Enam bulan yang lalu, pertamakali saya ikut nggambang (meminjam istilahnya mas Agus Wibowo) di teras Masjid Baiturrahman Simpang Lima Semarang, pertanyaan itu pun muncul lagi. “Antropologi ki ilmu opo tho mas?” Saking seringnya pertanyaan ini terlontar setiap kali saya bertemu dan ngobrol dengan sedulur baru, saya biasanya memakai jurus ampuh untuk menjawabnya. “Ilmu Klenik, mas!”
Dari hasil penerawangan saya, para sedulur GS ternyata banyak yang mumpuni soal ilmu klenik, ngelmu kebathinan, dan ilmu kanuragan. Ini menginspirasi saya untuk “minta wangsit” di kuburan dan petilasan para wali di beberapa tempat ketika akhir-akhir ini saya lebih sering berada di Surabaya, meskipun ternyata nihil hasilnya. Akhirnya, saya terpaksa berkonsultasi serius kepada Mbah Google babagan ilmu-ilmu tersebut, walaupun kenyataan pahit harus saya terima, saya tidak nyandhak untuk memaknainya.
Kemudian, saya putuskan untuk ambil jalan pintas saja. Saya tengok KBBI, saya cari definisi klenik, dan weladalah, kok artinya: “kegiatan perdukunan (pengobatan dan sebagainya) dengan cara-cara yang sangat rahasia dan tidak masuk akal, tetapi dipercayai oleh banyak orang”. Saya hanya bisa mbatin, “wuih, uapik iki!” Berarti, atau biar sedikit lebih obyektif, jangan-jangan, istilah klinis yang diadopsi dari bahasa Inggris clinic atau clinical, yang didefinisikan sebagai an establishment or hospital department where outpatients are given medical treatment or advice, especially of a specialist nature, memiliki makna yang sepadan dengan klenik yaitu “perdukunan” atau upaya pengobatan. Bahkan, nek prasaku, luwih ampuh klenik, karena dimensinya lebih luas dan dalam.
Ini membawa saya pada wanti-wanti Cak Nun di setiap panggung Maiyahan dan Sinau Bareng yang beliau sampaikan berulang-ulang dengan menegaskan bahwa Maiyah adalah ihtiar untuk memaknai segala sesuatu, dengan segala penemumu yang didasari cinta dan keikhlasan, syukur-syukur bisa istiqomah di dalamnya. Maka saya sederhanakan saja dengan salah satu pemaknaan pribadi bahwa kegiatan bermaiyah adalah thoriqot untuk mengobati. Mengobati apa saja, mulai dari mengobati pikiran, kegelisahan, kepanikan, kedengkian, keserakahan, kesempitan, kedunguan, kemiskinan, kebodohan, bahkan yang paling dahsyat, ke-rin-du-an.
Saya yakin kita semua telah mafhum bahwa dalam praktik pengobatan klinis modern, rumus umum yang digunakan adalah para dokter biasanya memberikan resep obat setelah mereka melakukan diagnosis terhadap pasien atau kadangkala perlu juga uji laboratorium untuk beberapa penyakit “berat”. Mengacu pada definisi klenik di atas, dengan penekanan pada tidak masuk akal, tetapi dipercayai, Maiyah menjadi semacam formula pengobatan klenis yang “seolah-olah tidak masuk akal”, namun terus dipercayai dan bahkan diikuti oleh banyak orang.
Saya kemudian mencoba melihat satu dialektika dalam falsafah Jawa yang juga sering dilontarkan Cak Nun dalam berbagai forum Maiyah, yaitu konsep sedulur papat limo pancer. Dari sekian banyak tafsir, mulai dari Kakang Kawah Air ketuban): Adi Ari-ari (plasenta): Pancer (diri): Puser (tali plasenta): Getih (darah), kemudian konsep kosmos diri dalam Ruang-Air-Bumi-Api-Angin, lalu pendekatan diri di tengah-tengah Punokawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong), ada satu titik sentral (pancer) yang menjadi manifestasi dari subjek intrinsik (kecenderungan kedalam) sekaligus nilai sentral, kemandirian, dan kemanunggalan. Maka wajar jika Cak Nun juga sering menggunakan idiom “tumbu ketemu tutup” untuk menggambarkan jodonya Islam dengan tradisi Jawa dan Nusantara.
Dalam kosmos cakrawala sudut pandang orang Jawa dan Nusantara, metafor lima perkara ini banyak sekali. Mulai dari karakter ksatrian yang diwakili oleh Pendowo Limo (Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa). Metode penentuan hari juga didasarkan pada Neptu Jowo dengan istilah pasaran lima hari (Kliwon, Legi, Pahing, Pon, Wage) dan nilai pancer tertingginya terletak pada Kliwon. Kemudian konsep menjaga harmoni sosial yang dirumuskan oleh Walisongo atau Sunan Ampel yang dikenal Mo Limo! baik yang ojo (larangan) maupun yang mbokyao (dianjurkan).
Mo Limo yang pertama sudah sangat dikenal, mungkin karena semuanya “enak” dan menjadi trending topic setiap hari, yaitu Main atau berjudi, mengundi nasib dan sejenisnya; Maling (mencuri), Madat (ngobat), Minum (mabuk), Madon (berzina). Sementara Mo Limo golongan kedua nampaknya kurang populer, dan saya malah menemukan ilmu ini di maiyahan, yaitu: Mengkurep (mengayomi), Mlumah (nrimo, ikhlas), Modot, (tegas), Mlebu (menerima), Metu (memberi). Bahkan, dalam tradisi Nahdliyin ada pemaknaan Mo Limo yang lain, yaitu Maulidan, Manaqiban, Mauidhoh, Mangan, Mulih.
Jangan lupa, untuk urusan obat hati, Wong Jowo juga sudah punya limo perkoro yang oleh Sunan Bonang digubah menjadi syair Tombo Ati, dan di kemudian hari menjadi salah satu lagu andalan Kiakanjeng, lantas menjadi “lagu Islam Indonesia” yang diaransemen ulang oleh banyak musisi, bahkan oleh pengamen di pinggir jalan dan bis-bis umum. Kemudian ada juga lagu Lir Ilir karya Sunan Kalijaga yang inti ceritanya untuk membangun kesadaran ke-Ilahi-an dengan Penekno blimbing kuwi, “belimbing” agama yang memiliki lima ruas utama.
Dalam khazanah Islam, keberislaman seseorang tidak bisa dilepaskan dari lima hal utama yang dikenal dengan Rukun Islam (syahadat, shalat, zakat, puasa, haji), yang bahkan tiangnya atau pancer-nya adalah sholat. Hal ini wajar mungkin karena ia memiliki karakter “kemanunggalan”dan perjalanan menuju kedalaman diri sendiri, menuju Tuhan tanpa tedeng aling-aling, perantara, objek, apalagi saksi, dan kepanitiaan untuk melaksanakannnya sebagaimana empat rukun Islam yang lain, sehingga output-nya pun berupa tanha ‘anil fahsya wa munkar. Bahkan, di dalam orkestrasi sholat itu sendiri juga memiliki lima dimensi ruang dan waktu pendalaman yang bebeda-beda (Isya, Subuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib). Subuh sebagai pancer-nya, memiliki karakter transformasi dari kegelapan manuju cahaya yang tidak banyak orang Muslim lulus meng-konsisteninya.
Negara republik Indonesia juga tidak mau kalah mengadopsi kerangka limo pancer dalam lima sila Pancasila sebagai dasar bernegara setelah era kemerdekaan. Bahkan, pada era Orde Baru, secara hukum setiap warga negara diwajibkan mencantumkan satu dari lima agama resmi yang diakui pemerintah dan dianggap sebagai bentuk dari pengamalan sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa. Juga kampanye kesehatan yang sangat membekas di memori ibu-ibu sejak tahun 1955 juga menggunaka konsep Empat Sehat Lima Sempurna.
Maiyah, juga ternyata memiliki simpul utama yang bisa dimaknai secara luas dalam prosesnya memaknai kehidupan. Jika diurutkan, prosesi kelahirannya dimulai sejak PadhangBulan, kemudian menyusul Mocopat Syafaat, lalu Gambang Syafaat, Kenduri Cinta, dan anak bontot Bangbangwetan. Namun, jika diurutkan dari pemaknaan Mo Limo di atas, saya melihat makna yang sedikit berbeda. Cikal-bakal kelahiran Padhangmbulan di langgar kecil memiliki nuansa ndeso dengan tradisi babon kekeluargaan yang kuat di rumah induk keluarga besar Cak Nun di Menturo Jombang.
Kemudian, ia memasuki fase pendidikan usia dini di Mocopat Syafaat yang ndilalah berlokasi di TKIT Alhamdulillah Kasihan, Bantul. Yang menarik, saya juga menemukan fakta, bahwa proses “hijrah” awal dari Menturo, Jombang ke Kadipaten dan Patangpuluhan, Yogyakarta ternyata juga dipandegani oleh “pendawa lima” (Cak Fuad, Cak Nun, Cak Nas, Cak Dil, dan Cak Nang).
Penempaan yang kuat justeru terjadi di Bangbangwetan (yang lahir terakhir) yang berlokasi di balai Pemuda Surabaya dengan jiwa pergerakannya dan karakter keterbukaannya, terutama dengan kasus bencana Lumpur Sidoarjo dan berbagai persentuhan langsung dengan warga Surabaya dan sekitarnya.
Proses pendewasaan diri ditandai dengan persentuhan hidup yang lebih kompleks di Jakarta. Di tengah gegap gempita semua muara urusan dan nalar politik dan ekonomi bangsa, Maiyah di ibu kota tetap setia memelihara pentingnya olah rasa dan estetika, sehingga padepokannya diberi nama Kenduri Cinta dan berada di pelataran Taman Ismail Marzuki yang merupakan titik pertemuan para seniman dari Institut Kesenian Jakarta yang diversitas khalayaknya berasal dari segala macam latar belakang sosial dan budaya.
Dan saya kira, jika ingin mencari puncaknya, kita akan menemukannya di Gambang Syafaat yang mengajak semua orang untuk kembali bersujud di tengah keriuhan dunia, sehingga ndilalah lagi, simpul Maiyah di Semarang berlokasi di teras masjid Baiturrahman Simpang Lima. Ia memelihara fungsi tempat bersujud pada maqomnya, ia terus belajar istiqomah men-cahayai atau setidaknya menjaga kilau cahaya masjid sebagai pusat “simpang lima urusan dunia”, tidak dengan menjauhkannya dari lalu lintas dan arus sibuk-ramai dunia, apalagi mendikotomisasikannya menjadi urusan dunia vs urusan akhirat, tetapi dengan menemaninya dan memanusiakan siapapun yang singgah menyapa atau sekedar berteduh di dalamnya.
Dengan fakta bahwa Gambang Syafaat juga menjadi satu dari lima simpul Maiyah utama yang paling jarang disambangi sang Simbah secara fisik. Karena selain persoalan teknis, mungkin juga karena “kodrat”nya yang harus menjadi cungkup dari empat simpul lain. Ia dilatih untuk menakdirkan dirinya menyambangi yang lain, untuk memaknai kemandirian dengan lebih utuh, untuk menunjukkan pada pada dunia tentang kesejatian penempuhan jalan sunyi yang justeru harus dilakukan di pusat-pusat keramaian jantung kota Semarang.
Setelah 19 tahun melangkah, semoga Gambang Syafaat semakin menemukan karakter pancer-nya, semakin memiliki integritas sholatnya, tetap setia dengan tirakat menek blimbing dan rakaat panjang-nya, dan tentunya semakin yakin dengan klenik dan clinic di emperan masjid-nya yang memiliki kekuatan penyembuh, penawar, dan penyehat peradaban manusia masa depan.