Mohon kepada kawan-kawan untuk tidak berburuk sangka dulu. Apalagi menduga-duga sesuatu yang belum tentu benar adanya. Ah, tapi saya kira semua kawan saya di sini adalah orang-orang yang sudah dewasa akal dan pikirannya. Yang terbuka hati dan kesadarannya.
Maka dari itu, saya beranikan diri untuk menyampaikan pemikiran saya ini. Pemikiran yang timbul setelah membaca sebuah cerita (meski sayang sampai sekarang sumber valid cerita masih belum bisa saya temukan). Yang kemudian melahirkan rasa yang ingin saya bagi. Entah nanti yang kawan-kawan rasakan akan sama dengan saya atau tidak itu sepenuhnya kuasa Tuhan.
Seperti ini ceritanya :
Alkisah, di tengah perjalanan malamnya, Abu Yazid Al-Bisthami bertemu dengan seekor anjing. Lantas dengan sigap, diangkatlah gamisnya dengan maksud agar tidak terkena najis dari anjing tersebut.
Namun tanpa diduga, seketika anjing tersebut berhenti dan memandang Abu Yazid. Dan atas kuasa Allah, Abu Yazid mendengar anjing tersebut berbicara kepadanya.
“Wahai Yazid, tubuhku ini kering, tidak akan menimbulkan najis kepadamu. Jika pun terkena najisku, engkau tinggal membasuhnya tujuh kali, dengan air dan tanah. Maka najisku akan hilang.”
Abu Yazid tertegun mendengarnya. Namun anjing itu masih melanjutkan kata-katanya.
“Namun jika engkau angkat gamismu, karena berbaju manusia lantas engkau merasa lebih mulia dan menganggap aku hina. Maka najis di dalam hatimu tidak akan mampu terhapus, walaupun kau bersihkan dengan air dari tujuh samudera.
Abu Yazid bergetar hatinya, ia tertunduk malu dan segera meminta maaf kepada si anjing. Lalu diajaknya ajing itu bersahabat untuk kemudian dapat ikut dalam perjalanannya. Namun anjing itu menolak sambil berkata.
“Engkau tidak mungkin bersahabat dan berjalan denganku, karena orang-orang yang memuliakanmu akan mencemoohmu dan melempariku dengan batu. Aku juga tidak tahu mengapa mereka menganggap aku hina, padahal aku telah berserah diri kepada penciptaku atas wujud ini.”
Suasana hening sejenak muncul di antara keduanya. Kemudian si anjing melanjutkan kata-katanya.
“Lihatlah, tidak ada yang aku bawa, bahkan sepotong tulang sebagai bekalku pun tidak. Sementara engkau masih membawa bekal sekantong gandum.”
Selesai mengucapkannya, anjing itu menundukkan kepalanya sejenak kemudian berlalu meninggalkan Abu Yazid. Berdiri seorang diri. Hingga kemudian tanpa terasa air mata Abu Yazid pun menetes membasahi wajahnya. Ia berkata dalam hatinya.
“Ya Rabb, untuk berjalan dengan seekor anjing ciptaan-Mu saja aku merasa tidak pantas. Bagaimana aku bisa pantas berjalan dengan-Mu? Duhai ampunilah aku. Sucikanlah najis dalam kalbuku ini.”
***
Setelah selesai membaca cerita ini, entah bagaimana saya merasa mak tratap. Perasaan saya berputar. Hati saya bergetar. Tapi dasar saya, yang keluar dari mulut justru, “asem ig, asu tenan.”
Misuh? Iya. Buruk? Tunggu dulu.
Mbah Nun pernah bilang bahwa misuh berbeda dengan misuhi. Dan saya kok sependapat. Bagi saya misuh itu output psikologis, ekspresi kebudayaan. Meski tentu saja harus tetap empan papan.
Dalam konteks spasial yang lebih luas, kita bisa sedikit merasakannya setiap kali menghadiri acara maiyahan. Terutama acara di simpul-simpulnya. Maka di situ akan sering kita rasakan “kalimah thoyyibah yang berupa pisuhan” atau jika di wilayah Jawa yang agak timur lebih dikenal dengan istilah “jimat Suroboyoan”. Lho! Berarti buruk? Sekali lagi tunggu dulu.
Setiap kali ujaran itu terucap di maiyahan, coba perhatikan wajah-wajah orang yang hadir. Resapi raut muka mereka, selami air mukanya, rasakan frekuensi yang bergetar di sekeliling mereka. Niscaya yang terasa adalah kegembiraan, cinta dan kemesraan.
Mungkin karena di setiap maiyahan, semangat Abu Yazid ikut hadir di sana. Semangat yang memuliakan semuanya. Semua anasir di alam semesta. Bukan hanya sesama manusia. Bahkan pohon, rumput, batu-batu, angin, air hujan, hingga air comberan. Semuanya diajak duduk bersama, belajar, melingkar, sejajar.
Apalagi asu. Yang pernah rela menjadi tulang belulang demi melindungi pemuda-pemuda di gua kahfi, yang menjadi sebab seorang wanita masuk surga, juga yang mengajari Prabu Yudhistira bagaimana mencapai nirwana di akhir perjalannya di puncak Himalaya. Yang jelas-jelas jauh lebih khusuk berzikir dalam frekuensi penghambaan kepada Ia Yang Maha Segalanya.
Betapa banyak hikmah yang bisa kita ambil darinya. Saudara tua kita yang di luar sana, selama ini justru direndahkan. Bahkan namanya menjadi simbol penghinaan dan pelecehan. Namun siapa tahu, boleh jadi, ia lebih mulia kedudukannya di bandingkan kita.
Dan di Maiyah, kita sudah memulainya. Merangkul semuanya menjadi ekspresi cinta dan kemesraan. Menjejakkan kesadaran bahwa sesungguhnya segala sesuatu sejatinya sedang berlayar dalam sungai kerinduan dengan bahtera cinta yang dinahkodai oleh junjungan kita Maulana Muhammad S.A.W. Maka yang pantas dilakukan adalah mengisi ruang-ruang kosong zaman dan peradaban dengan tawa yang menentramkan, kata-kata yang menggembirakan.
Karena semua dan segala sejatinya adalah Ia.
Bukankah begitu Lur?
Demikian. Wallohua’lam.