti sudah melakukan intropeksi menjadi lebih baik. Kedua, jika hari ini sama dengan hari kemarin adalah rugi. Perspektif ini awalnya aku cukup curiga. Kenapa kok merugi? Kan jika hari ini sama dengan hari kemarin jadinya biasa saja. Namun baru akhir-akhir ini aku paham. Memang itu wujud konsisten, namun ada yang namanya umur. Jika begitu-begitu saja akan jadi biasa-biasa saja. Kehidupan stagnan dan akhrinya akan rugi di suatu titik masa.
Ketiga, jika hari ini lebih buruk dari hari kemarin adalah celaka. Jelas poin ketiga ini sangat mudah dipahami. Namun hati-hati manusia punya akal yang bisa memanipulasi apa yang seharusnya itu buruk menjadi hal yang biasa saja, bahkan menjadi hal baik. Silahkan cari contoh sesuai pengalaman pribadi. Prosesnya pasti ada peringatan dari hati, namun disangkal oleh akal.
Ketiga Idiom dari hadist diatas jika kita gunakan untuk memaknai Mlungsungi akan memberikan koridor yang jelas. Manusia mau tidak mau akan mengalami fase mlungsungi. Berubah dari dirinya yang kemarin ke dirinya hari ini. Sekarang tinggal memilih mlungsungi ke idiom pertama yang artinya menjadi manusia beruntung atau memilih idiom kedua, ketiga dan seterusnya. Selama manusia hidup, menurut saya, akan terus melakukan proses mlungsungi. Setiap hari. Kesadaran proses ini berbeda dari satu orang dengan orang lain. Sayangnya banyak diantara kita yang melakukan proses ini dengan membandingkan dengan orang lain.
Lagi-lagi saya harus mengutip ke hadist diatas. Nabi Muhammad tidak pernah menyuruh kita membandingkan proses kita alami dengan orang lain. Namun membandingkannya dengan diri kita sendiri. Sangat logis. Karena jika kita membandingkan diri dengan orang lain, tidak akan menghasilkan sesuatu yang sama. Mengingat sejak dari start saja kita sudah berbeda. Garis finish pun akan berbeda. Yang paling mungkin adalah kita membandingkan diri dengan orang yang seimbang dengan kita. Siapa itu? Adalah diri kita sendiri. Diri kita kemarin dan diri kita sekarang. Teruslah mlungsungi dengan berkaca menggunakan idiom hadist yang pertama.
Secara biologi, mlungsungi adalah sebuah proses yang setiap hari dilakukan. Perubahan tubuh, pencernaan, dan lain-lain. Sependek pengetahuan saya, ketika aktif ke pusat kebugaran (gym), untuk membentuk otot yang bagus perlu proses pemecahan otot secara terus menerus dalam waktu tertentu. Sehingga otot menjadi muda dan lebih kuat lagi.
Proses-proses kecil mlungsungi akan berjalan terus. Suka atau tidak suka. Mau atau tidak mau. Jika melihat situasi kehidupan bermasyarakat, pendapat subjektif saya sudah mulai mulai mlungsungi. Ambil saja data pendidikan di zaman sekarang. Minimal sudah pada taraf Sekolah Menengah Atas. Berbeda dengan jaman ayah saya yang hanya rata-rata lulusan sekolah dasar. Secara pemikiran, orang-orang jaman dahulu mengetahui bahwa pendidikan itu penting. Yakni konsep pendidikan sekolah formal. Sehingga anaknya sebisa mungkin di sekolahkan sampai SMA. Jaman terus bergerak, sekarang ketika bertemu dan ngobrol bersama teman yang pernah kuliah, konsep pendidikan berbeda. Kepercayaan terhadap institusi pendidikan formal mulai berkurang. Dalam sebuah obrolan juga seorang teman menginginkan jika punya anak nanti inginnya home schooling saja. Waktu yang ada bisa diajarkan untuk belajar soft skill. Ketika saya tanya lebih jauh lagi, seorang teman tadi tidak ingin mengalami nasib yang sama dengan orang tuanya. Yakni institusi pendidikan hanya mengejar target-target yang di dunia nyata tak terlalu terasa manfaatnya. Soal politik bisa kita lihat politik Indonesia saat ini. Silahkan deskripsikan sendiri.
Proses kesadaran individu-individu ini kemungkinan besar akan terus berlanjut. Di tambah tantangan zaman yang semakin cepat berlari. Membuat proses mlungsungi akan berjalan lebih cepat. Saya tidak bisa membayangkan kapan kesadaran komunal tentang perlunya perubahan besar itu muncul. Namun saya yakin itu akan terjadi. Lompatan-lompatan besar yang sudah disemai oleh Allah melalui Simbah dengan media Maiyah akan muncul. Posisi jamaah Maiyah saat ini kalau ulat masih di fase kepompong. Tinggal menunggu waktu, cuaca, dan peradaban siap. Suatu saat Kupu-kupu akan mulai keluar untuk menampakkan jati diri sebenarnya di Bumi Nusantara.