Awalnya, sama sekali saya tidak tertarik. Bahkan cenderung anti dan membid’ahkan. Ah, itu gegara kebodohan saya. Bersebab ciut, cethek dan cekaknya pemikiran saya. Harap maklum, hampir separuh usia, saya tinggal dan hidup dalam lingkup aliran tertentu. Sebut saja aliran X. Aliran X tidak menganjurkan yang namanya ritual nyekar. Alias ziaroh kubur. Itu ndak ada dalil-nya. Tidak ada tuntunan-nya. Rasulullah Saw tidak pernah mengajarkannya. Intinya nyekar itu bid’ah. Itu adat kebiasaan wong kejawen. Kita ndak perlu tiru-tiru. Orang Islam harus berbuat dan bertindak sesuai Alquran dan sunah. Kalau tidak ada dalam Alquran dan hadits jangan dilakukan. Dosa nanti. Nanti masuk neraka. Modiaaar saudara-saudara.
Doktrin semacam itulah yang saban hari masuk ke telinga saya. Menjejali otak. Membentuk paradigma. Berlangsung bertahun-tahun. Hingga tamat SMA. Sampai kemudian Tuhan menolong saya. Menyeret saya nyemplung ke sebuah kebun. Kebun yang berbeda. Yang luas-luwes. Kebun yang siap menampung benih apa saja. Kebun yang cocok untuk menanam (nandur), menyemai bermacam-macam jenis tanaman. Tidak membeda-bedakan. Abang, ijo, biru, kuning, diterima. Asal baik lakukan. Selama tak dilarang dipersilakan. Pahala dan dosa, urusan masing-masing manusia. Soal surga-neraka, itu hak mutlak Allah Swt. Kebun itu bernama Maiyah saudara-saudara.
**
Selalu ada hikmah di setiap kejadian. Kejadian itu terjadi beberapa waktu lalu. Minggu, 29 April 2018, jamaah pengajian Sholassalam yang diasuh oleh Bp. dr. H. Ismail Joko Sutresno mengadakan kegiatan ziaroh kubur ke makam Wali Songo. Pak dr. Ismail adalah seorang tokoh di wilayah Gemolong. Kalau teman-teman ingat, pak dr. Ismail inilah pemrakarsa acara Sinau Bareng Cak Nun & KiaiKanjeng #jilid 2 di Gemolong, Sragen, dua tahun lalu (08-10-2016). Tentang pak dr. Ismail, Insya Allah kita bahas di tulisan lain.
Bak gayung bersambut. Mendapat ajakan untuk ikut ziaroh, saya langsung mengiyakan-nya. Diarani bid’ah yo ben. Dicap sesat yo terserah. Dosane tak pikule dewe. Hehe.
Rombongan peziaroh berangkat dari Gemolong pukul setengah tujuh pagi. Dengan mengendarai bus besar yang mengangkut sekitar 50 jamaah. Tujuan ziaroh yakni ke makam Sunan Kudus, Sunan Kalijaga (Demak), dan Sunan Muria (di bukit Muria). Inilah kali pertama saya menziarohi makam para Wali. Dan semua ini tak dipungut biaya. Alias gratis tis tis. Armada, snack, sarapan, makan siang, ongkos ojek, semua di tanggung oleh Pak dr. Ismail. Alhamdulillah.
Singkat cerita, pukul sembilan bus kami merapat di Terminal Wisata Kudus. Tampak lautan manusia disana. Se-grup. Serombongan. Masing-masing grup/rombongan mengenakan seragam yang sama. Selain berfungsi sebagai identitas, semisal ada salah satu yang hilang, gampang mencarinya.
**
Sudah menjadi ritual rutin tahunan, ketika masuk bulan Sya’ban orang-orang berbondong-bondong berziaroh kubur. Sya’ban oleh orang Jawa disebut ruwah (ngluRU arWAH). Yakni menyowani arwah para simbah, sesepuh, dan leluhur. Tak heran, makam-makam para leluhur selalu ramai peziarah saat bulan Ruwah.
Ziaroh adalah bentuk penghormatan anak-cucu kepada pendahulu. Wujud silaturahmi rohani antara yang masih hidup dengan yang sudah mati. Sebenarnya mereka (almarhum) tidak mati. Mereka hidup dalam dimensi yang lain (alam barzakh) dengan kita.
Tujuan ziaroh ialah mendoakan arwah leluhur. Kenapa mesti didoakan? Karena tidak akan ada kita, kalau tidak ada Simbah leluhur kita. Jadi mendoakan adalah tanda terima kasih dan cinta kita sebagai anak-cucu kepada pendahulu.
**
Teman-teman sekalian, jarak antara terminal dengan lokasi makam Kanjeng Sunan Kudus berkisar dua kilometer. Pihak pengelola, menyediakan empat moda transportasi untuk menuju kesana. Ada andong, ojek motor, becak dan angkot. Hebatnya, tidak ada satu pun angkutan yang nganggur. Semua dapat penumpang. Hilir mudik berseliweran.
Pukul 11 siang saya dan rombongan tiba di area makam Kanjeng Sunan. Mentari kian terik. Panasé ngenthang-enthang. Keringat jatuh bercucuran. Ribuan manusia berjubel. Berdesak-desakan. Mengular, meluber hingga ke jalan. Bergerak lambat, merayap ke bibir pintu gerbang makam. Mau tidak mau, suka tidak suka, aksi dorong pun terjadi. Jamaah berebut ingin segera masuk. Demikian juga saya. Namun saat itu juga, saya teringat kisah Mas Sabrang saat berumrah.
Di saat jutaan umat berthawaf mengitari Ka’bah dan ingin sangat mencium Hajar Aswad. Mas Sabrang justru kurang berminat. Kalau dapat mencium Hajar Aswad dengan cara mendorong, menyikut, atau menyingkirkan orang lain demi ambisi pribadi, saya tidak mau.” – ungkap mas Sabrang.
Mendapatkan sesuatu yang baik, dengan cara yang tidak baik, jadinya juga tidak baik. Seperti orang korupsi, lalu uang korupsi digunakan untuk membangun Masjid. Ya tidak baik. Tidak akan berkah. Kalaupun dapat mencium Hajar Aswad, biarlah sesuai skenario Allah, dan melalui cara yang baik dan wajar.
Kisah mas Sabrang, menasihati diri saya untuk tidak egois. Tidak grusa-grusu hanya demi menuruti hawa nafsu. Dengan wajar, saya berjalan pelan sesuai arahan petugas. Biarkan semua berjalan semestinya. Selang 30 menitan, akhirnya saya berhasil masuk ke dalam pusara.
“Ya Allah, hari ini kami menyowani makam para Wali. Semoga suatu hari nanti, Engkau izinkan kami menziarohi makam Baginda Nabi. (Amin).” – Idep-idep latihan ini. Hihi.
**
Setiap rombongan peziaroh silih berganti, duduk melingkari makam Kanjeng Sunan Kudus. Merapal doa-doa, zikir, tahlil, lantunkan ayat suci. Bersebab bodoh dan awam, hanya satu doa yang saya panjatkan.
“Ya Allah, semoga kebaikan Kanjeng Wali dan doa kebaikan orang-orang yang ada di sini, turut nyiprat kepada kami. Amiiin.”
Usai doa-zikir-tahlil, rombongan kami keluar. Di luar komplek makam, berjajar penjaja makanan dan minuman. Juga penjual aksesoris, pakaian, buku, oleh-oleh dan ragam souvenir. Ada juga tukang foto kilat. Foto sekali jebret langsung jadi. Cukup bayar sepuluh ribu. Lumayan buat kenangan, dan bisa jadi bahan cerita untuk anak-cucu di masa datang. Benar-benar semua kecipratan berkah.
Kanjeng Sunan Kudus yang telah ratusan tahun pejah, nyatanya hingga sekarang masih nguripi dan ‘membagi’ berkah. Wa bil khusus buat warga Kudus dan sekitarnya. Segala sektor tersentuh barokah-nya Sunan Kudus. Mulai dari sektor religi, industri, sosial, seni, budaya, ekonomi, transportasi, dll. Kesimpulannya ; orang baik, selamanya akan memberi manfaat baik.
**
Sepulang ziaroh, ada yang terlintas di pikiran. Bukankah pemandangan serupa juga kerap kita saksikan di acara Maiyahan. Setiap kali Maiyahan digelar, semua juga kecipratan barokah. Mulai dari tukang parkir, tukang ojek, pedagang angkringan, penjual kopi keliling, bocah penjual alas, penjaja buku, kaos, baju, kopiah dll. Semua memetik rizki dari berkahnya Maiyah. Itu baru berkah yang berupa materi. Ada juga berkah yang in-materi, yakni ilmu-ilmu baru, pencerahan, solusi-solusi, jalinan pasedhuluran dan tentu saja ngalap berkahe Simbah. Melalui wasilah Mbah Nun dan Maiyah, kita semua terhimpun, terangkul dalam naungan Kasih Sayang Allah dan Rasulullah.
**
Dari peristiwa ziaroh kubur tersebut, khususnya saya dan kita dapat menukil beberapa hikmah. Pertama, kita dapat belajar kedermawanan dari seorang dr. Ismail. Bahwa berbagi itu indah-mulia. Membuat bahagia orang banyak itu membahagiakan. Dan orang yang sudah bersentuhan dengan Maiyah, selalu gemar berbuat kebaikan. Pak dr. Ismail salah satunya.
Yang kedua, kita belajar dari pengalaman mas Sabrang. Tidak curang dalam mendapatkan sesuatu. Tidak menghalalkan segala cara agar tercapai cita-cita. Sesuatu dan cita-cita mesti ditempuh dengan cara yang baik, agar hasilnya baik pula.
Dan terakhir, kita dapat belajar dari orang-orang baik, para kekasih Allah, layaknya Simbah dan Waliyullah. Yakni istiqomah menjadi orang baik. Setia menanam kebaikan, dan menabur kasih-sayang. Salah satu ciri orang baik ialah, ada dan tiadanya tetap memberikan kebaikan, manfaat dan berkah. Al fatihah.
Gemolong, 22 Mei 2018