Banyak dari kita, semisal melihat seorang teman, kerabat, saudara atau tetangga yang kaya raya, lantas dengan mudah kita akan mengatakan;
“Ah, enak ya si Fulan, punya harta melimpah, rumahnya megah, mobilnya mewah, punya banyak kavling tanah, sudah tiga kali ke Mekkah, dan anak-anaknya semua kuliah.”
Ah, begitulah kita. Paling gampang adalah melihat sesuatu yang tampak kasat mata. Mata kita cenderung tipe mata materi, mata barang, benda atau fisik. Yang pertama dan biasa kita nilai dari kesuksesan orang adalah hartanya, rumah megahnya, mobil mewahnya, banyak tanahnya dll. Namun kita jarang bahkan malas untuk melihat, menelusuri lebih jauh sampai ke akar-akarnya, kenapa dan bagaimana mereka bisa sukses. Kenapa mereka punya banyak harta, rumah megah, kendaraan mewah, berhektar tanah dan aset kekayaan lain? Apakah itu didapatkan secara cuma-cuma? Diperoleh dengan instan? Ataukah segala harta benda tersebut diperoleh melalui proses yang panjang sebelumnya. Itu yang mesti kita teliti, kita pelajari, kita bedah sampai ke akar-akarnya.
Analogi sederhananya adalah jangan melihat buah Apel yang manis diranting pohon tanpa kita mengenali dulu apa itu daun, dahan, batang hingga akar pohon Apel yang terkubur di tanah. Buah Apel yang manis tersebut tumbuh berkat sinergi dari seluruh komponen anggota pohon Apel dari akar sampai daun. Dari bawah hingga atas.
Artinya, segala apa pun yang bernama kesuksesan, tidaklah diraih dengan cara instan. Bim salabim jadi. Itu hanya terjadi dalam dongeng. Dalam kehidupan nyata, harga kesuksesan perlu dan butuh proses panjang yang harus ditempuh dan dibayar. Sukses adalah akumulasi dari proses demi proses gerak, usaha, perjuangan dan doa.
Perspektif Lain Isra Mi’raj
Pada tanggal 3 April 2019 Mahesi, seluruh umat raya merayakan peristiwa maha penting, yakni perjalanan spiritual yang ditempuh oleh Nabi Muhammad Saw. Seperti kita tahu, rujukan pertama untuk memahami dan mempelajari Isra Miraj, dapat kita baca dalam surah Al Isra (Perjalanan) ayat 1.
“Sub-haanallaziii asroo bi’abdihii lailam minal-masjidil-haroomi ilal-masjidil-aqshollazii baaroknaa haulahuu linuriyahuu min aayaatinaa, innahuu huwas-samii’ul-bashiir”
“Maha Suci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. Al-Isra 17: Ayat 1)
Isra dan Miraj adalah dua peristiwa yang berlangsung dalam waktu semalam. Isra adalah perjalanan horisontal Nabi Muhammad dari Masjidil Haram (Mekkah) menuju Masjidil Aqsa (Palestina). Sedangkan Miraj merupakan pendakian vertikal. Dari permukaan bumi, meninggi, menembus langit, menuju Singgasana Illahi (Sidratul Muntaha).
Uniknya, kandungan atau isi dari ayat satu dan dua dan tiga dalam Surah Al Isra tersebut seakan tidak nyambung. Tidak ada korelasinya secara langsung. Pada ayat kedua surah Al Isra justru menceritakan perihal Nabi Musa As tatkala diberi wahyu kitab Taurat oleh Allah Swt.
“Wa aatainaa muusal-kitaaba wa ja’alnaahu hudal libaniii isrooo`iila allaa tattakhizuu min duunii wakiilaa
“Dan Kami berikan kepada Musa, Kitab (Taurat) dan Kami jadikannya petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman), Janganlah kamu mengambil pelindung selain Aku.” (QS. Al-Isra 17: Ayat 2)
Begitu juga pada ayat ketiga surah Al Isra . Di sana malah mengisahkan tentang Nabi Nuh As.
“Zurriyyata man hamalnaa ma’a nuuh, innahuu kaana ‘abdan syakuuroo
“(Wahai) keturunan orang yang Kami bawa bersama Nuh. Sesungguhnya dia (Nuh) adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (QS. Al-Isra 17: Ayat 3)
Pertanyaannya, kenapa antara ayat satu, dan dua dan tiga dst…dari surah Al Isra tidak saling berkaitan. Tidak ada ketersambungan. Ayat satu berbicara perihal Isra Miraj Nabi Muhammad. Ayat dua membahas Nabi Musa As. Dan ayat ketiga mengabarkan tentang keturunan Nabi Nuh As. Kenapa begitu? Kenapa kisahnya tidak dijabarkan secara urut sesuai nomor ayat? Apakah terjadi kesalahan redaksi? Atau terdapat kekeliruan klasifikasi ayat? Tidak mungkin, Al-Quran adalah kitab paling sempurna ciptaan Allah. Mustahil ia cacat. Al-Quran merupakan Masterpiece-nya Tuhan.
Lantas, apa motif Tuhan meletakkan ayat satu surah Al Isra tanpa memiliki keterkaitan dengan ayat dua, tiga dan seterusnya…
Tenang, kita dapat mencernanya dengan cara meminjam kacamata seperti halnya melihat kasus di paragraf atas. Bahwa setiap keberhasilan mencapai titik puncak atau kesuksesan, jauh sebelum itu telah melalui proses panjang. Panjang dan melelahkan. Dan Isra Miraj itulah PUNCAK dari perjalanan, perjuangan Nabi Muhammad dalam berdakwah menyebarluaskan Islam. Isra Miraj adalah menara kesuksesan sepanjang karir Nabi Muhammad bertugas di alam dunia. Maka peristiwa Isra Miraj diletakkan, ditampilkan, sekaligus diabadikan dalam surah Al Isra ayat pertama.
Lalu, proses perjalanan dan perjuangan Nabi Muhammad dalam mendakwahkan Islam tercantum di mana? Di mana kita bisa melacaknya dan mengetahuinya? Jawabannya terdapat di empat ayat terakhir surah sebelum Al Isra . Yaitu surah An Nahl (Lebah) ayat 125 – 128.
“Ud’u ilaa sabiili robbika bil-hikmati wal-mau’izhotil-hasanati wa jaadil-hum billatii hiya ahsan, inna robbaka huwa a’lamu biman dholla ‘an sabiilihii wa huwa a’lamu bil-muhtadiin
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl 16: Ayat 125)
Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk menyeru dan mengajak umat manusia agar berjalan di jalan Tuhan dengan ajakan yang baik dan santun. Kalau ajakan itu ditolak, dibantah, maka berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Bukan dengan caci maki, hinaan, kekerasan, apalagi mengkafir-kafirkan. Kalau mereka diajak tidak mau, ya tidak apa-apa. Terserah dan tidak masalah. Islam agama cinta damai. Tidak ada paksaan bagi siapapun yang ingin memeluknya. (laa ikroha fiddiin). Inti dari Islam adalah rahmatan lil’alamiin.
“Wa in ‘aaqobtum fa ‘aaqibuu bimisli maa ‘uuqibtum bih, wa la`in shobartum lahuwa khoirul lish-shoobiriin
“Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.” (QS. An-Nahl 16: Ayat 126)
Di ayat 126 ini, Allah melakukan negosiasi alias tawar menawar dengan Nabi Muhammad Saw. Masa kejahiliyahan bangsa Arab kala itu sungguh sangat biadab. Dakwah Nabi sangatlah berat. Penuh teror, gangguan hingga ancaman hilang nyawa. Meski begitu Nabi tetap tegar. Terus berdakwah secara sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan. Ada kalanya mungkin Nabi Muhammad merasa lelah, kesal, marah dan sesekali ingin membalas perlakuan keji yang dilakukan kaum Jahiliyah kepadanya. Namun Allah pun menasehati Kanjeng Nabi. Balaslah mereka jika kamu mau sesuai yang mereka lakukan kepadamu. Namun jika engkau memilih tetap bersabar, sesungguhnya itu lebih baik bagimu. Karena Baginda Nabi pribadi yang mulia, maka ia memilih opsi yang kedua.
“Washbir wa maa shobruka illaa billaahi wa laa tahzan ‘alaihim wa laa taku fii dhoiqim mimmaa yamkuruun
“Dan bersabarlah (Muhammad) dan kesabaranmu itu semata-mata dengan pertolongan Allah dan janganlah engkau bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan jangan (pula) bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka rencanakan.” (QS. An-Nahl 16: Ayat 127)
Di ayat selanjutnya (ayat 127), Allah senantiasa meneguhkan hati kekasih-Nya. Bersabarlah wahai Muhammad, jangan bersedih hati, jangan pula bersempit dada terhadap kekafiran dan tipu daya mereka. Biarkan mereka menipu, mencela, kafir, ingkar dengan seruan Tuhan yang kau dakwahkan. Tugasmu hanya mengajak, mengajak, dan mengajak. Dan Allah akan menolongmu beserta orang-orang yang mengikuti jejak lakumu.
“Innalloha ma’allaziinattaqow wallaziina hum muhsinuun”
“Sungguh, Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An-Nahl 16: Ayat 128)
Menyaksikan kesabaran, kemuliaan hati, dan ketaqwaan yang tersemat dalam diri Muhammad (termaktub dalam surah An Nahl: 125 – 128), membuat Allah Swt ‘terharu’. Sehingga Allah ingin menghibur kekasih-Nya itu. Memupuskan laranya, menghapuskan duka deritanya. Muhammad di ajak Isra dari Haram ke Aqsa mengendarai Buraq.Tujuan Isra ialah menziarohi Nabi-nabi terdahulu. Allah hendak mengabarkan kepada Nabi Muhammad, bahwasannya Nabi dan para Rasul terdahulu juga mengalami apa yang dialami Muhammad dalam mendakwahkan agama Allah. Berat, tidak mudah, bahkan bertaruh harta, jiwa, raga. Dengan menziarohi kisah Nabi-nabi sebelumnya, harapannya Muhammad berbesar hati dan bertambah lapang dadanya untuk mengemban tugas sebagai pembawa cahaya, merahmati semesta.
Untuk menyempurnakan Islam sekaligus memantapkan keimanan Muhammad, Ia lantas diundang Tuhan untuk menemui-Nya langsung di Singgasana Sidratul Muntaha. Itulah perjalanan sunyi Miraj. Perjalanan yang tidak bisa digapai dengan akal. Hanya iman yang sanggup menjangkaunya. (Surah Al Isra : 1). Dalam pertemuan agung itu, Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk menunaikan shalat 5 waktu dalam sehari, dan selanjutnya agar disampaikan kepada seluruh penduduk bumi.
**
Isra Miraj adalah Puncak Kesuksesan
Jelas sekarang bahwa Isra Miraj Nabi Muhammad Saw tidak diperoleh secara instan. Tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tidak sekejap mata mendapatkannya. Melainkan melalui proses panjang nan melelahkan. Mengasah kesabaran. Menguji ketebalan iman. Dan Nabi Muhammad sukses, berteguh patuh dalam kesabaran dan ketakwaan dijalan Tuhan.
Berkaca dari peristiwa Isra dan Miraj Nabi Muhammad Saw, kita dapat mengambil satu hikmah penting. Bahwa puncak kesuksesan hidup manusia apapun bentuknya (baik sukses dunia maupun sukses akherat) hanya dapat diraih dengan ketekunan, kesabaran, perjuangan, dan keyakinan atas usaha serta doa. Dan itulah yang disebut proses. Proses demi proses itulah yang kemudian mengkristal, menghantar kita menggapai puncak kesuksesan.
Korelasi Isra Mi’raj dan Maiyah
Kalau boleh berfikir agak liar, mungkin Maiyah bisa dikatakan serupa dengan perjalananan Isra Miraj. Jika puncak ‘kesuksesan’ Kanjeng Nabi Muhammad Saw bernama Isra Miraj, maka puncak perjuangan seorang Muhammad Ainun Nadjib adalah Maiyah. Meski persepsi ini kalau saya sodorkan ke Simbah, bisa jadi beliau tidak terima atau justru malah menempeleng kepala saya.
“Aku ki dudu sopo-sopo. Maiyah kuwi dudu gaweanku. Maiyah terjadi dan berlangsung hingga kini itu murni berkàt Kasih-Sayang-Nya Allah.”
Begitu kira-kira jawaban tegas dari Mbah Nun. Dan kita terharu mendengarnya.
Akhirnya, kita semua mesti banyak-banyak bersyukur. Bersyukur kepada Allah karena telah di anugerahi suri tauladan yang mulia bernama Muhammad Saw. Manusia sempurna, Al amin, panutan dan idola satu-satunya. Juga kita syukuri, selama ini kita telah di izinkan ngangsu ilmu kepada Simbah guru Muhammad Ainun Nadjib.
Melalui peristiwa Isra Miraj yang ditempuh Nabiyullah Muhammad Saw, juga perjalanan Maiyah yang dirintis oleh Simbah, kita mengerti dan dapat belajar tentang arti sukses yang sejati. Bahwa sukses adalah hadiah. Tidak penting hadiah itu sebenarnya. Sebab yang paling penting adalah proses bagaimana agar Allah berkenan melimpahkan hadiah tersebut. Yang dinilai Allah kelak adalah ringan-beratnya bobot perjuangan. Dan hadiah (sukses) akan berbanding lurus dengan proses pencapaian-nya. Proses tidak akan bohong terhadap hasil. Dan Nabi Muhammad serta Simbah telah mengajarkan kita tentang cara bagaimana meraih hadiah (sukses) tersebut. Sekarang giliran kita. Selamat mencoba!
Gemolong, 3 April 2019
Muhammadona Setiawan