Pernahkan seorang pengemis mendatangi Anda saat makan bersama keluarga? Atau tiba-tiba kaca jendela mobil Anda diketuk peminta-minta saat berhenti di lampu merah? Respons Anda mungkin berbeda-beda. Jika respons Anda memberikan uang untuk meringankan hidup mereka, itu adalah kepedulian sosial.
Bisa jadi, setiap waktu Anda selalu melewati lampu merah tersebut. Saat tanpa diminta Anda memberikan uang kepada mereka karena tahu mereka tidak lebih beruntung daripada Anda, maka itulah kesadaran sosial.
Adakalanya, Anda tidak memerlukan ketukan pintu, Anda bahkan tidak punya pengetahuan apakah orang yang Anda temui itu membutuhkan atau tidak, Anda tetap melakukan pemberian-pemberian dalam bentuk yang bukan hanya uang tetapi juga hal-hal lain. Anda sedang menebar kasih sayang.
Ada tingkat-tingkat keterpanggilan. Setiap orang mengalami “evolusi kepekaan”. Ada yang terpanggil melakukan sesuatu harus dipantik dari luar dirinya, harus dipacu oleh peristiwa yang nyata dan aktual di hadapannya. Dia tidak bisa berinisiatif sebelum dirangsang oleh semacam “keadaan faktual”.
Kepedulian sosial dipicu oleh kepekaan indrawi. Kesadaran sosial muncul dari kematangan berpikir, dan kasih sayang adalah indikasi bahwa hati seseorang “bercahaya”. Semua itu adalah bentuk dari keterpanggilan. Orang bisa saja mengalami ketiganya di waktu yang berlainan, terkadang “digerakkan” oleh pikiran, rasa, atau fenomena.
Hari-hari ini sebagian orang merasa terpanggil untuk melakukan berbagai hal yang menurut mereka perlu dilakukan baik demi dirinya maupun lingkungan. Kita berpikir positif saja bahwa mereka terpanggil melakukan sesuatu dengan motif “_idza_roal_munkaro_fabighoyyir_”.
Orang berduyun-duyun mencoblos di Pilkada dengan harapan ada perbaikan. Orang mau bayar pajak sebagai wujud sumbangsih kepada negara. Orang menyebarkan info dan berita karena terpanggil melakukan “jihad jempol”. Orang melakukan salawat karena menanam dan setor cinta untuk bisa “gondelan” jubah Kanjeng Nabi SAW saat “ndeprok” menghadap Tuhan.
Gambang Syafaat edisi Juli tahun 2018 mengajak kita untuk peka terhadap apa saja di sekitar kita, tidak saja dengan rangsangan indrawi peristiwa di sekitar kita, tetapi lebih-lebih dilambari dengan cinta dan pengetahuan. Kita terpanggil, bukan terprovokasi.