Penyelenggaraan acara Workshop yang diikuti simpul Maiyah se-Jawa Tengah-Daerah Istimewa Yogyakarta melahirkan keajaiban. Semua yang berada di ruangan, baik peserta maupun pengisi, selama acara dari pukul sembilan pagi sampai lima sore tidak ada satu pun yang merokok. Ini pertama kalinya Gambang Syafaat sebagai penyelenggara acara melarang tamunya merokok. Keadaan ini tidak bisa dibantah. Bahkan aturannya tidak bisa ditawar sedikit pun. Aturan persewaan gedung sudah menetapkan sejak awal bahwa semua yang berada di ruangan tidak boleh merokok. Ruang rokok tersedia seratus langkah dari ruang acara. Jadi, semua yang berada di ruangan memang harus merelakan selama acara lidahnya terasa anyep dan hambar.
Mungkin ini bisa dianggap salah tempat. Kang Nasir selaku panitia menyadari dugaan tersebut. Beliau di awal pembukaan acara terpaksa menyampaikan aturan yang tidak bersahabat bagi para penggiat Maiyah yang datang dari region Jateng-DIY. Ruangan itu yang bertempat di aula lantai 2 Gedung PKBI menjadi pilihan satu-satunya setelah gedung yang lain tidak layak secara fasilitas dan harga. Juga letak kurang strategis. Di antara ketiga kriteria itu, menurut Kang Nasir, Gedung PKBI lah yang paling layak digunakan untuk penyelenggaraan acara. Pertama, ruangannya bisa menampung rombongan dari 28 (25 yang hadir dan setiap simpulnya diwakili dua orang) simpul Maiyah. Kedua, letaknya strategis. Sepuluh menit dari bandara Ahmad Yani jika berkendara motor. Dekat dari pusat kota. Dilalui jalur nasional. Mudah dituju dengan moda transportasi bus.
Sebenarnya ada banyak celah untuk merokok. Misalkan, dengan membuka pintu jendela dan mematikan AC. Namun, cara itu tidak dilakukan karena sebagai kaum Maiyah kita harus berdaulat pada diri sendiri. Kita harus berdaulat pada rokok, bukan rokok yang berdaulat pada diri kita. Keadaan itu dibuktikan dengan mentaati aturan larangan merokok sebaik-baiknya. Pengelola gedung pun toleran dengan para perokok. Ia melarang penyewa gedung merokok di satu tempat dan menyediakan ruang rokok di tempat lain. Aturan ini seperti menyadarkan kembali pada kita semua bahwa merokok bukan tindakan kriminal, haknya juga sudah diatur undang-undang. Sangat tidak imbang jika aturan larangan merokok tidak dibarengi pembuatan ruang rokok. Sama saja melarang seorang anak menggambar di tembok tapi tidak memberitahunya bahwa ruang menggambar itu ada di buku gambar bukan di tembok.
Pertemuan antar simpul seluruh Jateng-DIY terjadi tanpa ada join rokok. Ini sekaligus membuktikan bahwa penggiat Maiyah tidak hanya menyelenggarakan dan mengikuti acara yang cair, luwes, dan tidak kaku menerapkapn aturan. Mereka juga bisa menyelenggarakan atau mengikuti acara yang ada susunan, aturan, dan tata tertib acara yang jelas. Tidak ada pemandangan melingkar dan duduk lesehan. Yang ada adalah semua pengisi dan peserta duduk di kursi dan meja yang ditata berjejeran membentuk persegi panjang. Mirip rapat partai politik atau seminar penyuluhan yang diselenggarakan institusi pemerintah.
Mungkin di benak kita bertanya-tanya untuk apa Maiyah menyelenggarakan acara ”sekaku” itu. Sebenarnya tidak ada yang kaku. Ini hanya persoalan teknis saja. Dan, tuan rumah dan tamu yang terdiri dari para penggiat Maiyah bisa menyesuaikan aturan tersebut. Sekali pun aturan itu tidak pas dengan kebiasannya tetapi selama acara berlangsung bisa berjalan lancar. Semua yang ada di ruangan bisa menyesuaikan dengan aturan tempat. Tidak ada gerundelan dan rerasan mengenai tempat acara. Kejadian ini menimbulkan pertanyaan pada stigma yang sangat melekat pada Maiyah: Apa benar Maiyah itu cuma ngopi dan begadang? Nyatanya ia bisa menyelanggarakan agenda dari pagi sampai sore dengan tata tertib acara yang berlaku. Dan, semua bisa mentaati tata tertib tersebut tanpa ribut-ribut memerkarakannya. Apa benar Maiyah itu cair dan luwes? Nyatanya ia menyelenggarakan acara mirip seminar. Apa benar Maiyah itu cuma acara yang berisi guyon cekakan saja? Nyatanya ia bisa menyelanggarakan acara yang membahas perkara teknis yang sangat mendetail. Dan, pertanyaan terakhir ini yang kemarin (Minggu, 22/04/2018) mendapat porsi besar untuk dibahas.
Dipandu Mas Rizki Dwi Rahmawan sebagai koordinator region 3 Maiyah. Workshop yang diikuti simpul Maiyah se-Jateng-DIY juga dihadiri koordinator region 4 (simpul se-Jawa Timur-Bali) Cak Hari Widodo, kordinator region 1, 2, 5, 6, 7 (simpul Maiyah se-DKI, Banten, Jawa Barat) Mas Fahmi Agustian, dan pemimpin semua kordinator region Maiyah, Mas Sabrang Mowo Damar Panuluh. Agenda utama Workshop yang mengundang simpul Maiyah se-Jateng-DIY adalah merapikan cara kerja dan membenarkan tata kelola teknis di setiap simpul Maiyah. Ini perlu dilakukan agar ke depannya simpul Maiyah berjalan dengan kordinasi yang baik dan rapi. Empat pengisi bergantian menyampaikan materi dari bidang masing-masing.
Mas Rizki tampil sebagai pembicara pertama. Beliau menceritakan bahwa workshop yang diikuti Maiyah di setiap region sebagai bentuk tindak lanjut dari Silaturahim Nasional (Silatnas) yang diikuti seluruh simpul Maiyah di Nusantara. Silatnas terakhir di Jakarta pada Desember tahun lalu menghasilkan draft kasar Piagam Maiyah. Tindak lanjutnya adalah menyerap aspirasi dari jamaah Maiyah untuk menyempurnakan draft tersebut. Tahap sekarang mencicil dulu dari yang paling mendasar, yakni penyelenggaran acara Maiyah. Mulai dari apa saja yang harus dilakukan penggiat Maiyah, apa tugas koordinator simpul, dan ada apa saja di Maiyah. Semua itu perlu dipahami penggiat Maiyah agar semua penyelenggaraan agenda Maiyah tidak melenceng dari nilai-nilai Maiyah.
Maiyah bukan organisasi tapi kerjanya harus terorganisir, begitu kata Mbah Nun berulang-ulang. Maka dari itu, Maiyah dibentuk pembagian kerja. Semua yang terlibat di Maiyah dengan sadar diri melakukan perkerjaan di Maiyah sesuai minat atau keahlian masing-masing. Pembagian kerja dimaksudkan untuk menghindari hierarki perkejaan: antara yang merintah dan diperintah. Pembagian kerja menghilangkan itu semua. Pembagian kerja mengehendaki kesadaran setiap penggiat untuk dengan sadar diri melakukan apa pun di Maiyah. Pola kerja seperti ini tentu tidak bisa dibiarkan tidak beraturan. Perlu ada aturan dan tata cara teknis agar semua berjalan terkordinir dan tidak melahirkan kejadian yang tidak diinginkan.
Mas Fahmi melanjutkan untuk membahas materi itu. Beliau menyampaikan bagaimana mengatur manajemen forum, publikasi, moderasi forum, kerja tim, dan dokumentasi. Setiap bab dijabarkan secara sedetail-detailnya agar semua penggiat yang menyimak dan bisa memahami dengan baik. Semua perkara teknis terkait penyelenggaraan Maiyah dijelaskan mulai dari mengatur tempat panggung, bagaimana menempatkan para pengisi, manata set peralatan musik (kalau ada), dan bagaimana mengatur jalan lewat pemberi kopi dan kudapan untuk pengisi.
Selesai Mas Fahmi menyampaikan materi workshop. Cak Hari melanjutkan mengisi materi. Beliau mendapat bagian khusus mengatur bagaimana penggiat Maiyah menjalankan akun media sosialnya. Semua dibahas secara detail. Mulai dari bagaimana memberi nama akun, mengisi status, merawat akun, sampai pada akun siapa saja yang boleh diikuti. Sebagai penegasan, Cak Hari mengatakan akun media sosial Maiyah dilarang mengikuti akun media sosial tokoh-tokoh politik. Itu dilakukan untuk menghindari dugaan Maiyah memiliki hubungan dengan tokoh-tokoh tertentu. Maiyah tidak partisan dan membebaskan jamaahnya memilih partai, caleg, walikota, gubernur, sesuai pilihannnya masing-masing.
Selesai urusan akun media sosial. Cak Hari membahas laman simpul Maiyah. Cara pengelolaannya pun hampir sama dengan akun media sosial. Cuma kalau di akun media sosial bisa mengunggah bahan materi yang diambil dari simpul lain atau caknun.com. Di laman, penggiat Maiyah dianjurkan untuk mengisinya sendiri. Yang paling penting adalah mukadimah dan reportase. Dua hal itu harus dicatat rapi dan diunggah di laman. Tidak boleh ditinggalkan. ”Aset data Miayah itu hanya dua. Mukadimah dan reportase,” kata Cak Hari. Semua penggiat Maiyah harus menyadari aset data tersebut. Cak Hari juga berkali-kali menegaskan kepada penggiat Maiyah bahwa menjaga aset data itu ”kudu wani kesel.”
”Idealnya mengunggah reportase H+3 setelah acara. Tapi kalau tidak bisa, selambat-lambatnya H+7,” kata Mas Fahmi menambahkan.
Ketentuan membuat dan mengunggah reportase ini sempat dirasakan berat oleh para penggiat. Mereka merasa kesulitan membuat dan mengunggah reportase secara cepat. Alasannya macam-macam. Mulai dari keterbatasan tenaga, belum bisa menulis, dan takut salah tulis. Keadaan yang dialami penggiat seperti ini langsung mendapat tanggapan dari Mas Sabrang.
”Mengapa peradaban Romawi terkenal di dunia sampai sekarang?” tanya Mas Sabrang kepada semua penggiat. ”Karena mereka mencatat sedetail-detailnya. Hingga generasi anak cucu bisa membacanya.”
Kesadaran mencatat dan mengarsip cerita dan peristiwa membuktikan semua peradaban bisa awet diceritakan dari masa ke masa. Cara ini bisa ditiru Maiyah meski tidak berpamrih menjadi besar dan agung di masa mendatang. Pamrihnya cuma sederhana: mewariskan catatan cerita dan perisitwa kepada generasi anak cucu Maiyah di masa depan. Semua penggiat mendapat kesempatan membuat catatan dan mengarsip data Maiyah di setiap simpul masing-masing.
Setelah mengikuti Workshop di Semarang. Semua penggiat Maiyah di setiap simpul tidak lagi leha-leha dan abai pada catatan dan data. Mereka telah mendapat bekal materi sangat banyak mulai dari perkara teknis acara sampai tata cara mengatur media sosial dan laman. Sore telah menyapa dan semua penggiat dan pengisi telah tiba di penghujung acara. Jarum jam menunjuk pukul 17.00 WIB. Acara diakhiri. Satu per satu perwakilan simpul Maiyah pulang ke daerahnya masing-masing. Tidak perlu waktu lama untuk mengadakan pertemuan kembali. Sebab, simpul Maiyah sudah berjanji agar terus bertegur sapa dan berbagi kabar lewat catatan mukadimah, reportase, dan setumpuk foto acara. Minimal sebulan sekali mereka berbagi kabar. Itu dilakukan sebagai penanda bahwa mereka ada dan mengada. Acara Maiyah telah disusun secara rapi, terkoordinir, dan rutin. Semua penggiat telah mendapat bekal materi setumpuk di acara yang membolehkan pesertanya menyeduh kopi tapi melarang mengisap rokok. Tanpa rokok acara pun tetap berjalan gayeng. Tanpa lesehan semua bisa memerhatikan. Tanpa kecairan suasana acara tetap bisa diikuti dengan hikmat oleh peserta.
Kejadian itu seperti mengajak kita bertanya kembali, apa benar Maiyah itu cuma begadang dan ngopi? (Yunan Setiawan).