Seiring laju zaman, sosmed sudah tidak menjadi saung yang asing untuk berdiskusi, mengobrol dan mencari informasi. Pembahasan tentang pengaruh sosmed dalam kehidupan juga sudah seringkali dibahas di berbagai forum formal maupun informal di sana sini. Banyak paparan tentang manfaatnya, namun tak sedikit pula yg memaparkan tentang besarnya mudhorot yang menyertai. Beberapa yang sering disorot adalah kekacauan informasi, seperti berita hoax dan penggiringan opini, efek “malas”, etika dalam mengolah tutur kata tanpa kontrol emosi. Hal-hal yang sewajarnya dikendalikan dalam kehidupan bersosial, justru dilepaskan tanpa kendali di media sosial. Hingga pada titik banyak orang “berperang” atas nama idola, dan bahkan karakter fiksi, tanpa memandang usia, dan latar belakang lawan bicara yang dihadapi.
Zona nyaman dimana manusia bisa berbicara apa saja sembari menyembunyikan identitasnya, atau sekedar menunjukkan ekstistensi dalam apapun citra yang dimaksudkannya, membawa candu tersendiri yang serasa ‘sakaw’ bila berhenti. Urusan-urusan sosial dan pribadi tak lagi memiliki batasan yang jelas dalam ranah konsumsi. Alih-alih konten edukasi dan literasi, konten berjoged dan gaya hidup mewah terbukti menjadi hal yang paling digemari dan dicari. Berbagai usaha dan terobosan guna meniti kembali kelayakan berita dan opini, tak banyak dilirik dan didukung, bahkan oleh lingkungan kita sendiri. Lantas apakah daya guna dan tanggapan konkrit dari masyarakat maiyah mengenai hal tersebut? Haruskah menormalkan kebiasan baru, larut dan hanyut dalam arus global yang tak jua surut?