Yitno bosan. Sudah satu dasawarsa melakukan rutinitas sama. Sungguh membosankan. Umpatnya. Yitno meniru Ibu. Ibu meniru kakek. Kakek meniru Buyut. Lalu seterusnya. Hingga akhirnya kegiatan Yitno akan ditiru anak hingga cucu. Sebetulnya Yitno tak bosan-bosan amat, tapi dia tidak bisa menolak untuk tidak melakukan ini. Dari tetangga hingga teman sejawat juga melakukan. Rutinitas ini sebetulnya tak membosankan. Malahan rutinitas yang paling ditunggu.
Seperti sepuluh tahun lalu, Yitno selalu menantikan saat Ibu mengajak ke mall beli baju baru buat lebaran. Yitno tak paham. Kenapa beli baju baru sebelum lebaran? Kenapa tidak beli baju saat ulang tahun, saat pindah rumah, atau saat keluar dari rumah sakit. Yitno manut saja, dengan baju baru Yitno bisa pamer kepada teman, saudara perihal yang dikenakan saat lebaran.
Yitno tak sendirian hidup seperti itni. Di negerinya, beratus juta umat juga mengalami nasib sepadan. Di ujung puasa, mereka dipaksa atau tidak untuk menggantikan bajunya saat ini. Baju yang biasa dikenakan sudah kotor. Orang—orang juga bosan melihat baju kita saat ini. Bahkan sudah hafal besok akan mengenakan baju yang mana. Pokoknya harus baru. Apalagi lebaran. Semua harus serba baru!
Yitno dan yang lain mengibaratkan baju adalah benda yang menutupi badan. Baju mudah dilihat. Baju menjadi identitas pemilik. Baju bagus menandakan pemakainya memiliki selera baik dalam berbusana. Orang—orang kadang melihat baju terlebih dahulu untuk menilai perilaku pemakainya. Orang berbusana rapi dianggap suka kebersihan dan memperhatikan penampilan. Orang berbaju koko dan berpeci dinilai ibadahnya bagus. Pantas untuk diikuti. Orang berbaju robek—robek, kusam, bahkan bau harus dijauhi. Orang seperti ini adalah biang masalah. Lalu apa sejatinya baju itu sendiri?
“Baju kalau dalam Alquran adalah lambang martabat hidup. Jika di hari raya kita ingin membeli baju baru, sesungguhnya kita sedang ingin mencari martabat baru”. Lalu Mbah Nun menambahkan “Suami adalah baju bagi istri. Baju adalah suami bagi istri. Orang yang tidak berpakaian itu kehilangan martabat. Suami menciptakan martabat bagi istri. Istri membungkuskan martabat bagi suami.
Orang—orang lupa bahwa baju tak sekadar kain. Tak sekadar halus dan berharga tinggi. Jika di hari raya kita ingin membeli baju baru, sesungguhnya kita sedang ingin mencari martabat baru. Martabat itu Thoriqot. Jalan menuju ke Allah.
Yitno sekarang sudah punya baju baru. Yitno ingin membungkus dirinya dengan martabat baru.