Entah dimulai sejak kapan, di daerah asal saya, di kampung saya setiap malam lebaran anak-anak berhamburan keluar rumah, mendatangi tetangga, kemudian secara bersama-sama dengan rombongan lain, tepat di hadapan tuan rumah “melantunkan” kalimat khas setahun sekali “Njaluk zakate oh!…”.
Nada dan intonasi kalimat itu masih terngiang di telinga saya, apalagi saat malam takbiran, saat saya sudah tidak melewatkan di kampung halaman saya. Masih ingat saya antri di rumah Wak Haji Sobirin, orang yang cukup “sugih” untuk ukuran kami. Kenapa Wak Haji Sobirin, yang segera saya ingat, karena di situ lah saya mendapatkan angpow dengan lembaran uang baru, masih keset.
Dua hari sebelum lebaran tahun ini, saya mendapatkan broadcast dari grup WA, yang intinya adalah ceramah tentang keutamaan memberi, tentu dengan dalil-dalil yang saya tidak hapal, al yadul ulya khoiru min yadus sufla, itu saja yang saya tidak lupa. Di akhir broadcast itu, dengan lantang ditutup kalimat, jangan biarkan anak-anak kita dibiasakan meminta-minta dengan budaya malam takbiran keliling kampung melantunkan “Njaluk zakate ohh..”
Saya paham, sangat paham maksud broadcast tersebut. Saya adalah generasi “Njaluk zakate oh..” di saat saya kecil. Saya hanya ingin mengatakan bahwa, ketika saya kecil, dan berkeliling kampung ke rumah-rumah tetangga ada memori yang membekas. Dan responsi atas memori tersebut tidak selalu ingin mengulang, dan meniru meminta-minta. Atas peristiwa “Njaluk zakate oh..” saya menjadi semacam “pendendam”, suatu saat saya harus bisa jadi Wak Haji Sobirin.
Hari ini, saat saya menulis di malam takbiran, di kampung halaman saya masih berlangsung budaya “Njaluk zakate oh..” dan itu menunjukkan ada semacam regenerasi. Saya tidak yakin bahwa yang sekarang posisi memberi, dulu tidak ikut menjadi yang melantunkan “Njaluk zakate oh..” Bisa jadi, yang sekarang sukses, dan bagi bagi duit adalah mereka yang saat kecil, justru yang seperti saya, mendendam untuk membalik masa depan.
Jadi, menolak suatu peristiwa yang tidak kita setujui adalah juga responsi. Beberapa pemimpin dibesarkan dari penderitaan menjadi kacung, jadi buruh. Maka kalau Anda melarang budaya “Njaluk zakate oh.., mohon untuk “Ojo banter banter”, sebab banyak hal yang tidak kita ketahui episode apa yang akan terjadi. Seorang teman rela tidak membelanjakan uangnya untuk beli paketan data, karena jauh-auh hari merancang pembalasan, dulu minta “Njaluk zakate ohh,”, sekarang saatnya bagi bagi duit.
Wallahua’lam…