Tandhang tanding diangkat sebagai tema Majelis Masyarakat Maiyah Gambang Syafaat edisi 25 Agustus 2019. Acara dibuka dengan mengajak sembilan orang maju ke depan untuk diajak berdiskusi. Kegiatan ini menjalankan anjuran Mbah Nun agar kegiatan Maiyahan di setiap simpul dari Agustus-Oktober diselenggarakan workshop. Dua pertanyaan diberikan. Sembilan orang yang dibagi menjadi tiga kelompok diminta memberikan pendapat tentang pemahaman terhadap istilah: manusia istana, manusia pasar dan manusia nilai.
Banyak persepsi mengenai tiga istilah tersebut. Manusia istana dimaknai sebagai manusia yang memiliki prioritas untuk menguasai atau memberikan perintah layaknya seorang raja di istana. Bisa juga seorang komandan perang memberikan arahan pada pasukannya. Manusia pasar diartikan sebagai manusia yang di kepalanya hanya ada transaksi dan keuntungan. Seseorang yang berusaha untuk mendapatkan keuntungan dari berbagai macam kondisi. Manusia nilai didefinisikan sebagai seseorang yang mengedepankan nilai dalam dirinya. Biasanya cenderung pada orang-orang berilmu. Mereka menganggap nilai menjadi ujung tombak menjalani kehidupan di dunia. Sederhananya: manusia nilai akan lebih memilih bersikap jujur daripada menguasai atau mengambil keuntungan dari kondisi orang lain dengan berbaagai cara yang tidak baik.
Habib Anis sebagai salah satu pembicara malam itu memberikan pemahaman yang sedikit berbeda.
“Kanjeng Nabi Muhammad SAW termasuk manusia istana, pasar atau nilai?” tanya beliau ke semua jamaah yang hadir.
“Pasar!”
“Istana!”
“Nilai!”
“Semuanya!”
Respon jamaah sangat beragam sesuai apa yang ada di dalam dirinya. Tidak terkekang oleh siapa pun: merdeka.
Habib Anis menjelaskan bahwa seseorang bisa menjadi tiga manusia tadi. Fleksibel bergantung situasi dan kondisi. Contoh kongkritnya kehidupan Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Beliau pernah berdagang, bertransaksi dan mendapatkan keuntungan yang identik dengan manusia pasar. Beliau pernah memimpin perang di medan pertempuran yang mencirikan manusia istana. Kanjeng Nabi juga sangat sering menerapkan dan menyampaikan ilmu bermanfaat sebagai cerminan manusia nilai. Bahkan Kanjeng Nabi Muhammad SAW selalu mengedepankan nilai ketika menjalankan peran menjadi manusia istana dan manusia pasar. Istilah manusia pasar dan istana tidak selamanya negatif.
Setiap orang bisa saja menjalankan peran sebagai manusia istana, pasar dan nilai jika bisa mengelola hawa nafsu. Ketika seseorang gagal mengendalikan nafsunya, maka dia akan terjebak dalam satu peran antagonis. Menjalani peran sebagai manusia istana yang sombong seperti Firaun atau manusia pasar yang tamak seperti Qorun. Dalam kesempatan malam itu, Bib Anis juga menjelaskan jika manusia syahadat, shalat, dzakat, puasa dan haji merupakan pengembangan konsep dari manusia nilai.
Pak Budi Mariono memberikan pendapat melalui ilustrasi cerita khas seorang belia. Beliau sering mengamati kejadian di pasar dekat rumahnya. Banyak adegan menarik yang diceritakan terkait manusia istana, pasar, dan nilai. Salah satunya ketika beliau melihat pedagang menawarkan kerudung pada wanita yang melintas di depan dagangannya. Calon pembeli wanita segera mengenakan kerudung yang ditawarkan.
Dengan jurus rayuan, pedagang memuji wanita tersebut dengan mengatakan, “Mbak, kamu kelihatan cantik banget kalau pakai kerudung itu, lho.”
Serasa di atas awan, calon pembeli wanita semakin suka dengan kerudung di kepalanya. Menariknya si pembeli berkata jujur. “Maaf, tapi uangnya mau dipakai untuk belanja kebutuhan lain. Jadi belum bisa beli kerudungnya.”
Balasan penjual lebih menarik lagi. “Nggak papa. Kalau Mbak suka, dibawa aja. Bayarnya nanti. kalau sudah ada uang!”
Mengejutkan! Padahal kedua orang tersebut belum pernah kenal satu sama lain. Bagaimana si penjual langsung percaya begitu saja? Cerita sederhana Pak Budi menunjukkan bagaimana si penjual kerudung yang awalnya memainkan peran sebagai manusia pasar, seketika mengubah perannya menjadi manusia nilai.
Kang Dur dan Mas Yunan memberikan kesempatan bagi jamaah untuk bertanya dan beropini terkait tema. Ada beberapa pendapat dan pertanyaan namun satu yang cukup menarik. “Kenapa manusia harus bertanding satu sama lain, bukan saling bekerjasama dan melengkapi?”
Pendapat pertama disampaikan Habib Anis untuk merespon pertanyaan melalui Al Qur’an Surat Al An’am ayat 32:
Wa mal-hayātud-dun-yā illā la’ibuw wa lahw, wa lad-dārul-ākhiratu khairul lillāzina yattaqun, a fa lā ta’qilun.
Yang artinya kurang lebih: “Dan kehidupan dunia ini, hanyalah permainan dan senda gurau, sedangkan negeri akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidaklah kalian memahaminya?”
Bib Anis meminta jamaah untuk fokus pada kata “permainan”. Selama ini orang menganggap bahwa yang dimaksud permainan yaitu sembarangan atau “sak karepe dhewe”. Padahal sesuatu yang bisa disebut permainan, menurut Bib Anis, harus ada minimal satu syarat mutlak: ada aturan jelas.
Sepak bola, catur, balap sepeda motor dan permainan lainnya tidak akan berjalan dengan baik jika tidak ada aturan jelas. Selain itu, permainan menuntut pelakunya untuk selalu mengasah kemampuan/ skill dan tidak menanggapi hasil permainan dengan serius.
“Manusia hanya diminta untuk fokus pada proses, bukan hasil akhir,” lanjut Bib Anis. Manusia seringkali lupa dengan definisi permainan yang dimaksudkan dalam Al Qur’an. Sebagian orang cenderung fokus pada hasil akhir: harus menang/ diakui sebagai yang terbaik dan mengabaikan prosesnya.
Sehingga definisi permainan dipersempit menjadi persaingan atau pertandingan. Semua orang saling menjatuhkan agar menang dan diakui. Sementara definisi permainan mengharuskan para pemain untuk maksimal ketika bermain dan ‘biasa saja’ dalam menyikapi hasil permainan. Mau kalah atau menang. Mau rugi atau untung, sama saja. Asalkan sudah berusaha optimal dalam bermain.
Lebih dalam lagi, Bib Anis memberikan gambaran seperti pedagang yang benar-benar serius dalam berjualan. Menyajikan dagangannya dengan baik dan melayani pembeli dengan maksimal. Namun hasil akhir yaitu laku atau tidak laku dan untung atau rugi itu terserah Allah SWT. Semua kembali ke manusianya. Jika manusia sadar akan perannya di dunia, maka tidak akan ada lagi istilah bersaing atau tanding. Satu sama lain saling melengkapi.
Ilustrasi cerita kembali diberikan oleh Pak Budi Mariono. Di depan rumah beliau terdapat sebuah dipan milik tetangganya. Tempat tidur model lawas yang ada kelambunya. Suatu ketika, ada beberapa orang yang ingin memberikan masukan terhadap kondisi ‘dipan’ yang tidak diurus tersebut.
“Harusnya dipannya dikasih atap biar terlindung,”
“Harusnya diberi tambahan kayu di bagian samping,”
“Harusnya diberi ukir-ukiran agar lebih cantik,”
Semua saran terlihat sangat bagus. Pak Budi yang merasa dirinya hanya penulis dan bukan bidangnya, maka tidak ikut campur dalam urusan tersebut. Usulan-usulan tadi kemudian ditampung. Pertanyaan muncul, “Siapa yang akan mengeluarkan uang untuk beli bahan-bahannya? Siapa yang akan mengeksekusi idenya?” Perdebatan kembali muncul. Pak Budi menyanggupi agar tidak ada perdebatan lagi. Meskipun pada akhirnya belum tentu akan dilaksanakan beliau. Setidaknya keributan tentang dipan bisa reda.
Inti ceritanya: semua orang seringkali merasa ‘bisa’ untuk ‘tandhang’ atau melakukan sesuatu dalam menyikapi permasalahan meski di luar kapasitasnya, meski kenyataannya tidak bisa. Namun anehnya, mereka saling tanding untuk diakui keberadaan atau ide atau usulannya.
Misalnya ada kerja bakti pembuatan pos kampling kampung di sebuah desa. Si A terlihat ikut membantu dengan baik, sesuai apa yang bisa dilakukannya. Sementara si B dan si C hanya melihat warga yang gotong royong dari balik jendela kamar.
Mengejutka, ketika pos kampling selesai, si B dan si C saling bertanding pengakuan. Mereka merasa ikut ‘tandhang’ dalam proses pembuatan pos kampling. Keduanya mengaku memiliki peran dalam pembuatan pos kampling. Si A lebih memilih diam dan tidak terlibat dalam perdebatan.
Diskusi malam itu di Gambang Syafaat memberikan hasil bahwa kita diminta untuk menjadi si A. Ikut “tandhang” semaksimal mungkin dalam suatu masalah, tetapi tidak ikut “tanding” dalam hal pengakuan setelahnya.
Gambang syafaat edisi 25 Agustus 2019 terlihat indah meskipun tanpa panggung dan ‘tratak’. Malam itu jamaah tidak hanya mendapatkan ilmu bermanfaat, jamaah juga dihibur dengan penampilan Cak Noeg dalam berpuisi dan alunan lagu merdu dari Wakijo Lan Sedhulur (WLS). Teriakan personil Mbah Gambang menjajakan dagangan juga menambah kehangatan malam itu.