Jannatul Maiyah Gambang Syafaat memulai tahun 2018 dengan menyuguhkan tema “Dari Balkon Melihat Zaman”. Tema ini dipilih untuk memasang kuda-kuda menghadapi gejala-gejala polarisasi agama, ras, ideologi yang sebentar lagi akan tampak ketika pilkada serentak berlangsung. Kebetulan pada tahun ini, Jawa Tengah, melangsungkan pemilihan gubernur. Gambang Syafaat yang tinggal di ibukota Jawa Tengah menyiapkan bekal kepada jamaah agar tidak gampang tersulut menjadi bagian kelompok yang mudah bertikai. Atau kalau bisa menjadi perekat antara dua kubu yang terbelah karena pilihan politik.
Habib Anis langsung mematikan puntung rokok yang dihisapnya setelah Kang Ali memintanya menjadi pembicara selanjutnya. Beberapa bulan yang lalu, Habib Anis diberkahi penyakit yang mengharuskannya “berpuasa” dari rokok. Dan, malam itu kesehatan sudah kembali menghuni tubuhnya. Asap nikotin pun sudah mengepul dengan lancar dari mulutnya.
“Dua hal yang selalu dialami manusia: keterlibatan (imanensi) dan penjaraan (transendensi). Dia terlibat dan dia harus mengambil jarak,” kata Habib Anis membuka pembicaraannya. Pernyataan itu agak disederhanakan penjelasaannya oleh Habib Anis agar para jamaah mudah memahami pernyataannya. Beliau melanjutkan,”ketika anda salat. Ada dua hal yang unik. Anda mengambil jarak dari realitas, tapi tidak mengambil jarak dari Tuhan. Ketika anda tidak salat anda berjarak dari Tuhan dan tidak berjarak dari realitas. Dua-duanya bisa terjadi tergantung di sisi mana anda berada.”
Persoalan jarak ini diurai Habib Anis dengan gamblang. Perkara jarak dalam pembahasan tema kali ini bukanlah sesuatu yang memisahkan dua tempat. Tapi, kita memerlukan jarak untuk melihat dan menghadapi suatu masalah. Jarak dibutuhkan ketika kita kesulitan menentukan mana yang baik dan mana yang benar. “Kalau kita berada dalam kemacetan, kita merasa tidak ada pola yang kosong di sekitar kita. Tapi, kalau kita melihat kemacetan dari atas. Masih ada pola-pola yang tersisa. Nah, kita harus bisa melihat pola-pola ini dari tempat lain kalau di tempat umum kita tidak bisa menemukan pola itu.”
Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk menghadapi masalah yang diberikan zaman. Salah satunya adalah dengan menentukan tempat yang tepat untuk melihat suatu masalah muncul. Identifikasi terhadap masalah harus dilakukan dengan pikiran jernih. Tapi, satu cara ini belum tentu ampuh kalau kita tidak dibekali keilmuan yang mumpuni.
“Sekarang orang-orang berebutan tampil menjadi orang yang paling bisa menghadapi masalah. Orang gampang mendapat gelar ustaz. Padahal dulu kalau orang disebut ulama itu harus menguasai berbagai sekian ilmu.” Habib Anis menceritakan pengalamannya sowan ke kiai sepuh. katanya, setiap kiai-kiai sepuh ditanya suatu masalah. Beliau akan menjawab nanti dulu ya, saya tak baca-baca [baca Alquran dan kitab-red] dulu. Artinya ada kehati-hatian sebelum memberikan jawaban. Jangan-jangan jawaban yang diberikan itu berangkat dari nafsunya bukan dari kejernihan mengolah ilmunya.
Zaman selalu memberikan masalah, kesemrawutan, dan kegaduhan. Setiap zaman juga melahirkan pengkritik zaman. “Mulai dari zaman Hasan Al Basri sufi pertama sudah ada pengkritik zaman. Artinya zaman selalu semrawut dan selalu ada manusia yang berusaha memerbaikinya. Mereka melakukan gerakan sebagai kritik terhadap zaman yang ditimbulkan dari rasa kekecewaan terhadap peradaban yang semakin menjauh dari teks-teks suci yang ada.”
Habib Anis juga mewanti-wanti agar jangan disalah artikan para pengkritik zaman itu sebagai orang yang mengeluh terhadap keadaan zaman. “Kita mengkritisi zaman tapi bukan untuk menyesali zaman. Harus dibedakan itu. tidak boleh mengeluh. Mengkritisi itu untuk menentukan peta, melihat pola, untuk mengembalikan aliran air yang keliru.”
Hati-hati, kata Habib Anis, kalau anda berada dalam masalah. Ilmu anda bisa tertutup.
Masalah-masalah yang lahir di zaman ini harus kita lihat dari balkon. “Kalau melihat dari balkon, itu adalah cara kita untuk menemukan polanya. Kalau ketahuan polanya untuk menyelesaikan masalah. Anda punya kemampuan untuk menilai.” (Red-Yunan Setiawan)