Suara perempuan bernada lembut mengabarkan kereta segera tiba di Jakarta. Ah, sungguh lega. Sisa perjalanan sembilan jam segera berakhir. Punggung yang tersiksa di kursi bersudut 90 derajat akan lemas kembali. Di handphone ada pesan whatsapp dari panitia. Lokasi acara sangat dekat dari Stasiun Pasar Senen. Bisa ditempuh dengan ongkos sembilan ribu jika menggunakan jasa ojek online. Dan kalau mau olahraga di subuh hari alias jalan kaki, cukup membutuhkan waktu tiga puluh menit saja.
Di kereta, saya bertemu dengan penggiat Sedulur Maiyah Kudus (Semak) Mas Priyo. Kami akhirnya memutuskan berjalan kaki merasakan Jakarta yang sepi dan sunyi di subuh hari. Sedikit sekali manusia yang berada di pinggir jalan. Wajah-wajah gelandangan yang tidur di atas trotoar terhampar di depan mata. Petugas kebersihan belum juga nongol. Praktis. Jakarta yang terlalu asing bagi kami akhirnya ditaklukan kerumitan jalannya lewat kecanggihan google map.
Teknologi itu yang mengarahkan kami tiba di depan SMK N 27 Jakarta. Beberapa perwakilan dari simpul Maiyah sudah tiba sebelum dan sesudah kami. Mereka perwakilan dari simpul Maiyah Alas Roban, Suluk Pesisiran, Galuh Kinasih Bumiayu, Maiyah Balitar, Saba Maiyah, Juguran Syafaat, Kenduri Cinta, Poci Maiyah, Lingkar Daulat Malaya, Waro’ Kaprawiran, dan Jamparing Asih. Kedatangan beberapa simpul Maiyah dari pelbagai daerah ini atas undangan Kenduri Cinta yang menyelenggarakan acara bertajuk ”Workshop Storytelling.”
Maksud menyelenggarakan acara ini sederhana saja. ”Untuk menyiapkan penulis-penulis di setiap simpul Maiyah,” kata Mas Fahmi saat membuka acara. Ada 23 daftar peserta yang tertulis. Namun, dua membatalkan diri sehingga yang berkumpul 21 saja. Selama dua hari, Sabtu sampai Minggu, mereka akan digembleng oleh Mas Erik untuk sinau menulis yang selancar orang bertutur.
Sebelum semua peserta workshop tiba di lokasi acara. Syarat wajib yang tidak boleh dilewatkan peserta hanya satu: wajib membawa laptop. Sebab, pada kesempatan kali ini, Mas Erik tidak ingin mengajari semua peserta menulis lewat abab saja. Harus ada praktek!
Di ruangan, meja berbentuk persegi panjang telah disiapkan panitia. Lengkap dengan colokan laptop. Semua laptop langsung menyala saat Mas Erik mulai menjelaskan slideshow perihal bagaimana menceritakan bukan memberitakan Maiyah. ”Memberitakan itu mudah. Tinggal mematuhi syarat 5W+1H saja. Tapi kalau menceritakan Maiyah harus ada kreativitas. Ada sisi kecil yang diceritakan,” katanya menjelaskan perbedaaan memberitakan dan menceritakan.
Maiyah adalah sepotong cerita di negeri Indonesia tentang orang-orang yang kerap berkerumun atas dasar cinta tanpa terkotak anutan agama, identitas suku, dan keadaan fisik. Tidak jarang setiap acara di simpul Maiyah atau ketika Mbah Nun dan KiaiKanjeng berkeliling ke pelosok Indonesia. Selalu dihadiri orang yang nyleneh menjalani dan menghayati hidup.
Dari pengalaman bertemu dengan jamaah yang memiliki kisah yang tidak biasa saat berjumpa Maiyah. Kenduri Cinta berinisiatif mengundang ”adik-adik” dan ”kakak-kakak” simpul Maiyah untuk mengirimkan perwakilan penggiatnya mengikuti ”Workshop Storytelling” ini. Mas Erik di awal sesi sudah langsung menggebrak penggiat yang rata-rata amatir dalam dunia tulis-menulis dengan pernyataan tegas. ”Penyakit penulis pemula adalah memberi ceramah.” Diusahakan dari proses ini penggiat tidak lagi menulis yang terkesan menceramahi pembaca. Namun, harus bisa melibatkan jamaah dalam tulisan.
Sedari awal Mas Erik selalu berkata tulis peristiwa di Maiyah, bukan gagasan atau nilai. Jangan tergoda untuk menulis hal-hal besar yang sebenarnya belum kita ketahui. ”Gambarkan peristiwa,” kata si laki-laki berkaca mata itu.
Semua tulisan dari peserta dikomentari, dipuji, dan dikritik. Untuk tulisan yang agak rumit ceritanya bakal mendapat komentar,”kalau sampeyan mau cerita harus jelas.” Untuk tulisan yang unik akan dikomentari,”sudut pandangnya bagus, cara ceritanya asik.” Semua tulisan peserta mendapat kesempatan dibaca dan dikritik Mas Erik.
Tentu semula semua peserta merasa minder. Sebab, sedari awal pernyataan Mas Erik tentang tulisan kerap sengit dan mengundang tawa bernada sindiran. Tapi keadaan itu diyakinkan Mas Erik bahwa risiko penulis yang tidak ingin dibaca orang lain hanya dua: ia semakin tidak percaya diri karena tidak bisa dan ia yang semakin percaya diri karena merasa bisa. Pernyataan ini menguatkan keyakinan semua peserta kalau tulisannya rela dibaca dan dikritik di hadapan orang banyak.
Gemblengan singkat selama dua hari untuk membentuk seseorang menjadi penulis tentu mustahil. Namun, acara ini seperti memberi bekal kepada penggiat simpul Maiyah di pelbagai daerah agar menceritakan perisitwa Maiyah di daerah masing-masing.
Barangkali pernyataan Mas Fahmi bisa menjadi alasan mengapa penggiat harus menjadi penulis. Kata dia,”semakin banyak penulis Maiyah yang lahir. Semakin banyak sejarah Maiyah yang peneliti atau orang lain untuk menulis Maiyah. Kita sendiri harus bisa menulis Maiyah.”