Selesai Mbah Kliwon dan Gus Aniq menjabarkan uraiannya tentang Idul Imsak. Di ujung malam, jamaah kedatangan tamu dari Korea Selatan. Beliau datang bersama Pak Ilyas. Om Jion mengenalkan,”Ini Pak Silok. Panglima TKI di Korea Selatan.” Lalu orang yang dikenalkan itu duduk di depan jamaah. Berambut bros, Mas Silok bercerita bercerita ketika menjadi TKI saat di Korea Selatan. Setelah belasan tahun di negeri orang. Mas Silok pulang ke Indonesia. Kepulangannya ini dalam rangka bertemu sedulur Maiyah dan membuka usaha restoran khas Korea. Saat ini beliau punya usaha di daerah Matesih, Karanganyar, dan akan menambah cabang lagi di daerah Salatiga. Beliau memberi harga makanan khas Korea hanya 10 ribu rupiah. Coba kita bayangkan dengan harga tersebut beliau tidak mengalami kerugian saat menjual makanan khas Korea. Mas Silok juga malah bisa membuka lapangan pekerjaan untuk orang lain.
Bisnis restoran ini bukan untuk meneguhkan kesuksesannya setelah merantau ke Korea. Menurut Mas Silok, TKI yang sukses bukanlah TKI yang mempunyai banyak uang dan tidak mempunyai utang sama sekali. Namun, TKI yang sukses mampu menolong orang yang susah ketika ada yang membutuhkan pertolongan meski mempunyai utang. Kesuksesan bukan terletak di materi melainkan di hati kita. Kata Mas Silok TKI Korea dahulu saat di Indonesia sholatnya rajin-rajin, tapi setelah di Korea karena terlena dan mempunyai harta yang berlimpah sholatnya jadi bolong-bolong. TKI di Korea sekarang sudah membangun 34 Masjid di sana. Perkembangan Agama Islam di sana sekarang sudah bagus.
Pak Ilyas yang berangkat bareng sama Mas Silok dari Salatiga turut bercerita bagaimana orang-orang Indonesia di negeri orang. Menyambung dengan tema, Pak Ilyas mengatakan bahwa apa yang dialami Mas Silok dan sedulurnya adalah bentuk manusia yang kembali ke fitri dengan caranya masing-masing. Kefitrian manusia tidaklah sama. Kefitrian seseorang terletak kepada kejujurannya, kegigihannya dan perilakunya. Sebagai manusia kita harus banyak-banyak belajar kepada siapa pun. Jangan sampai menyakiti hati seseorang. Ilmu itu yang diamalkan Mas Silok selama di Korea. Bahkan selama belasan tahun tinggal di Korea beliau bisa hidup tanpa terjaring razia meski tidak memiliki visa.
‘Visa saya Cuma satu,” kata Mas Silok,” Visabilillah.” Sembari tertawa ngakak. Mas Silok juga menggarisbawahi bahwa beliau tidak sedang mengunggulkan Korea dan merendahkan Indonesia. “Ambillah yang baik dari mereka, buang yang buruk,” pintanya. Tentu selama belasan tahun tinggal di sana beliau sudah kenyang dengan pengalaman pahit manis sebagai perantauan. Namun, di Gambang Syafaat ini perjumpaan dengan jamaah kadung mesra. Mas Silok memeras ceritanya yang pahit beliau simpan untuk dirinya sendiri dan yang indah-indah dihadirkan kepada jamaah. Malam itu jamaah mendapat ilmu berharga mengenai seluk-beluk Korea. Ilmu yang didapat langsung dari Mas Silok. Seseorang yang menolak tawaran dari beberapa chanel televisi yang menginkannya bercerita. Hanya kepada jamaah Maiyah Nusantaralah Mas Cilak berbagi cerita suka duka menjadi TKI di Korea.
Malam ditutup dengan tembang “Tuhan Maha Baik” kolaborasi Wakijo Lan Sedulur dengan Om Budi. Kolaborasi ini menampilkan Wakijo menyanyi dan di tengah-tengah menyanyi, Om Budi masuk dengan membacakan puisi. Ini bunyi puisinya:
Aku mau berebut, asal kau mau
Aku mau berjalan jauh, asal kau yang ku tempuh.
Aku mau terbesut atau terlukai, asal kau belati.
Aku mau melayang-layang, asal kau angin kencang.
Aku mau hanyut dan tenggelam, asal kau lautan.
Aku mau menjaga malam, asal kau terang rembulan.
Aku mau terkurung sunyi, asal kau penyayang hati.
Aku mau tidur di atas batu, asal kau luluh pilu.
Aku mau.
Aku mau terhajar rindu, asal kau ketukan di pintu.
Aku mau melukis senja, asal kau langit jingga.
Aku mau mengeringi tanah, asal kau gerimis tanpa tunda.
Aku mau menulis beribu cerita, asal kau mata air kata-kata.
Aku mau mengemis badai, asal kau liur di pantai.
Aku mau berdiri di atas bara, asal kau panas dalam apinya.
Aku mau jatuh ke jurang, asal kau tebing berdahan.
Aku mau kehilangan mimpi, asal kau menemukanku di sini.
Aku mau menghitung bintang, asal kau angka tak berbilang.
Aku mau menanam tebing, asal kau tanah welas asih.
Aku mau bimbang di simpang jalan, asal kau tetap arah tujuan.
Aku mau membaca tanda, asal kau makna disebaliknya.
Aku mau menjelma pagi, asal kau matahari.
Aku mau menuju setiap waktu, asal kau ibu segala pintu.
Aku mau selalu bersembunyi, asal kau yang mencari.
Aku mau menikmati teh tawar, asal kau manis yang tersamar.
Aku mau terkunci di dalam, asal kau meruang.
Aku mau merubah air, asal kau yang mengalir.
Aku mau menjadi pelangi, asal kau yang mewarnai.
Aku mau menjadi es batu, asal kau dingin di dalam beku.
Aku mau tersumpur catu, asal kau yang mengaku.
Aku mau senantiasa titip salam, asal kau doa keselamatan.
Aku mau menjadi gunung, asal kau puncak yang nur.
Aku mau pulang setiap kali pergi, asal kau rumah di dalam tirai.”
Jarum jam menunjukkan pukul 02.00 WIB dini hari. Acara Majelis Masyarakat Maiyah Gambang Syafaat edisi Juni diakhiri dengan melantunkan Sohibu Baiti bersama. Kemudian dipimpin doa oleh Gus Aniq. Dan, tidak lupa seperti biasanya para jamaah Maiyah turut membersihkan sampah-sampah juga turut mengembalikan tikar yang sudah mereka pakai pada malam itu. (Galih Indra Pratama)