Beberapa waktu yang lalu Mas Sabrang mengisi acara dalam rangka Milad Qudsiyyah Kudus. Saya hadir di sana. Saya duduk di bagian pinggir berjarak sekitar 10 meter dari panggung. Di samping saya adalah teman-teman Sedulur Maiyah Kudus (Semak), ada juga Mas Zaini atau Mas Jessy. Jarak antara hadirin dengan panggung cukup jauh, hal itu terjadi karena panggung tinggi seperti panggung konser musik. Di awal-awal agak garing. Keterlibatan emosi antara Mas Sabrang dan pembicara lain dengan jamaah pengajian belum klik.
Tapi Mas Sabrang bisa mengatasinya. Ia adalah vokalis sebuah group Band. Dengan diringi oleh Wakijo lan Sedulur ia berdendang, para hadirin yang usia sekolah menyahut. Saat lagu ‘ruang rindu’ sedang hit, mereka baru SD, tetapi mereka tampak masih akrab dengan lagu-lagu Letto. Untuk mengatasi jarak Mas Sabrang berdiri di pojok panggung. Setelahnya suasana menjadi cair.
Ada banyak hal yang bicarakan Mas Sabrang pada acara itu, saya mengingatnya sedikit. Salah satu yang saya ingat adalah ketika dia menjawab sebuah pertanyaan, “Apa perbedaan sains dan seni?”
Mas Sabrang menjawab, sains dan seni itu bukan sesuatu yang terpisah tetapi dalam satu bagian utuh. Selama ini kita terjebak seolah-olah antara sains dan seni itu dua hal yang berbeda dan bertolak belakang. Jika orang mempelajari sains maka dia tidak ada urusan dengan seni, sebaliknya orang seni cuek dengan sains.
Menurut Mas Sabrang, sains itu adalah prosesnya dan seni itu hasilnya. Seseorang harus melalui sains dulu dan puncak dari sains itu adalah seni. Mas Sabrang mencontohkan sebuah rumah yang indah dan berkarya seni tinggi. Kita seolah hanya melihat sisi seni di dalam karya tersebut padahal sebelum itu menjadi seni ada ahli-ahli sains yang terlibat – ada arsitek yang menggambar, ada pelaksana yang ahli memilih bahan dan mengeksekusi pembangunan. Dari para ahli-ahli sains di bidangnya itu terwujudlah sebuah karya seni yang dahsyat.
“Kok iso yo mikir ngono?” saya mendengar Mas Zaini yang duduk di samping saya misuh tipis-tipis saat mendengar apa yang dibicarakan Mas Sabrang itu. Mas Sabrang memberi contoh lain yaitu tentang menyanyi. Ia menceritakan pengalamannya diajari menyanyi oleh Mbak Bertha. Ia digembleng sedemikian rupa. Ia harus mengulang sekian banyak teknik, dimarahi dan digojlok. Proses itu adalah proses sains hingga kita melihat keindahan suara setelahnya.
Contoh lain lagi adalah saat dulu Letto mau membuat album, ia dan tim terlebih dahulu memilih tiga puluh lagu yang disukai masyarakat pada tahun-tahun sebelumnya. Mereka mencari ciri-cirinya, nadanya, intronya, liriknya. Itu adalah proses sains. Sampai kemudian didapat kesimpulan dan terjadilah lagu-lagu Letto yang kita dengar sekarang ini.
Teramat banyak contoh, ada sepak bola, silat, juga memasak. Seseorang pasti melalui proses sains terlebih dahulu baru terlihat seninya. Selama ini orang hanya silau pada keindahannya saja dan tidak melihat proses sains di belakangnya.
Pelatih sepak bola Arsenal Arsene Wenger pernah mengatakan bermainlah sepak bola hingga terlihat sebagai karya seni, maksudnya adalah hingga penonton mampu melihat keindahan dalam permainan bolamu. Tentu saja melalui proses sains berupa latihan yang intensif.
Banyak hal lain yang dibicaran, termasuk bedanya antara ilmu pengetahuan dan agama, itu kita bahas lain waktu. Pukul 12, MC memungkasi acara. Mas Sabrang menyanyi sebagai proses sainsnya. Para hadirin berangsur pulang, sebagian meminta foto dengan Mas Sabrang. Mereka pulang dengan sebuah bekal dan tahu apa yang mesti dilakukan, “Saya harus berproses, berjerih payah dahulu. Itu proses sains hingga orang lain melihat keindahan dalam diriku.” Mereka tidak lagi terjebak pada perbedaan antara sains dan seni.
Tapi ada juga melangkah pulang sambil senyum-senyum dan berkata, “Asu kok iso kepikiran koyok ngono yo?”