Pada 17 Maret 1982, pemerintah menerbitkan surat keputusan SK/052/Kep/D.82. Surat itu berisi standarisasi penggunaan seragam sekolah secara nasional. Dampaknya siswi-siswi yang kadung mengenakan jilbab tersudut dan pegawai-pegawai yang berjilbab dipecat. Di surat pembaca Panji Masyarakat edisi 21 Oktober 1985, gambaran kesulitan pegawai berjilbab bisa kita rasakan. Simaklah:”Saya lulusan SMAN 1984 dan tamat pendidikan sekretaris 1985. Setelah itu saya pernah bekerja di sebuah perusahaan swasta selama 2 bulan. Tapi musibah menimpa saya. Saya dikeluarkan dari perusahaan itu karena memakai jilbab. Akibatnya, saya kini jadi pengangguran.”
Aturan pelarangan pengenaan jilbab di sekolah dan tempat kerja banyak yang mendukung dan tidak sedikit pula yang menentang. Cak Nun salah satu dari banyak orang yang berada di posisi yang kedua. Di majalah Panji Masyarakat (1 April 1984) Cak Nun menyampaikan dukungannya kepada kaum-kaum berjilbab dalam esai berjudul ”Beribu-ribu Jilbab Berjuta-juta Jilbab”. Esai itu hendak menguliti kelaliman pemerintah yang secara ceroboh melarang busana islami. Tentu dari aturan itu banyak siswi yang akhirnya menyerah melepas jilbab. Namun, bagi yang tetap mengenakan jilbab, mereka tidak sendirian. Banyak orang yang mendukungnya.
Dari kolom majalah, Cak Nun dengan lantang bersuara,”Jilbab bisa dibuang dan pemakainya bisa dikuburkan, tetapi gelombang yang bergerak di dasar samudera kejiwaan ummat, yang antara lain menjelma ke jilbab, tidak akan bisa ditahan oleh dua juta tentara, seribu tank, lima ratus dukun serta seratus Kiyai Sangkelat.”
Kita yang belum mengerti konteks pelarangan jilbab saat itu agak kesulitan untuk memahami tulisan Cak Nun. Dulu, jilbab menjadi benda terlarang di sekolah dan tempat-tempat bekerja. Orang berjilbab dianggap menyalahi aturan pemerintah dan menganggu ketertiban. Berjilbab pun menempuh jalur getih mesti berhadapan dengan kesulitan-kesulitan di lingkungan sosial. Orang yang tetap berjilbab mesti membekali diri dengan iman dan mental yang kuat serta tidak peduli dengan komentar miring masyarakat. Tidak ada jalan aman dan nyaman bagi orang yang berjilbab. Mereka rentan dengan tindakan diskriminatif dan represif.
Ada banyak alasan yang menjadi pembenaran agar orang melepaskan jilbab. Salah satunya adalah jilbab digunakan hanya karena alasan mode. Mitos yang berkembang di pergaulan anak muda dengan berjilbab perempuan menjadi lebih cantik. Namun, kita tahu mitos tidak berarti kebenaran mutlak. Di dalamnya masih banyak yang perlu diragukan. Dan, alasan pengguna jilbab demi mode juga tidak bisa dipukul rata. Asumsi ini ditanggapi Cak Nun. Menurut beliau,” jilbab boleh saja engkau tertawakan, sebab ada sebagian pemakaianya memang memakai itu sekedar sebagai mode. Tak apa-apa, hormati dia. Seperti banyak saudaramu yang melakukan sembahyang dengan motivasi yang masih ekshibionistik, namun perlahan-lahan mereka akan sampai juga kepada Allah yang menjadi satu-satunya alasan bersembahyang.”
Berpuluh-puluh tahun setelah aturan pelarangan jilbab dicabut dan Cak Nun melontarkan pendapat itu. Indonesia menjadi negeri hamparan jilbab. Di sekolah, kantor, dan ruang publik lainnya jumlah orang tidak berjilbab bisa dihitung dengan sebelah tangan. Perempuan-perempuan telah bisa dengan leluasa mengenakan jilbab dengan beragam mode. Keadaan itu telah membuat lautan jilbab telah berombak di Indonesia.
”Para pemakai jilbab itu,” kata Cak Nun,” memberi uswatun hasanah yang kongkrit: mereka berani memilih dan menunjukkan sikap. Ini harga yang amat mahal, di tengah begitu banyak anak muda yang sibuk belajar menjadi pekatik, serta di tengah demikian banyak orang tua yang memang sudah menjadi pekatik yang takut lapar dan mati.” Dulu, orang memakai jilbab sebagai bentuk keberanian menentukan pilihan dan menunjukkan sikap di masyarakat. Hal yang pantas kita refleksikan saat ini di tengah masyarakat yang terdiri dari ”beribu-ribu jilbab berjuta-juta jilbab.”