Mas Sabrang di sebuah kesempatan bercerita, kebudayaan Romawi dikenal kejayaannya hingga kini karena memiliki budaya mencatat. Mereka mencatat sedetail apapun perihal peristiwa, penemuan, bahkan kesalahan. Alasan inilah yang mendorong Mas Sabrang meminta untuk mencatat segala perjalan bermaiyah oleh para penggiatnya. Bahkan jika bisa tentang hal-hal kecil, hal sederhana, dan remeh. Catatan itu tidak hanya menyorot pada acara hari H tetapi boleh sebelumnya, catatan itu tidak hanya fokus pada yang di panggung tetapi juga boleh menoleh di belakang yang menyiapkan kopi. Untuk apa?
Jika kita melakukan kesalahan sekalipun mesti harus dicatat juga karena pengetahuan tentang kesalahan itu akan menjadi pijakan bagi anak cucu kita untuk melangkah. Supaya mereka tidak mengulangi kesalahan yang pernah kita lakukan. Catatan itu bisa bentuk tulisan bisa juga dalam bentuk film. Penemuan sebuah alat berupa korek api di Eropa sana bisa menjadi film yang sangat menarik. Bukan urusan koreknya tetapi perjuangan, gairah, etos manusia-manusia di balik korek tersebut.
Tapi Mas Sabrang, apakah benar leluhur kita bukan leluhur yang memiliki kebudayaan mencatat atau justru kita yang enggan membaca. Atau orientasi bacaan kita tidak membaca kedalam kebudayaan kita tetapi yang kita baca adalah catatan leluhur orang lain. Hal ini terjadi tidak lain oleh sikap minder.
Borobudur itu catatan, digelar berupa berderet-deret gambar. Konon saat Raffles, gubernur Jendral Inggris menguasai Jawa dia mengusung bergerobak-gerobak kitab dari keraton Yogya dan diangkut ke Inggris. Sebagian menjadi koleksi museum di sana, sebagian yang lain entah kemana karena sebelumnya menjadi koleksi pribadi sang tuan Raffles. Hingga kini kitab-kitab itu belum kembali dan kita tidak bisa membaca karya intlektual leluhur kita, bahkan kopiannya saja kita tidak dapat. Mungkin kita didesain sebagai bangsa amnesia yang lupa pada sejarahnya sendiri.
Tidak banyak yang tahu bahwa Diponegoro itu adalah pencatat. Ia mencatat perjalanan hidup dan pemikirannya dalam sebuah kitab yang dikenal dengan Babad Dipanegara. Ketebalan kitabnya melebihi ketebalan Catatan Harian Seorang Demonstran milik Gie. Babad Dipanegara konon hampir seribu halaman. Kita sudah membacanya?
Jika Timur Tengah punya kisah legendaris Seribu Satu Malam, kita punya serat Centini yang berjilid-jilid tebalnya, memaparkan tentang mimpi, dan segala isi tentang Jawa termasuk tanaman dan makanan. Kita sudah baca?
Catatan dan tumpukan ilmu dari leluhur kita itu hanya menjadi ilmu pinggiran, dijual di pinggir-pinggir jalan menuju komplek pemakaman dan di beli sambil lalu oleh para peziarah. Buku semacam Suluk Linglung, Serat Kakiwalaka, Kidung Remeksa Ing Wengi karya Sunan Kalijaga dicetak dengan tampilan yang buruk, dijilid alakadarnya dengan kertas buram dan diterbitkan tanpa ISBN. Karya agung warisan budaya itu diperlakukan dengan tidak layak di ranah pengetahuan kita. Sedikit sekali yang mau menyentuhnya menjadi objek penelitian. Pemikiran dari leluhur sendiri yang berusia ratusan tahun hanya kita jadikan pengetahuan pinggiran.
Kebudayaan kita adalah kebudayaan pencatat tetapi kita bukan anak cucu pembaca atau tidak percaya dengan membaca catatan dari leluhur kita itu. Kita tidak percaya dapat memperoleh sesuatu untuk menatap masa depan. Maiyah memberi metode belajar berupa lingkaran, untuk melihat masa depan harus menilik masa kini dan masa lalu. Masa lalu kita tilik agar kita tidak mengulang kesalahan yang sama, ilmu dari leluhur bisa kita lanjutkan dengan membaca catatan juga sambil mencatat perjalanan kita sendiri biar menjadi bacaan generasi kita di masa datang.
Mbah Nun adalah manusia pencatat, diusianya ke 30-an sudah sepuluh bukunya terbit. Ia mencatat mulai dari pertama-tama moderenitas masuk desa melalui TV dalam buku Indonesia Bagian dari Desa Saya”. Membaca buku-bukunya kita bisa melihat perjalanan negeri ini. Catatan itu sangat berarti, dampaknya mungkin bukan sekarang tapi nanti. Itu kalau kita mau memanfaatkan catatan dengan membacanya.