Pada hari-hari ini ruang publik kita dipenuhi kalimat-kalimat permusuhan. Memuji diri dan kelompok sendiri, tetapi menuding pihak lain salah. Teluh, peluru kepada pihak yang dilainkan itu berbentuk gambar bergerak, meme. Tentu saja ujaran-ujaran itu melukai dan entah kapan luka-luka itu akan mampu terobati. Dalih pelemparan teluh digital itu adalah perjuangan: jihad. Satu pihak menyakini apa yang dilakukannya adalah demi kebenaran.
Teluh digital itu dikirim ke grup-grup WhatsApp (WA) keluarga. Kemudian seorang keponakan adu mulut dengan pamannya. Tanpa sadar itu menjadi rutinitas keseharian kita, dari pemilu ke pemilu. Mulai dari pemilihan kepala desa, pemilihan bupati, pemilihan gubernur, sampai pemilihan presiden. Kita berpindah-pindah dari satu perdebatan ke perdebatan lainnya. “Urip gur mampir padu.” Hidup hanyalah mampir debat. Sekian puluh tahun kita bernegara, belum mampukah kita berembuk?
Kita harus memiliki kesadaran tunggal. Kita dari sumber yang sama, dan akan kembali ke sumber itu lagi. Engkau adalah aku yang lain. Aku dan kamu sebagai satu ketunggalan. Kesadaran tunggal ini harus lebih diutamakan dibanding kesadaran kelompok. Kesadaran menjaga rumah bersama. NKRI memang harga mati, namun jika kita bertengkar melulu, NKRI itu akan hancur.
Sekadar tawaran, bagaimana kalau kita mulai semai idiom, “konco kabeh”. Kita semua saudara. “Luwih penak seduluran”, lebih enak persaudaraan. Kita simpan kata-kata yang menimbulkan jotos-jotosan.
Bukankah berulang kali kita diseru untuk menjadi umat yang tengah? Sebaik-baiknya perkara adalah mengambil posisi di tengah-tengah. Tidak terlalu ke kanan tetapi juga tidak terlalu ke kiri. Jangan terlalu membenci juga tidak terlalu mencintai. Karena hanya mata Allah yang mampu melihat sebenar-benarnya kebenaran. Sisakan ruang dalam diri kita. Gambang Syafaat pada edisi 25 Maret 2019 mengangkat tema “BALA KABEH”.