Kita menyebutnya lebaran, lebar-usai, kita juga menyebutnya ba’da, artinya setelah melaksanakan puasa. Setelah menahan untuk tidak makan di siang hari, maka ini adalah waktunya makan lagi.
Kebudayaan Timur bersifat reflektif, begitu pun lebaran tidak bermakna pesta. Jika pun ada yang dianggap menang-jika pun ada yang besar maka Allah lah yang besar-Allahuakbar. Agar kita tidak terjebak pesta maka ada puasa syawal dan kemudian ada lebaran syawal yang di kampung diramaikan dengan kupat dan lepet.
Tidak mungkin kita ‘lebar’ dalam menahan, mengatur, mengelola yang teremban dalam ibadah puasa. Puasa mengajarkan tentang kapan waktu makan, berapa yang dimakan. Apa yang boleh dan tidak boleh dilihat, dengar. Laku itu praktis harus dilakukan jika kita ingin sehat. Dalam dunia medis kita mengenal dosis. Puasa mengajarkan, jangan overdosis.
Apa yang bijak kita lakukan ‘ba’da’ puasa itu? Idulfitri, hari raya (merasa) menang dan lulus melalui Ramadhan. Setiap sumur pasti ada comberannya, demikian pula dalam memaknai lebaran. Ada yang memaknai hari raya idulfitri itu disambut dengan pesta pora dan lupa pesan puasa.
Kita bisa memaknai lain, puasa adalah serangkaian laku manajemen diri dan puncaknya adalah kembali ke Sang Pencipta. Ciptaan kembali kepada yang mencipta. Kembali ke asal-usul. Lalu, jika demikian bukankah pilihan yang hangat jika kita selalu berhati puasa kapan saja di mana saja juga setelah lebaran ini?
Gambang Syafaat edisi 25 Juni 2018 mengangkat tema ‘Idul Imsak’.