Suatu waktu ada Kiai besar menyamar berpakaian kumal duduk di antara jamaah pengajian. Awalnya tak satu pun menyadari, tapi tiba-tiba Kiai pengasuh acara, sebelum memulai tausiah menghampiri, menunduk hampir sungkur untuk mencium tangan si penyamar. Maka, terjadi adegan yang susah dijelaskan karena keduanya saling ingin mencium tangan. Lalu apa yang Anda bayangkan kepada jamaah paska itu?
Di lain waktu, ada Kiai sangat alim terpergok oleh jamaah berada di tempat ziarah yang sangat jauh dari wilayahnya. Berpakaian tak lumrah, celana jeans, kaos oblong bersablon ‘angker’, jaket jeans lusuh sobek-sobek, berkalung rantai. Tapi entah bagaimana, ada jamaahnya berada di lokasi itu mengenali, sontak berebut barokah terjadi, tangan preman menjadi rebutan ciuman.
Pernahkah Anda membayangkan di sebuah majelis maiyah, Mbah Nun tidak berposisi di panggung? Misalnya hanya duduk di belakang jamaah, di bawah pohon, menikmati anak-cucunya saling interaksi bertukar ilmu. Sesekali bercengkrama ringan dengan jamaah sampingnya, saling menawarkan kopi atau kretek? Dan itu tampak lumrah, tak ada yang salah? Benar-benar murni, seolah tak ada yang namanya kultus atau apalah. Bukan pula seperti artis, tak ada ramai meminta salaman dan swa-foto, sehingga majlis ilmu terbuyarkan dengan adegan jamaah di belakang tadi.
Atau bayangkan beliau seperti menyamar, berkalung sarung sedikit menutup wajah, memakai topi, berdiri bersandar pagar salah satu sisi bangunan. Memperhatikan dan tak berusaha menanggapi diskusi, hanya menikmati curahan ilmu yang terbagi. Apakah ini mungkin terjadi?
Di Gambang Syafaat edisi Mei 2018 lalu, Mbah Nun menjelaskan perihal tingkatan nafsu yang digambarkan seperti bentuk sholat dan disimbolkan dengan warna-warna. Tingkat nafsu amarah digambarkan berdiri ketika sholat dan disimbolkan warna merah, nafsu lauwamah seperti ruku’ dengan simbol warna hitam, nafsu sufiyah posisi sujud dengan warna kuning, dan mutmainnah putih ketika melampaui semuanya.
Penjelasan tersebut menjadi menarik ketika malam itu Mbah Nun hadir berpakaian warna hitam dengan sedikit garis-garis merah dan berkopyah putih. Seolah ada pesan tersirat ingin disampaikan. Seperti sedang menahan amarah, tapi ruku’ (menghormati) para jamaah. Beliau seakan tak suka terlalu disanjung oleh orang-orang yang begitu mencintainya itu. Seperti merasa dikultuskan.
Belum lagi ada perhelatan akbar di waktu berdekatan. Jamaah Maiyah berhari raya, hampir semua penggiat masing-masing simpul berkumpul di Jombang. Even dan kegiatan diselenggarakan berhari-hari. Bahkan beberapa simpul memilih menggeser jadwal majelisnya untuk itu. Semua untuk merayakan ‘dirgahayu’ Mbah Nun.
Maka (entah siapa yang memilih) tema PadhangMbulan pada perayaan itu adalah “Menyorong Rembulan”. Tema dengan pesan sangat kuat. Kalau sesuatu disorong berarti sesuatu itu tidak berada pada tempat semestinya. Lalu kenapa rembulan yang disorong? Kenapa bukan matahari atau yang lain? Apa karena malam itu purnama? Sepertinya bukan. Menyorong rembulan berarti rembulan tidak berada pada posisinya. Rembulan sedang menutupi bumi, sehingga gerhana. ‘Peradaban Gerhana’. Kita sekarang berada pada peradaban itu. Peradaban karena hampir tidak ada pemimpin yang terpercaya. Maka ketika muncul, tokoh itu diidentikkan dengan Tuhan, sehingga ummat tersesatkan. Sama seperti menuhankan dunia. Seolah tema itu berkata “Jangan ada pengkultusan”.
Pesan semakin kuat ketika pada hari itu Mbah Nun menulis, menceritakan kisah salah satu saudaranya, lengkap dengan silsilah dan nasab berikut keistimewaannya. Tidak menceritakan nasab sendiri tapi nasab saudaranya, meskipun bisa dipahami silsilah itu otomatis tersambung kepadanya. Beliau benar-benar ingin menggeser posisi di mata jamaahnya.
Ini pesan asumsi. Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda ingin berbagi kopi dan kretek dengan Mbah Nun?