Salah satu kenikmatan diperkenankan Allah untuk kenal dengan Maiyah ialah lahirnya sebuah kemampuan di dalam diri untuk menyambungkan segala hal yang ada dalam kehidupan. Maiyah memberikan kemampuan kepada manusia untuk mengaitkan apa saja yang kelihatannya tidak mungkin menjadi mungkin dikaitkan.
Ibarat jaring laba-laba, serumit apa pun pola pintalan jaring pada tiap sisinya, tetapi tetap saja semua akan berkait dengan titik tengah atau titik pusat dari keseluruhan jaring itu. Begitulah kesadaran Tauhid. Suatu kesadaran bahwa tidak ada satu pun partitur dalam kehidupan yang tidak terkait dengan Allah Swt. Maka, orang-orang Maiyah sanggup menemukan persambungan-persambungan dari berbagai hal, karena orang Maiyah adalah sejatinya penempuh Tauhid.
Dari tutup botol hingga Malaikat, dari buah kelapa hingga peradaban ultra-modern, dari seekor kecoa hingga beranda pintu surga, bahkan dari sebuah peci hingga konsep rahmatan lil ‘alamin, semua bisa diraba keterkaitannya melalui kacamata pandang Maiyah.
Ketika Maiyahan dalam rangka hari jadi Kabupaten Sragen sekitar dua minggu yang lalu, Mbah Nun mentaddaburi, makna dari warna peci Maiyah melalui pintu ilmu empat jenis nafs manusia. Warna merah (amarah) pada peci diterjemahkan oleh Mbah Nun sebagai lambang dari gairah, ambisi dan emosi. Tetapi ketiga sifat itu tidak boleh dibiarkan hidup tanpa pendamping. Maka ada warna putih (muthmainnah) yang mengikatnya. Putih ialah lambang kematangan dan ketenangan. Artinya, segala gairah, ambisi, dan emosi tidak kita biarkan terlalu meletup-letup, sebab segala sesuatu yang berjalan tidak pada kewajaran porsinya akan berakhir menjadi mudarat. Oleh karenanya, kematangan dan ketenangan jiwa kita mengambil peran sebagai pengendali sekaligus transformator agar nafs amarah bisa menjadi rahmat bagi kiri dan kanan.
Bergeser ke bagian atas dari peci Maiyah, di situ terdapat lubang yang jumlahnya berbeda-beda. Beruntung di dalam gua Maiyah kita telah cukup lama bertapa agar mampu menangkap segala hal dan mengubahnya menjadi sumur-sumur ilmu baru. Dahulu kala Sunan Kalijaga mengub’ah pasir menjadi butiran beras, mungkin sesungguhnya Kanjeng Sunan berpesan supaya ilmu manusia atas berbagai hal mesti senantiasa di-upgrade agar hikmah dan kesegaran baru terus lahir.
Di bagian atas peci Maiyah itu terdapat titik-titik lubang yang jumlahnya berbeda. Ada yang berjumlah tiga, lima, bahkan sembilan. Pada yang berjumlah tiga, posisi titik lubangnya membentuk formasi segitiga. Sedangkan pada yang berjumlah lima, letak titik lubangnya membentuk persegi dengan satu lubang berada di tengah dan empat lubang lainnya mengisi tiap sisi sudutnya. Sementara pada peci dengan sembilan lubang, delapan lubang membentuk lingkaran dengan satu lubang terakhir berada di bagian tengah persis di atas ubun-ubun.
Tiga titik lubang berbentuk segitiga seolah memberi gambar tentang ilmu dasar kita semua dalam ber-Maiyah, yakni cinta segitiga antara Allah-Rasulullah-hamba. Lima titik lubang bisa kita tarik garis persambungannya dengan rukun Islam sekaligus Pancasila, sebab dalam Maiyah tidak ada pertentangan antara konsep nasionalisme dan Islam. Keduanya dikawinkan oleh getaran cinta yang bermuara pada Allah SWT.
Sementara peci dengan sembilan lubang cukup jarang saya temukan ada yang menggunakannya di antara jannatul Maiyah. Saya hanya mendapati peci dengan sembilan lubang ini dikenakan oleh Mbah Nun seorang (atau barangakali saya yang kurang dolan?).
Sembilan adalah puncak angka, bukan sepuluh, begitu Mbah Nun pernah menjelaskan. Jumlah Wali yang nandur Islam di tanah Nusantara, sembilan. Jumlah mata angin jika ditambah dengan satu titik pada pusatnya pun sembilan. Dari pijak pandang ini bisa kita serap tetesan ilmu bahwa sembilan adalah lambang kelengkapan. Sebagaimana kita semua mafhum bahwa Mbah Nun adalah manusia yang lengkap jika ditelisik dari seluruh kerja hidupnya hingga hari ini. Mbah Nun adalah Ngai Ma Dodera yang menaungi sembilan mata angin dengan rimbun dan keteduhan cinta kasihnya.
Melingkarkan peci Maiyah di atas kepala ialah mengaktifkan antena langit, berharap mendapat bimbingan akal dan hati agar mampu terus berjalan menuju dimensi kelengkapan ‘sembilan’. Perjalanan yang ditempuh dengan kesadaran ‘lima’, yakni perkawinan antara nasionalisme dan religiositas di dalam hati, serta kepasrahan total di dalam dialektika ‘tiga’: menghayati pantun cinta bersama Allah Swt dan Rasulullah Saw.
Sobrun Jamil
Jakarta, 4 Juni 2018