Majalah Zaman edisi 24 Agustus 1980 memuat tulisan seorang pemuda gondrong berkaos putih bernama Emha Ainun Nadjib. Tulisan itu berjudul “Kitab Suci”. Di awal tulisan ini Cak Nun mengolok-olok perilaku manusia akademik yang sok rasional tetapi sering juga melakukan perbuatan yang irasional. Cak Nun membuka esainya dengan perbandingan antara buku suci dan kitab suci.
Sejarah negeri ini mencatat ketika seseorang masuk ke lembaga pendidikan tertinggi disebut universitas, institut atau sekolah tinggi mereka harus melalui tahab perploncoan. Senior mengerjai yuniornya dalam rangka oreintasi pengenalan kehidupan kampus. Tujuannya adalah untuk menyesuaikan anak-anak kampung ke kehidupan ilmu meskipun cara-cara perploncoan itu seringkali tidak menggunakan ilmu juga.
Salah satu contohnya adalah buku suci, panitia perploncoan menyuruh para mahasiswa baru memperlakukan buku suci sebagaimana kitab suci. Buku suci adalah buku panduan yang dicetak oleh panitia plonco, sedangkan kitab suci adalah wahyu Tuhan yang dimuskhafkan, menjatuhkan kitab suci berkonsekuensi fatal, orangtua bisa marah dan menyuruh kita mengambil, mencium, dan menyunggi. Para panitia plonco menyuruh para adik didiknya untuk memperlakukan buku suci itu sebagaimana kitab suci. Apa alasannya? Menurut Cak Nun tindakan senior plonco itu adalah: ‘seni tanpa dasar’ atau ‘agama tanpa sumber’ yang kemudian tenggelam di lumpur kenangan.
Rupanya bukan itu inti bahasan dalam esai tersebut. Inti masalah yang diketengahkan dalam esai tersebut adalah tentang kitab suci Alquran. Antara Alquran sebagai fisik dan sebagai ruh. “Tak usah eret-eret Quran ke mana-mana. Sebab ruhnya bisa bersila dalam ruang ingatan kita. Wong salah satu gelar Quran itu ialah Adzdzikr. Ingatan. Atau peringatan. Kalau ruhnya sudah ngepos dalam jiwa kita, maka dialah yang jadi masinis kereta api hidup kita. Ruh Quran adalah abab Tuhan. Napas-Nya yang segar dan membahagiakan”
Jika Alquran itu sudah meng-ruh pada diri kita, kita bawa di kantor, di siding MPR, pengambilan keputusan maka kita akan tertuntun oleh Tuhan, jika kepala kita menyunggi Alquran tetapi tangan kita korupsi dan mencuri itu artinya kita menghina Alquran.
Saya penasaran, bagaimana rasanya menjadi manusia baru dan baru setelah membaca Alquran sebagaimana yang disampaikan oleh Cak Nun: selalu memberi pengalaman baru. Memberi rasa baru, rasa baru yang riil. Memberi kehidupan baru. Terus-menerus. Ayat-ayat Allah itu senantiasa lahir kembali di dalam diri kita.
Dengan tulisannya Cak Nun merekam peristiwa dan perdebatan di negeri ini. Dalam esai pendek itu tidak hanya masalah plonco memplonco yang dibahas tetapi juga tentang tradisi membaca Alquran dan tradisi dakwah. Ada dakwah yang justru melemahkan dakwah. Di kampung ada tradisi nderes, membaca Alquran. Oleh penceramah moderen tradisi ini dianggap sia-sia karena mereka-mereka adalah kaum pembaca Alquran yang tidak tahu maknanya, tidak tahu arti dan isi Alquran. Sementara yang mulanya sregep nderes Alquran menjadi malas, sedangkan belajar menerjemahkan Alquran tidak kunjung berhasil.
Terus terang saya menjadi penasaran dan ingin segera membaca Alquran setelah membaca esai ini. Cak Nun memang memiliki cara sendiri untuk menyapa hati manusia-manusia karas hati sejenis saya ini. Suwun Cak.