Nama Rusdi Mathari selalu terngiang di kepala saya setiap saya mengikuti Forum Silaturahmi Maiyah, khususnya di Gambang Syafaat. Nama ini yang menghubungkan saya pada cara bagaimana membuat reportase Maiyah yang enak dibaca dari awal sampai akhir. Dan, saya beruntung bertemu tulisan-tulisan Rusdi, membaca bukunya, mencandui tulisan di blognya, dan pada puncaknya saya bertemu dengan tulisan beliau berjudul “Dan Para Petani Tembakau Itu Memeluk Cak Nun.”
Saya kaget. Rusdi juga menulis tentang Cak Nun. Bertambah kaget lagi yang beliau tulis adalah reportase acara Cak Nun dan KiaiKanjeng di Temanggung, dan beberapa tempat lainnya. Saya membacanya dengan takzim. Mengamati kalimat demi kalimatnya. Dan, saya terpukau pada tulisan reportase Cak Rusdi. Reportase itu yang membuat saya malu ketika membaca reportase yang saya buat untuk acara Gambang Syafaat. Sepertinya, saya tidak mengerti apa itu reportase. Atau lebih tepatnya tidak mengerti apa yang hendak disampaikan di reportase yang saya buat.
Saya tidak pernah bertemu dengan Cak Rusdi. Tapi, tidak pernah bertemu bukan berarti kita tidak bisa mengenalnya. Begitu juga yang terjadi antara saya, Cak Rusdi, dan Maiyah. Saya mengenal Cak Rusdi lewat tulisan-tulisannya. Pergaulan ini semakin intim sejak saya diminta oleh seorang teman untuk menulis reportase di Gambang Syafaat. Saya menyanggupi permintaan itu. Sampai tidak terasa sudah setahun lebih saya menulis reportase acara Gambang Syafaat.
Pengalaman pertama menulis reportase di Gambang Syafaat tidak senikmat mengikuti acaranya. Rekaman suara berdurasi lima jam lebih harus saya dengarkan sembari menulis kembali setiap pernyataan pembicara. Fatalnya, waktu lima jam untuk mendengarkan rekaman suara bukanlah waktu sebentar. Seringkali, saya tersendat-sendat mendengarkannya dan kadang bahkan sampai ketiduran.
Kemudian saya sadari menulis reportase dengan cara seperti itu tidak cocok buat saya. Dengan menggunakan cara seperti itu, saya seperti mengabaikan kehadiran tubuh saya saat acara Gambang Syafaat berlangsung dan meniadakan peran indera tubuh saya untuk merekam dan melihat setiap peristiwa yang terjadi.
Dari reportase-reportase yang ditulis Cak Rusdi, saya menangkap hal yang berbeda. Beliau bisa secara mengalir, detail, bisa menangkap inti pembicaraan apa yang diomongkan Cak Nun dan narasumber lainnya. Reportase Cak Rusdi membuat orang yang membacanya seperti berada di depan panggung atau di belakang panggung Maiyah. Beliau tidak sibuk mengutip pernyataan Cak Nun saja. Namun, kejadian kecil bisa direkam dan ditulis seolah-olah mengingatkan pada kita bahwa ada hal kecil tapi penting yang sering kita lewatkan. Beliau misalnya mengajak pembaca untuk jeli mengamati guratan di kaki Cak Nun. Atau saat Cak Nun dan KiaiKanjeng mengisi di Universitas Airlangga (Unair), beliau menceritakan mobil Gus Ipul (Syaifullah Yusuf) yang tidak bisa keluar karena saking banyaknya orang dan membuat Gus Ipul akhirnya tidak jadi pulang dan kembali lagi ke atas panggung.
Pendeskripsian peristiwa kecil seperti itu tidak mungkin bisa kalau menulis reportasenya merujuk pada rekaman video atau suara. Reportase itu ditulis dengan menggunakan kepekaan dan kejelian indera tubuh. Seolah-olah dengan membaca reportasenya Cak Rusdi, kita selalu merasa ada yang luput kita lihat, ada yang kelewat kita simak, dan ada yang lupa kita ingat.
Dari pembacaan reportase Maiyah yang ditulis Cak Rusdi. Saya menduga-duga reportase itu ditulis dengan posisi duduk dengan hikmat, menyimak jalannya cerita, dan mengamati setiap peristiwa yang terjadi. Mungkin, ada lembar-lembar kertas yang habis untuk mencatat nama-nama narasumber, pernyataan narasumber, dan urutan kronologi kejadian. Sehingga ketika acara selesai dan reportase ditulis. Ia sudah dibuat dengan bahan dan kerangka tulisan yang matang. Sebagaimana hasilnya kita lihat dalam reportase yang ditulis Cak Rusdi. Renyah dibaca, detail, padat, dan berisi.
Tentu Cak Rusdi bukanlah satu-satunya penulis reportase acara Maiyah. Tapi, dari sekian reportase yang saya baca, entah mengapa saya kepincut dengan reportasenya Cak Rusdi. Saya menikmati tulisannya dan soal menulis reportase acara Maiyah, saya berguru padanya.
Malam 25 Februari 2018, Jannatul Maiyah Gambang Syafaat menyelenggarakan acara rutinannya. Saya seperti edisi-edisi sebelumnya bertindak sebagai penulis reportase. Pada edisi kali ini, saya mencoba-coba tidak lagi menggunakan pertolongan ponsel saya untuk merekam suara para pembicara. Saya menggantinya dengan buku kecil dan sebuah pena. Mungkin cara itu bakal melahirkan reportase yang ciamik seperti karyanya Cak Rusdi.
Tapi, percobaan tak berjalan mulus. Saya sering tersendat-sendat mencatat ulang pernyataan pembicara. Dan, ketika hendak menulis reportase, saya bingung membaca lagi coretan-coretan di kertas. Parahnya lagi, saya malah meminta pertolongan youtube untuk melihat rekaman video dan mengecek kembali omongan para pembicara.
Saya masih gagal menulis reportase yang ciamik. Masih perlu lagi belajar pada Cak Rusdi.
Tanggal dua Maret Cak Rusdi telah pergi. Entah mengapa saya turut merasa berduka meski tidak pernah berjumpa dengannya. Saya berterima kasih pada karya reportasenya acara Maiyah. Setidaknya karya itu telah membentuk saya bagaimana membuat reportase yang tidak hanya menyalin ulang adegan di video atau menulis ulang rekaman di suara. Sekarang, dunia jurnalistik telah kehilangan salah satu wartawan terbaiknya. Kita berduka atas kepergiannya.
Cak Rusdi, tentramlah di alam sana.