Baik Lammark maupun Darwin dalam teori mereka mengungkapkan hal yang sama yaitu makhluk hidup yang hadir sebagaimana adanya. Bila pada perkembangannya muncul–sebut saja–spesies baru Lammark menuliskan perilaku adaptasi yang mengakibatkan perubahan morfologi dan anatomis. Sedangkan Darwin mengemukakan bahwa mereka yang gagal dalam perjuangan survival of the fittest akan punah.
Spesies yang dijadikan fokus pengamatan mereka adalah jerapah. Satu mamalia berleher panjang yang bisa kita temui hingga hari ini.
Tanpa usah berlama-lama dengan teori mereka, meski bagi saya tatarannya masihlah hipotesa, mari kita arahkan pandangan ke satu kota yang sisi atasnya sangat kontradiktif dengan situasi kawasan pesisirnya. Ya, Semarang. Satu pusat pemerintahan provinsi yang terkait erat dengan riwayat perjalanan syiar Ki Pandan Aran.
Materi pembicaraan kita tujukan pada hewan sangat spesifik kawasan banjir rob itu, Warak Ngendog. Kalau kita kaitkan dengam teori evolusi, hewan ini dulunya apa? Naga yang berubah menjadi semacam mamalia? Unta yang berevoluisi menjadi kambing atau kambing yang secara bertahap menjadi unggas?
Keunikan Warak Ngendog masih dilanjutkan dengan keberadaan telur yang hanya satu. Telur yang dihasilkan sebagai berkah bagi Warak itu sendiri dan mereka yang memeliharanya.
Unik, langka dan bertahan bersama perjalanan waktu. Hal sama yang menjadi karakter dasar satu peristiwa publik di kawasan Masjid Baiturrahman. Peristiwa publik yang di penghujung tahun ini, alhamdulillah, melampaui usia 19 tahun. Ia bernama Gambang Syafaat. Nama yang membawa kemanfaatan–kita semua berharap demikian. Meski sulit memberikan argumentasi kalau sampai menjelang dua dekade perjalanannya perkauman ini tak memberikan apa-apa kepada milleu, masyarakat tempat mereka berada.
Perjalananan tidak selalu terlaksana sesuai rencana. Dalam pasang surut riwayat hidupnya, beberapa kali Gambang Syafaat hanya dihadiri oleh para penggiatnya. Belum lagi friksi internal yang kini jadi catatan manis untuk dikenang.
Apapun itu, sebagaimana Warak Ngendog “hanya” meghasilkan telur tanpa berharap menetas, Gambang Syafaat kian mengokohkan keberadaannya sebagai satu rutinan yang menghasilkan kegembiraan publik. Bahwa kegembiraan ini menemukan manifestasi lanjutan, sebut saja gairah untuk berprestasi, kemauan berpartisipasi dalam kemajemukan hidup atau semakin tangguhnya karakter dan personalitas warga masyarakat, itu semua tak pernah menjadi concern para penggiatnya. Mereka fokus hanya pada bagaimana meyediakan kelengkapan bagi terlaksananya rutinan.
Namun demikian, tak adil kiranya kalau hanya kepada penggiat salut kita arahkan. Ada keterkaitan yang saling berkelindan antara profil Warak Ngendog itu sendiri dengan daya serap masyarakat Semarang terhadapnya. Analogi yang bisa kita bawa ke eksistensi Gambang Syafaat yang kini punya kelengkapan www.gambangsyafaat.com dan kelompok musik apik namun tetap bersahaja: Wakijo lan Sedulur.
Artinya, sifat dasar dan perkembangan Gambang Syafaat tak bisa terlepas dari keunikan dan kebenaran nilai yang dibawakannya–dan itu bernama Maiyah–serta keterbukaan dan watak “apa anane” dari warga Semarang.
Selamat berulang tahun, Gambang Syafaat. Tetaplah menjadi “Warak Ngendog” yang begitu percaya diri walau hanya menghasilkan satu butir telur saja. Telur yang bukan lagi kewenangan kita untuk menjadikannya apa atau siapa.