Rasa sepi bisa lebih mematikan bagi seseorang dibanding racun maupun penyakit sekalipun. Seseorang bernama Brook memilih mengakhiri hidup dengan cara menggantung diri justru setelah ia bebas dari penjara. Orang-orang mungkin menganggap penjara adalah neraka karena tak menyediakan kebebasan dan hanya ada hari-hari monoton di sana. Tetapi bagi Brook, penjara memberinya kesempatan untuk menikmati hidup lebih lama. Di dalam penjara ia dipercaya menjaga perpustakaan dan di situlah ia merasa hidupnya bermakna: menata buku-buku, menyediakan bacaan bagi para tahanan, dan meskipun hari-harinya itu terasa sekadar repetisi, ia merasa menjadi manusia berguna. Segalanya berakhir saat masa hukumannya usai, dan ia mesti menghadapi dunia yang keras sendirian. Gabungan antara usia tua dan kesepian membuat Brook memilih mengakhiri hidup. Buat apa hidup jika tak berguna bahkan untuk diri sendiri, buat apa hidup jika mesti menghadapi hari-hari sepi.
Kisah Brook itu saya kutip dari film Shawshank Redemption (1994) besutan Frank darabont. Film ini selalu mengingatkan saya betapa dengan kesepianlah manusia diuji, ditantang untuk bisa menaklukan diri sendiri. Pernahkah Anda mendadak merasa tak nyaman saat tengah di kontrakan atau di kamar sendirian? Anda merasa tak betah dan ingin segera keluar rumah lalu bertemu teman-teman untuk sekadar mengobrolkan hal-hal remeh. Atau, pada suatu malam Anda mendadak terjaga dari tidur lantas merasa sulit tidur lagi dan di saat itulah Anda mendadak ingat mati? Keringat dingin muncul seperti sisa embun melorot di daun talas. Anda merasa takut mati karena menganggap diri Anda belum melakukan hal-hal berarti dalam hidup ini. Dalam kondisi sendirian seperti itu Anda panik dan lantas memilih mengalihkan perhatian dengan cara nonton televisi, pergi ke Indomaret membeli rokok, atau memutuskan menyalakan gawai lalu membuka media sosial berharap rasa aneh di saat sendirian semacam itu lekas enyah. Dalam situasi seperti ini saya jadi ingat petikan lagu Sesuatu yang Tertunda Iwan Fals, “Di sini aku sendiri, masih seperti dulu yang sakit. Aku merasa hidupku pun surut tuk tumpukan harap…” Kesendirian memang cenderung memerangkap kita ke dalam melankoli.
Kesendirian, diliputi rasa sepi, mungkin benar bisa membuat seseorang memikirkan hal yang tidak-tidak. Tetapi, sebenarnya, dalam kondisi semacam itulah kita sebagai manusia tengah diberi kesempatan untuk melihat diri sendiri secara lebih mendalam dan intim. Kita mungkin terbiasa memberi perhatian dan rasa peduli kita kepada orang yang kita cintai, tetapi sadarkah bila kita sebenarnya jarang meluangkan waktu barang sebentar untuk memberi perhatian lebih pada “diri” sendiri? Persoalan inilah yang sebenarnya hendak Cak Nun sampaikan dalam puisinya yang berjudul Solitude 1 (Horison/XIII/273). Puisi termuat di majalah telah almarhum. Kecuali peneliti dan pengarsip, kita sulit menduga, siapakah yang hari ini memegang dan membuka lembaran demi lembaran majalah yang pernah berpamrih ingin jadi corong kesusastraan nasional itu. Puisi ini mendeskripsikan tentang seseorang yang memilih menempuhi kesendirian, biar pun itu hanya sekadar di dalam kamar. Kamar, dalam pemaknaannya yang paling sederhana, memang dimaksudkan untuk memberi ruang privasi pada seseorang. Di dalam rumah, seorang penghuni diberi otoritas atas ruang yang seringkali sempit dan tertutup itu. Pemberian otoritas atas kamar ibarat penghormatan atas nilai-nilai individualitas seorang manusia. Kamar memungkinkan seseorang tampil dalam wujudnya yang paling jernih—di ruang itu kita telanjang, berkehendak bebas, serta menampilkan sisi diri yang mungkin selama ini kita sembunyikan di hadapan publik.
Cak Nun menghadirkan kesendirian sebagai cara mengungkapkan kepekaan tubuh, ingatan, serta rasa takut dan pikiran-pikiran asing yang sebelumnya mungkin tak terlintas jika seseorang tidak dalam kondisi sendiri. Cak Nun membuka puisinya dengan peristiwa aku-lirik tengah membuka jendela: Lewat daun jendela yang kubuka angin melompat masuk,/ Menyapu bulu-bulu seluruh tubuhku/ Ia pun bergayut roboh karenanya dan sentuhan ujung/ Bulu-bulu itu di kulitku terasa menggeremang/ Sesuatu yang lebih dalam di rongga jiwaku// “aku menyesal kenapa kubuka jendela itu.” Kesendirian telah memungkinkan aku-lirik dalam puisi tersebut merasakan sesuatu yang tampak sepele namun seringkali kita abaikan. Angin yang menerobos jendela merangsang ia untuk memberi respons. Ini mengartikan kesendirian itu telah membangunkan lagi kepekaannya, kepekaan tubuhnya dalam merasakan sesuatu yang hadir di luar tubuhnya. Ia jadi bisa memaknai angin dan lalu membuat ia justru merasa ada “sesorang” yang menemaninya di kamar: “siapakah engkau yang seakan bermaksud menamaiku/ tidur malam bagai seorang kenalan yang setiap/ kali datang dan setiap kali menghilang?” Ada kesan magis dalam puisi ini. Kesendirian disertai suasana sunyi memungkinkan kesan magis di satu sisi dan transenden di sisi lain.
Jika kita adalah orang yang teramat sibuk sehingga jarang berlama-lama berdiam di kamar kecuali untuk tidur belaka, maka kita seringkali tak bisa memaknai apa yang mungkin hadir dan mampir dalam kehidupan kita. Di bait selanjutnya, pembaca seperti diajak membayangkan benda-benda yang di masa lalu pernah berdiam di kamar Cak Nun. Ditulisnya, “aku tak mengerti untuk apa kau selenggarakan waktu/ ruang dan segala kefanaan yang terikat olehnya/ buku-buku di depanku, pisau, kalender, delas minuman,/ dan sepatu kotor yang makin memperpanjang/ perjalanan dan memencilkan cintaku padaMu dan kasihMu padaku. Cak Nun memandang benda-benda itu dalam nalar religiositas. Benda-benda sering dianggap termasuk dalam objek material sehingga kerap “menghambat” manusia untuk mencapai sesuatu yang imaterial. Namun, di sini Cak Nun hendak menegaskan jika benda-benda seperti buku, pisau, kalender, gelas, dan sepatu kotor, secara bersamaan berfungsi “memperpanjang dan memencilkan cintaku padaMu dan kasihMu padaku.” Benda-benda itu termaknai kembali justru saat seseorang berdiam dalam sepi dan sendiri. Kesendirian, dengan begitu, adalah cara manusia untuk menengok sejauh mana kepekaannya terasah, rasa takutnya terjaga, dan rasa cintanya kepada-Nya terpanjangkan.[]