Bulan November kita disuruh mengingat jasa para Pahlawan. Pahlawan adalah orang-orang yang berkorban harta, jiwa, raga untuk kepentingan orang banyak. Pengorbanan itu demi kemerdekaan, kesejahteraan, kemakmuran bangsanya, keselamatan kampungnya, ketentraman hidup bersama. Ia tidak peduli hidupnya sendiri yang compang-camping demi kebaikan orang lain. Seorang pahlawan bisa dalam lingkup sempit maupun dalam lingkup luas, keluarga, kampung, desa, kabupaten, maupun bangsa. Namun ada juga yang di luar batas-batas geografis semacam itu, pahlawan yang memperjuangkan kebenaran universal, kemanusiaan. Tidak peduli orang mana, di pihak sana atau sini, jika salah ya dihukum dan jika benar dibela. Pahlawan begini yang dibela adalah nilai, tidak peduli manusianya berpakaian seperti apa, berjenggot atau berkumis, kaya atau miskin tidak peduli!
Di pinggir-pinggir jalan kita mulai menyaksikan gambar-gambar besar dipasang. Mereka begitu gagah, berbaju bagus, mengangkat tangan. Ada yang tersenyum, ada pula yang tegap mantap. Siapakah mereka? Apakah semacam itu pahlawan? Mereka adalah orang-orang yang hendak mengikuti pemilu sebagai eksekutif maupun legislatif. Alurnya sebenarnya mereka berjuang dulu untuk masyarakat baru dipilih atau dipilih dulu baru berjuang? Dalam kerja kemasyarakatan itu ada dua hal; tanggungjawab dan fasilitas. Orang-orang ini mau mengemban tanggungjawabnya atau hanya menikmati fasilitasnya? Di sinilah kita menyaksikan kelemahan sistem demokrasi kita, kita sebagai masyarakat tidak bisa mengangkat orang yang sudah melakukan, mengemban tanggungjawab sebagai pemimpin dan menggenapi fasilitasnya untuk memperlancar pekerjaan-pekerjaannya. Para pengemban tanggungjawab kemanusiaan, kemasyarakatan berjibaku sendiri membiayai kegiatannya. Sementara di sisi lain, orang yang hanya memperkaya diri dipenuhi rekeningnya.
Perlu adanya mekanisme baru dalam demokrasi kita, seorang pemimpin tidak harus mencalonkan diri. Atau seorang pemimpin tidak boleh mencalonkan dirinya sendiri. Biarkan masyarakat mencari pemimpinnya sendiri sesuai kebutuhan mereka. Saya teringat proses pemilihan pengelola rumah suci Ka’bah pada zaman dulu. Mula-mula Ka’bah dikelola oleh Hasyim, tugasnya pemenuhan kebutuhan jamaah haji. Setelah Hasyim wafat tugas itu diserahkan ke saudaranya bernama Muthalib. Muthalib melihat anak turunnya sendiri tidak ada yang memenuhi kriteria memimpin pengelolaan Ka’bah, ia juga melihat anak-anak saudaranya, Hasyim yang ada di Makkah tidak ada yang masuk kriteria. Muthalib mendengar bahwa anak Hasyim yang berada di Yatsrib dari perkawinannya dengan Salma memiliki bakat kepemimpinan yang bagus. Datanglah Muthalib ke Yatsrib untuk melihat dan menemui kemenakannya itu. Setelah ia melihat ada kecocokkan dibawalah kemenakannya itu ke Makkah. Orang-orang mengira itu adalah budaknya maka mereka memanggil dengan sebutan Abdul Muthalib dari nama aslinya Syaibah. Dari kasus ini kita bisa belajar tentang kearifan memilih calon pemimpin bukan hanya berdasarkan keturunan tapi berdasarkan kapasitas atas hal yang akan dikerjakannya.
Pahlawan dalam bahasa Jawa artinya mirip dengan Satrio. Dalam moment pemilu begini sering muncul diksi satrio paningit. Satrio yang bersembungi dan datang saat terjadi keos dan dia sebagai penyelesai masalah. Mengapa menyelesaikan masalah menunggu keos dulu? Saya jadi ingat yang disampaikan Mbah Nun di forum Gambang Syafaat beberapa bulan yang lalu: jadilah ahli, tekunilah sesuatu yang kamu sukai hingga kamu menjadi ahli, hingga kamu menjadi otoritas ilmu, tempat bertanya akan hal itu.
Saya kira ini ada kaitannya dengan satrio paningit. Tidak usahlah mencari satriopaningit, siapkan dirimu menjadi satriopaningit, menjadi solusi dan bukan menjadi masalah. Menjadi ahli adalah menjadi solusi dan itu bisa dilakukan hanya dengan cara ketekunan, keuletan, ketelatenan.