Keberadaan narasumber yang tidak seperti biasanya akhirnya dimanfaatkan dengan memberikan keleluasaan kepada jamaah untuk menanggapi tema sinau bareng malam itu. Kang Dur lalu mengatur irama acara dan menawarkan kepada jamaah siapa yang mau urun pendapat, sanggahan, atau malah tambahan pengetahuan terkait tema bala kabeh.
Mbak Nadia asal Bandung mengajukan diri untuk urun penjelasan. Ia menjelaskan bahwa dalam khazanah Sunda terdapat istilah Gaputala, yakni suatu energi yang menghubungkan antar manusia dengan cinta dan kasih. Sementara itu Syahrul jamaah asal Rembang dan Dewi asal Wonogiri memiliki pemahaman yang sama bahwa selama kita masih hidup di dunia ini, kita mesti menjadikan alam semesta dan segala ciptaan Allah adalah saudara. “Selama manusia memebrikan kebaikan, maka alam akan merespon baik juga”, tutur Dewi malam itu.
Gus Aniq yang mengenakan pakaian hitam dan kopiah hitam segera melingkar bersama jamaah. Merespons tema kali ini, Gus Aniq menjelaskannya secara runtut dan filosofis. Dimulai dari menjelaskan proses penciptaan alam semesta, bahwa Allah menciptakan semesta ini dengan “Ideologi Kerahmatan” yakni dengan cinta. Sehingga apa pun yang diciptakan Allah dengan cinta, maka ciptaannya pasti teratur dan tidak menimbulkan konflik atau ketidakaturan. “Dulu langit dan bumi itu bersatu”, tutur Gus Aniq. Lalu menurut teori yang dianut saat ini, terjadilah yang namanya “Big Bang”, sebuah ledakan besar yang pastinya menimbulkan ketidakberaturan. Mana mungkin Allah menciptakan ketidakberaturan? Lanjut Gus Aniq menjelaskan, bahwa proses penciptan alam bukan dari ledakan tetapi dari pembelahan. Dan pembelahan ini terstruktur dengan rapi. Maka alam semesta ini sesungguhnya merindukan untuk menyatu kembali (mawaddah). Seperti Allah yang memiliki sifat Yaa Wadud (Dzat yang merindukan untuk menyatukan). Sehingga dengan Rahmah Allah terciptalah situasi Sakinah.
Gus Aniq melanjutkan penjelasannya, bahwa ayat “Innallaha la yughayyiru ma bi qoumin, hatta yughayyiru ma bi anfusihim” (Q.S. Ar-Rad:11) yang biasanya diartikan “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka”. Tetapi ada intepretasi atau penafsiran lain sehingga redaksinya berbunyi, “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah rahmat (lil’alamin) sehingga manusianyalah yang merubahnya (menjadi laknat)”. Jadi sesungguhnya manusialah yang berbuat kerusakan, mengubah rahmat Allah menjadi laknat. Lalu sebelum mengakhiri penjelasannya Gus Aniq berkata, “Mari kita hadir membawa kerahmatan, kita patut bersyukur kalau dalam Maiyah ini mencari kebaikan bareng-bareng”.
Malam menuju larut. Ketegangan berdiskusi diredakan oleh penampilan Wakijo Lan Sedulur dengan tembang Keseimbangan dan Kidung Puspa Wening. Memasuki sesi tanya-jawab, Om Budi Maryono hadir membersamai jamaah. Setelah menyandarkan pantatnya di lantai, Om Budi langsung mendapat pertanyaan dari Kang Giono. “Jika hujan itu rahmat, kenapa kita menginjak-injak rahmat (hujan)”? tanyanya.
Om Budi lalu menjawab, “Salah satu saat makbul untuk berdoa adalah saat hujan”. Hujan adalah rahmat, bagi tanaman untuk tumbuh, bagi bumi adalah sumber air. Maka kita mesti meniru hujan yang turun tak pernah memilih akan menghujani di mana. Ibarat nasihat, jika kita tak bisa menjadi hujan (rahmat) bagi orang lain, maka jadilah kita tumbuh dari hujan tersebut”. “Begitulah proses penciptaan apa pun”, tutur Gus Aniq. Sakinah itu sulit, tapi kita sudah diberikan Mawaddah dan Warahmah, seperti hujan. “Hujan itu tidak pelit”, Om Budi melanjutkan penjelasan. Seperti Allah juga tidak pelit. Matahari juga. Hujan merahmati semua. Bahwa Tuhan itu menundukkan alam semesta untuk manusia. Kalau berbuat baik jangan berharap untuk dibalas baik, layaknya hujan berbaiklah dengan sesama.
Selanjutnya respon dari Fajar dari Gunungpati. Ia menanyakan tentang bagaimana untuk mengaplikasikan “Bolo Kabeh”, jika jin adalah menjadi saudara kita dan kita ajak bekerjasama. Apakah kita tidak jatuh dalam unsur syirik? Katanya jin itu lebih pintar dari manusia, itu bagaimana?”. Segera Gus Aniq memberikan respon, bahwa sebelum terciptanya manusia pertama kali (Nabi Adam), yang menjadi penduduk bumi adalah peradaban jin. Sama seperti peradaban pada umumnya, ada masa puncak dan kehancuran. Sehingga dalam surah Al-Baqarah ayat 30 menjelaskan bahwa Malaikat seakan-akan membantah apa yang akan diciptakan Allah untuk menjadi penduduk bumi (manusia). Gus Aniq melanjutkan penjelasannya, bahwa malaikat menjadi saksi terjadinya pertumpahan darah itu (saksi peradaban jin di bumi yang saling bertumpah darah). Pengalaman itulah yang menjadikan malaikat bertanya demikian kepada Allah. Selanjutnya Om Budi juga memberikan perumpamaan menarik, “Musyrik itu ketika membuka internet, ternyata kuotanya habis, lalu orang itu berkata matek aku (mati aku)! ”Innama a’malu binniyat, Semua tergantung niatan kita. Kita musyrik atau tidak hanya diri kita dan Allah yang tahu.
Pukul 02.00 WIB, hari telah berganti. Sebelum ditutup dengan lantunan Shohibu baiti dan bersalaman, Kang Dur memberikan kata penutup yang menarik: “Semua adalah saudara, tapi semuanya ya ada adabnya”. Gambang Syafaat edisi Maret telah usai, semoga apa yang kita dapat dalam sinau bareng ini menjadi energi baru untuk memberikan rahmah (kasih sayang dan cinta) kepada sesama, kepada makhluk ciptaan Allah. Saling mengasihi dan tidak mencederai. Sekian. (Maulana Malik Ibrahim)