Mbah Nun di Gambang Syafaat edisi Februari (25/2/18) menyodorkan pertanyaan kepada para jamaah Maiyah. “Duluan mana, Kamu mencintai Allah atau Allah mencintai kamu?” Ini pertanyaan sederhana. Jarang dilontarkan di diskusi, seminar atau acara pengajian memperingati Maulud, Nuzulul Quran atau sejenisnya. Pertanyaan tersebut membuat para jamaah yang malam itu memenuhi halaman selatan Masjid Baiturrahman, Semarang meraba-raba kira-kira apa jawaban yang pas.
Mbah Nun ingin para Jamaah Maiyah mengenal agama secara sederhana. Tak perlu hal terlalu rumit bahkan setinggi langit untuk belajar agama. Mbah Nun malam itu memang ditunggu kehadirannya di Gambang Syafaat. Lihat saja, setiap informasi Mbah Nun bisa hadir, para Jamaah Maiyah selalu memenuhi Gambang Syafaat. Bahkan di luar pagar parkir selatan masjid terlihat juga ada jamaah rela berdiri hingga berjam-jam.
Mbah Nun menjadikan fenomena ramainya simpul maiyah di berbagai daerah seperti di Jawa, Sumatera bahkan Kalimantan adalah bukan karena beliau. Mbah Nun juga selalu mengatakan bahwa kelahiran begitu banyak simpul–simpul maiyah saat ini juga bukan keinginan bahkan bermimpi pun tidak pernah. “Saya lihat begitu banyak pemuda yang hadir di sini. Duduk dari pukul 20.00 hingga 03.00 tanpa pernah merasakan pegal, nggerutu atau kelelahan. Ini bukan keinginan saya. Inilah rasa cinta Allah kepada kalian agar kalian berada di sini”.
Mbah Nun selalu mengingatkan para Jamaah Maiyah agar selalu menghadirkan Allah dalam hal sekecil apapun. Jika hal sederhana ini bisa dibiasakan maka rasa syukur, kebahagiaan serta tameng dalam hidup akan muncul. “Kita akan takut melakukan tindak kejahatan sekecil apapun, jika selalu mengingat Allah’. Imbuh beliau
Mbah Nun malam itu hadir di Gambang Syafaat usai mengikuti proses pemakaman Pak Ismarwanto. Pak Ismarwanto, Si peniup seruling Kyai Kanjeng. Sudah 20 tahun Pak Is menemani Kyai Kanjeng. Mbah Nun mengajak para jamaah Gambang Syafaat mengirimkan Alfatihah untuk Pak Is. Malam itu Gambang Syafaat memberi tema edisi Februari “Menimba pada Cermin”.
Mbah Nun tidak sendirian. Ada Pak Ilyas, Pak Salarti, Gus Aniq serta Kyai Muzammil. Mbah Nun lagi–lagi menghubungkan tema dengan hal sederhana. Pejalanan dari Semarang ke Jakarta. Mbah Nun kembali menanyakan kepada para jamaah. “Kalian ada di posisi mana, Semarang atau Jakarta, jika Semarang adalah dunia dan Jakarta adalah akhirat?”
Pikiran dikotomis yang membuat dunia dan akhirat menjadikan keduanya adalah sisi yang berbeda. Dunia tak ada hubungannya dengan akhirat begitu sebaliknya. Mbah Nun mengajak para jamaah untuk tidak berpikir kalkulatif bahkan dikotomis. “Dunia dan akhirat bukan hal berbeda. Keduanya berdampingan. Jika kalian bertujuan ke akhirat pasti melalui yang namanya dunia”.
“Jangan salah kalkulasi. Jangan memprimerkan yang sekunder. Jangan menyekunderkan yang primer. Jangan mengakikan kepala. Jangan mengepalakan kaki. Carilah dimensi akhirat atau tujuan akhirat di dalam apapun yang Allah berikan padamu. Dikasih uang dicari akhiratnya, punya istri dicari akhiratnya. Yang harus diprimerkan adalah Jakarta atau akhiratnya itu. Kamu tidak perlu punya cita-cita ke Pekalongan. Lha tujuanmu adalah Jakarta, Pekalongan ya pasti tercapai”.
Mbah Nun dengan penuh semangat mengajak para jamaah mengingat perintah Allah. ”Jangan lupa nasibmu di dunia tapi tujuan akhiratmu adalah akhirat. Kalau kita nyari akhirat akan rugi dunia kalau kita cari dunia akan rugi akhirat. Dunia adalah bagian dari perjalanan ke akhirat. Kalau kita mencari akhirat kita tidak akan rugi dunia bahkan tambahan dunia”.
Lalu apa fungsinya cermin untuk manusia. Cermin adalah alat ukur manusia untuk mengukur diri. Jika kita ingin melihat penampilan fisik kita melalui cermin. Lalu jika kita ingin mengukur sikap atau sifat kita, maka kita butuh cermin. Orang–orang di sekitar kita adalah cermin bagi kita. Kita sudah menjadi manusia baik atau bukan.
Mbah Nun juga sempat mengingatkan para jamaah untuk menekuni aktivitas kita dengan baik. Selalu berpikir positif terhadap rencana Allah. Jadilah pakar pada bidang kalian masing–masing. Jika sudah menjadi pakar, kau akan dibutuhkan, kalian akan didatangi sendiri. Begitu beliau berpesan.
Jamaah Maiyah Gambang Syafaat bahagia. Ilmu yang dibawakan Mbah Nun disampaikan dengan dua arah. Mbah Nun selalu melemparkan pertanyaan kepada para jamaah hingga mendapat respon, lalu Mbah Nun akan mengurai sedikit demi sedikit materi yang akan disampaikan. Tak jarang gelak tawa yang hanya akan kita jumpai di raut wajah para jamaah.
Jamaah Maiyah Gambang Syafaat kembali pulang. Kembali ke rutinitas masing–masing. Malam itu hujan tak sedang lebat, hanya gerimis. Langit terlihat tenang seperti raut wajah para Jamaah yang pulang dengan penuh kebahagiaan. (Redaksi-Priyo Wiharto).