“Kita terlahir dengan kecenderungan untuk percaya dengan apa yang dikatakan orang lain, dan tentu saja kita tidak punya waktu untuk mempertanyakan setiap keping informasi yang kita terima.” Demikian papar Andrew Newberg dan Mark Waldman dalam bukunya “Born to Believe”.
Sebagai orang yang dididik untuk – Sebisa mungkin – selalu husnudhon, saya mengamini betul premis tersebut. Kalau kita tidak percaya sesama manusia terus kita harus percaya sama siapa lagi? Percaya kepada hewan dan tumbuhan pun kita tidak punya kemampuan berkomunikasi dengan saudara tua kita tersebut. Apalagi berharap wahyu atau minimal ilham dari Allah, siapalah kita. Sholat aja -mungkin- sering bolong, atau kalau gak bolong jauhlah dari kondisi khusyu’.
Kemudian kalau kita berkaca dalam alur sejarah hidup yang kita jalani, bukankah laku hidup kita pun mencerminkan hal yang sedemikian? Semenjak kecil, kita pun menerima begitu saja informasi yang diberikan oleh orang-orang di sekitar kita. Kita pun percaya begitu saja aneka ragam metode keseharian, seperti misalnya, cara berjalan, duduk, makan, minum, maupun nama-nama benda di sekitar kita. Bayangkan betapa rumitnya kalau kita harus memverifikasi segala sesuatu.
Namun, semakin kesini, kita tak lagi bisa mengandalkan husnudhon begitu saja. Banjir informasi yang terjadi akibat kemajuan IT malah membuat kita kesulitan memilah mana informasi yang benar mana yang bukan. Mana yang faktual, mana yang hoax. Informasi yang bejibun tersebut tidak lagi semata menguntungkan kita, melainkan juga sekaligus menjadi polusi yang meracuni.
Tom Nichols dalam bukunya the death of expertise, menganalogikan internet dengan hukum Sturgeon yang menyatakan bahwa 90 persen dari semua hal (di dunia maya) adalah sampah. Bilamana tidak demikian, internet membiarkan siapapun untuk mengunggah apapun, meski itu hal yang tak penting, pemikiran setengah matang bahkan suatu kebohongan (hoax).
Melalui dunia maya, kita dapat begitu mudahnya menemui orang-orang yang di“ustadzkan”, di”kyaikan”, dengan sekedar memakai jubah, berkalung surban, berjenggot serta gemar mengutip satu dua ayat alquran dan hadis yang sering kali hanya berdasarkan pemahaman yang dangkal. Pemahaman yang seringkali hanya berdasarkan pemahaman letterlijk yang seringkali malah hanya membuat gaduh.
Dalam internet kita dengan mudahnya mendapatkan ragam informasi. Sekali ketik dan klik, ribuan, puluan ribu bahkan ratusan ribu link yang berisi informasi yang kita cari muncul dalam layar monitor laptop atau gawai kita. Masalahnya kita tidak benar-benar tahu, mana yang benar-benar informasi yang kita butuhkan, mana yang sampah. Tak jarang kita jumpai informasi bohong yang ditampilkan seolah olah sebagai informasi yang benar.
“Ojo kagetan, ojo gumunan lan ojo dumeh.” Demikian mbah Nun seringkali mengingatkan kita dalam banyak kesempatan sinau bareng menyikapi fenomena polusi informasi tersebut. Piweling yang diambil dari khazanah budaya jawa tersebut mengajarkan kita untuk tidak langsung menerima informasi (pemikiran) bahkan termasuk pemikiran kita sendiri.
Dua hal pertama, Ojo kagetan dan Ojo gumunan, adalah respon terhadap informasi atau kondisi yang berasal dari luar diri kita. Perilaku Ojo kagetan dan Ojo gumunan bisa menjadi alarm bagi kita untuk tidak silau dengan informasi apapun yang berasal dari orang lain. Meski siapapun ia. Undhur Ma qola wa laa tandhur man qola. Lihatlah apa yang diucapkan jangan melihat siapa yang mengucapkan. Dalam konteks ini bukankah Mbah Nun juga seringkali memperingatkan kita untuk tidak mudah percaya terhadap apa yang disampaikan orang lain, meski itu Mbah Nun sendiri.
Sementara sikap Ojo dumeh adalah respon terhadap kondisi diri kita sendiri. Seringkali kita terlalu yakin dengan keyakinan -termasuk pengetahuan- yang kita miliki. Hal ini menjadikan kita jumud. Tidak berkembang sehingga tidak mampu merespon perubahan dinamika psikologis, sosial dan budaya. Dalam titik ini kita perlu mengingat ucapan ulama-ulama pendiri madzhab, dengan penuh ketawadhuan mereka berkata, “Pendapatku benar, tapi bisa jadi salah. Dan pendapat selain ku itu salah, tapi bisa jadi benar”. Sekelas ulama pendiri madzhab saja dengan tingkat keilmuan yang tidak perlu diragukan lagi saja menyadari adanya kemungkinan pendapatnya yang salah. Apatah lagi kita ini bukan? Yang ilmunya tidak ada apa-apanya.
Kalau kemudian kita tarik benang merahnya dari ketiga sikap tersebut, Ojo gumunan, Ojo kagetan dan Ojo dumeh sejatinya mengajarkan kita untuk bersikap skeptis , curiga, terhadap apapun dan siapapun termasuk diri kita sendiri. Bukan curiga berdasarkan ketidakpercayaan -su’udhon- melainkan curiga sebagai aplikasi dari sikap waspada.
Sikap skeptis membuat kita bisa mengambil jarak dan menempatkan segala informasi bahkan asumsi atau praduga yang kita miliki dalam “meja pemiikiran” yang siap untuk ditelanjangi dan dibedah dalam berbagai perspektif pandang, dalam resolusi dan jarak pandang yang beragam. Tentu saja harapan akhirnya kita bisa melihat informasi secara lebih utuh.
Masalahnya, kita tidak mungkin melakukan pembedahan informasi dan melihatnya dari ragam kaca mata perspektif tanpa melalui bantuan pihak lain. Kita harus sadar akan keterbatasan diri kita. Terlebih ketika sistem pendidikan yang membentuk polapikir kita sangat fakultatif sehingga kita tidak memiliki “tools” untuk melihat segala sesuatunya secara holistik. Oleh karenanya, disinilah letak pentingnya sinau bareng yang diadakan dalam forum-forum maiyahan yang tersebar di puluhan simpul, di berbagai pulau, di dalam negeri hingga mancanegara.
SINAU BARENG SEBAGAI SARANA MELATIH NALAR
Sebagai sebuah forum pembelajaran alternatif, sinau bareng memang belum memiliki landasan filosofis, epistemologis maupun ontologis. Oleh karenanya dalam simpul-simpul maiyah yang tersebar kita akan mendapati ragam wajah dari aktivitas sinau bareng. Namun semua pelakunya memiliki kesamaan niat untuk ngangsuh kawruh bersama. Saling berbagi sudut pandang terhadap hal yang disinauni -dipelajari.
Puluhan simpul yang rutin menyelenggarakan sinau bareng bulanan lebih banyak (baca: mayoritas) yang tidak berkesempatan untuk dirawuhi Mbah Nun. Tidak hanya simpul yang berada di luar pulau jawa -seperti misalnya simpul kami, Mahamanikam, di Kalimantan Timur – bahkan simpul-simpul di pulau jawa pun banyak yang sampai saat ini belum sempat kerawuhan beliau dalam forum rutinannya -sinau bareng bulanan. Oleh karenanya, dalam kondisi tersebut, masing-masing simpul berimprovisasi melakukan sinau bareng dengan caranya masing-masing.
Kita bisa niteni, memperhatikan, jamaah-jamaah yang datang tidaklah berangkat dari pemahaman yang sama akan sebuah tema yang akan dibahas dalam sinau bareng. Bahkan bisa jadi “buta” sama sekali dengan tema yang akan disinauni. Namun semuanya memiliki dorongan keingintahuan sehingga merelakan meluangkan waktunya, yang tentu tidak sebentar, untuk hadir.
Adanya jarak pemahaman terhadap suatu tema tidak lantas menjadikan suasana sinau bareng di dominasi oleh orang-orang tertentu sehingga pembelajaran menjadi satu arah. Malah sebaliknya. Diskusi menjadi lebih hidup. Seringkali diskusi-diskusi malah lebih mengalir dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan,yang seringkali malah mengundang gelak tawa riang -tentu bukan gelak tawa melecehkan, namun dalam suasana gegojekan,guyon.
Pertanyaan-pertanyaan itu seringkali malah membuat kita melihat sudut pandang yang lain, bahkan bisa jadi membuat kita harus berpikir memutar untuk menjawabnya. Hingga dalam hati kita seringkali memekikkan eureka. Aha….Aku menemukan sudut pandang baru. Tidak menutup kemungkinan pula lahir pemahaman-pemahaman dengan kedalaman yang baru.
Ketika dalam forum forum pembelajaran yang lain pertanyaan – pertanyaan terkadang menjadi tabu, entah karena pertanyaannya yang seringkali distigmakan sebagai pertanyaan bodoh, atau karena forum pembelajarannya sendiri yang cenderung satu arah, di sinau bareng semuanya seperti tidak ada aturan. Sehingga semuanya bebas menentukan koordinat belajarnya, menentukan dengan cara apa ia akan mengekspresikan pendapatnya, menentukan mana-mana saja yang akan diambil atau dibuang, semua diserahkan kepada peserta sinau atas dasar pilihan bebas-bertanggung jawabnya. Kalau diibaratkan, sinau bareng itu laksana sajian makanan prasmanan, kita terbebas memilih menu yang hendak kita santap.
“Kebebasan” dalam Sinau Bareng itu kemudian pada gilirannya – diharapkan – bisa memantik pesertanya menjadi manusia yang otonom, tidak mudah terpengaruh hal hal diluar dirinya. Kalaupun kemudian terpengaruh, itu semua setelah melalui proses kajian telaah yang matang dalam proses sinau. Entah itu secara mandiri maupun bersama sama dalam forum sinau bareng. Yang jelas sinau bareng Maiyah telah memberikan kita tools untuk melakukannya melalui pembiayaan yang berlangsung rutin tiap bulannya. Bukankah bisa itu seringkali karena terbiasa?
Pengetahuan – sebagai bekal kewarasan – memang tidak melulu hadir melalui metode berpikir rasional. Kadang ia hadir sebagai anugerah, entah itu dinamakan ilham, wangsit atau sejenisnya. Namun mengharapkan anugerah saja tanpa berusaha rasanya menghilangkan sisi kemanusiaan kita bukan? Terlebih Siapa lah kita, yang masih berlumpur noda ini mengharapkan anugerah ilmu secara tiba-tiba tanpa usaha, mungkin dalam bahasa agama disebut ilmu ladunni. Meski tak salah pula, dengan keyakinan akan kewelasasihanNya, kita pun masih bisa berharap. Pada titik inilah peran vital metode sinau bareng, apapun bentuk dan namanya, harus tetap kita lakukan. Kalau lah otot perlu berlatih agar menjadi kuat, bukankah otak pun perlu diberi sarana berlatih juga?
***
“Amenangi zaman edan; Melu ngedan ora tahan”
Namun yang menjadi keunikan tersendiri adalah adanya tema tidak membatasi bahasan yang disinauni. Bukan berarti tidak disiplin dengan tema yang ada, meski kalah mau diartikan demikian pun tidak mengapa, ketidakpatuhan secara kaku dalam tema yang dibahas menunjukkan pada dasarnya setiap hal itu saling kait berkelindan satu sama lain dalam skala ya masing masing. Sekali lagi ini kemudian menjadikan kita berlatih untuk terlepas dari kungkungan metode pikir fakultatif.
Disaat semua bergerak ke arah virtual, termasuk metode pembelajaran dengan makin maraknya e-learning maupun aplikasi belajar berbasis Android maupun IOS, sinau bareng Maiyah memilih untuk tetap bertahan di jalur konvensional. Ketemu bareng, tatap muka.