Kita sering mendengar ungkapan “Tidak ada manusia yang sempurna” atau “namanya juga manusia” untuk menjadi pemakluman-pemakluman atas kesalahan yang dilakukan oleh manusia. Ungkapan itu memberi kabar bahwa manusia dalam batas sifat panasnya setan dan cahayanya malaikat.
Namun tidak demikian dengan Mbah Nun, beliau berpendapat manusia diciptakan Allah dengan sempurna. Setiap manusia berbeda, dan sempurnanya setiap individu ya seperti itu. Selayaknya manusia tidak mencemburui yang dimiliki oleh orang lain atau makhluk lain. Manusia untuk tidak ingin menjadi orang lain. Ia harus menggali yang sudah diberikan oleh Tuhannya kepada dirinya.
Berulang kali Mbah Nun dawuh, “Jadilah manusia otentik”, menggali dari bahan yang ada di dalam diri, mengolah dari bahan di sekitar yang ditemui dan jangan silau terhadap dunia luar. Jika kita gumunan dan sering terpukau saat melihat orang lain dan sibuk menjadi orang lain maka kita terobang-ambing ingin menjadi yang mana dari banyak yang kita saksikan itu. Otentik adalah mengenali diri sendiri dan mengembangkan diri sesuai kebutuhan. Melihat orang lain tentu saja boleh sebagai referensi dan pengetahuan.
Kesuntukan menggali, menekuni, memperjuangkan yang kita geluti itu akan menjadikan manusia empu, manusia jangkep. Manusia seperti ini yang akan menjadi otoritas ilmu. Ia akan menjadi sumber, menjadi sumur tempat siwur-siwur menciduk air ilmunya.
Generasi empulah yang kiranya akan menjawab tantangan zaman. Generasi empulah yang akan membangkitkan Indonesia dari negara pembebek, negara konsumen, negara yang hanya menerima rongsokan peradaban dari belahan dunia lain. Generasi empu juga yang akan menjadikan kita menjadi pemilik negeri ini yang sesungguhnya.