Menjadi bodoh itu tidak berdosa, tapi bisa membuat celaka. Kesadaran bahaya menjadi bodoh itu yang diwanti-wanti dalam Forum Gambang Syafaat (25/01/2018) kemarin malam. Dengan tema “Dari Balkon Melihat Zaman” Jannatul Maiyah Gambang Syafaat mengajak para jamaah untuk sadar bahaya-bahaya menjadi bodoh. Sekarang, kita dihadapkan pada zaman di mana orang-orang bodoh tidak mengakui kebodohannya tampil malah keminter dan mendapat cap dari masyarakat sebagai orang pintar. Terkhusus dalam bidang agama Islam. Betapa mudahnya seseorang dipanggil ustaz. Padahal dulu orang yang dianggap mampu menyelesaikan persoalan hukum, tafsir, dan pemikiran Islam hanya orang-orang yang sudah mumpuni ilmunya. Sekarang, malah dibolak-balik, orang yang sudah menep ilmunya dikira bodoh, orang yang cethek ilmunya sudah dikira menep.
Perkara itu perlu dilihat dari balkon. Dilihat dari atas untuk mengetahui orang yang berlagak pintar (bodoh) dan orang pintar atau alim. Gus Aniq menyampaikan beberapa hal saat menguraikan mukadimah yang beliau tulis untuk tema ini. Sebelum mengurai tema, Gus Aniq mengingatkan bahwa tugas orang alim itu berat. Ia beribadah tidak untuk dirinya sendiri tapi juga untuk jamaah. Makanya orang alim itu mendapat keistimewaan dari Allah, yaitu dipersilakan mensyafaati orang yang disukai ketika hendak masuk surga. “Iki hebate wong alim,” timpal Gus Aniq.
“Ciri-cirine wong alim iku kepiye? Ciri-cirine yaiku soyo duwur ilmune soyo bijak wonge. Semakin tinggi ilmunya semakin tinggi pula rasa takutnya kepada Allah.” Kalau ada orang pintar tapi tidak semakin bijak sikapnya berarti belum dikatakan alim. Apalagi kalau kepintarannya digunakan untuk memintari orang lain. Itu bukan alim tapi zalim. “Saya menganggapnya zaman sekarang itu zaman konyol, bukan lagi edan. Jadi, saya sudah meminta izin pada Mbah Ronggowarsito untuk mengganti zaman ini tidak lagi edan tapi konyol.”
Gus Aniq mengingatkan beberapa kasus kekonyolan yang terjadi. Tentu yang tidak bisa dilupakan soal keributan minum air kencing unta. Itu salah satu kekonyolan yang terjadi di penghujung tahun 2017. Pada Sinau Daur (10/01/2018) di RKSS lalu Gus Aniq menyinggung sedikit persoalan itu. “Kalau seandainya air kencing unta itu diperbolehkan minum. Itu pun tidak dalam bentuk sebagai doping.” Gus Aniq menggarisbawahi kata “seandainya diperbolehkan.” Artinya keadaan itu benar-benar darurat dan tidak ada benda lain yang digunakan selain air kencing unta. Tapi, sekali lagi tidak sebagai doping. Apalagi pada saat itu diminum dengan keadaan sehat sembari menawarkan setumpuk klaim kebenaran air kencing unta.
Keadaan ini membuat umat Islam ribut. Ada yang mengutuknya. Tidak sedikit pula yang mendukungnya. Ketika umat Islam berada dalam arus besar seperti ini. Dengan segala keributan yang selalu diberikan zaman. Gus Aniq mengatakan,”kita melihat zaman dari sisi keistimewaan manusia yaitu berupa akal. Akal adalah sesuatu yang mengikat ruang. Aklun itu sesuatu yang mengikat.”
Akal itu untuk menyerap ilmu-ilmu dari ngendikane kiai sepuh atau dari kitab-kitab yang ditulis para ulama. Akal mestinya digunakan untuk mengikat ilmu-ilmu dari dua hal itu. Jangan mengikat informasi-informasi tidak jelas sumber kebenarannya. Gus Aniq menceritakan kembali apa yang pernah dikatakan Syekh Mahfud Termas. Bahwa beliau pernah berkata, “Al- ‘ulum jum’at waalkutub thubi’at. Ilmu-ilmu itu sudah dikumpulkan. Sudah dicetak. Sudah dititipkan pada orang-orang pintar (ulama). Nemen kalau kita masih bodoh. Buku-buku sudah diterbitkan. Ilmu sudah dikumpulkan. Akan menjadi kaum yang menyesal kalau kita masih menjadi orang bodoh.”
Penjelasaan yang terakhir ini mendapat tanggapan dari jamaah. Beliau mengatakan apa maksud dari ilmu-ilmu yang dicetak dan dititpkan. Dan, mengapa kita harus menyesal kalau bodoh. Padahal tidak semua orang memiliki kesempatan mencari ilmu yang sama. Gus Aniq langsung menimpali pertanyaan itu,”Maksud saya mengutip dari Syekh Mahfud Termas tadi adalah bahwa yang beliau katakan itu kita nemen banget kalau bisa menjadi bodoh, padahal fasilitas untuk mengurangi kebodohan telah tersedia. Penekanannya pada sifat kemalasannya Mas. Diwanti-wanti jangan malas mencari ilmu karena semua ilmu sudah dicetak dan dititipkan pada ulama. Kita tinggal mempelajari apa yang sudah ada.”
Kalau zaman semodern ini dengan kecanggihan teknologi yang diciptakan. Dengan segala kemudahan yang ditawarkan. Informasi yang tidak lagi dicari tapi malah menghampiri. Seharusnya bisa membuat kita tidak tambah bodoh. “nemen kalau kita menjadi bodoh di zaman sekarang.” (Red-Yunan Setiawan)