Setelah sekian lama dikira seperti perkumpulan para kaum-kaum tidak waras. Maka malam ini (25/9) juga, kita meneguhkan tema yang tegas, “Menyongsong Zaman Waras.” Siapa yang berhak menentukan kalau seseorang itu waras? Apakah diri kita sendiri bisa menilai diri kita itu waras? Atau jangan-jangan yang kita kira ini waras tapi menurut orang lain tidak waras? Lantas siapa yang berhak menentukan kewarasan seseorang? Jawaban itu sulit terjawab. Kewarasan adalah proses kita hendak menujunya tapi tidak pernah sampai tujuannya. Kita berjalan menuju kewarasan tapi selama perjalanan itu menemui hadangan, terjalan, cobaan, dan rintangan. Sehingga perjalanan kita menuju waras bisa jadi tidak pernah sampai. Dan selama ini jangan-jangan kita masih dalam perjalanan menuju waras. Perjalanan yang tidak pernah sampai dan sulit dicapai.
Ketika keadaan politik, ekonomi, dan agama yang semakin merendahkan kewarasan. Malam ini (25/9) di hadapan para jamaah yang terdiri dari beragam kalangan. Forum Maiyah Gambang Syafaat mengajak para jamaah: yuk waras bareng. Khazanah bahasa Jawa mengartikan waras dalam dua pengertian. Pertama, waras yang berarti sehat secara biologis. Kedua, waras yang berarti normal secara akal. Dan yang kita tuju sekarang adalah waras dalam kedua-duanya.
Ada banyak pengisi yang sudah menyampaikan urun gagasannya mengenai kewarasan. Ternyata pura-pura waras jauh lebih sulit ketimbang pura-pura edan. Banyak sudut pandang yang diajukan. Jamaah bisa meneropong tema ini dari pemaparan beberapa pengisi. Waras, sebagaimana yang kita tahu, tergantung siapa yang memandang dan menilai. Seperti contohnya kegiatan rutin Gambang Syafaat setiap tanggal 25 ini. Bisa jadi apa yang kita ikuti ini di Gambang Syafaat dicurigai kurang waras oleh orang yang merasa aneh dengan apa yang dilakukan para pegiat dan jamaah Gambang Syafaat ini.
Lha kok bisa? Lha bagaimana mengatakan ini waras, para pengisinya saja sering mengaku bahwa apa yang mereka sampaikan adalah bukan pernyataan final atau kebenaran mutlak. Apa yang diomongkan semacam usaha mentadabburi suatu peristiwa dengan mengedepankan kebaikan hati dan kewarasan berpikir. Kok masih saja ada yang mau bergerombol mendengarkan omongannya. Waras kah anda?
Waras Boleh, Edan Tidak Dilarang
Kita harus gelisah kalau fisik kita bisa membuat tubuh kita berlari lima kali mengitari lapangan tapi akal kita tidak bisa membedakan kalau ISIS bukan bagian dari Islam dan candi Borobudur tidak ada urusannya dengan Budha di Myanmar. Kita bisa berbondong-bondong mengirim bantuan kepada korban pengusiran kepada masyarakat di luar negeri tapi pura-pura tuli, tidak tahu, kalau tetangga samping rumah mumet mau makan siang pakai nasi dan lauk apa. Dalam hal itu tentu kita harus mengembalikan kewarasan kita. Mana yang primer mana yang sekunder.
Kehilangan kewarasan bisa mengubah sekunder menjadi primer. Memerhatikan apa yang terjadi di jauh sana tapi mengabaikan apa yang terjadi di depan mata. Pembolak-balikan itu terjadi berkat pikiran kita tidak berdaya menggunakan kadar kewarasan kita.
“Kewarasan itu tergantung orang mau ngukurnya dari mana,” kata Pak Ilyas.
Salah satu contohnya adalah bagaimana kita memandang perokok. Kalangan farmasi mungkin berpikiran para perokok itu tidak waras karena menggunakan uangnya untuk membeli suatu benda yang habis diselomot korek. Dan ditambah lagi mengapa untuk mendekatkan diri kita pada kematian kok bayar. Itu satu sisi lain memandang orang yang perokok. Tapi perokok bisa memandang dari sudut yang lain. Perokok mungkin merasa aneh dan tidak waras kepada orang-orang tidak perokok dan anti perokok yang mengatakan rokok itu tidak sehat. Padahal menurut perokok, dengan merokoklah kewarasan mereka terjaga. Sebab setiap batang rokok selalu memberikan jeda waktu untuk berpikir, merenung, dan menghempaskan kepenatan pikiran. Merokok malah bisa membuat waras.
“Nah nek koyo ngono kui kan tergantung sing ngarani to cah,” kata Pak Ilyas.
Waras tidak waras itu memang tergantung dari mana kita melihatnya dan tergantung siapa yang melihatnya. Kalau kita di Maiyah, kata Pak Ilyas, kita kudu melihatnya dari hati, dengan rasa cinta, bagaimana suatu hal atau peristiwa kita pandang tanpa curiga. “Pokoke pikir sing apike lah”.
Kalau melihatnya dengan cinta kita mungkin bisa terlepas dari sangkaan buruk atau tipuan-tipuan yang melatarinya. Bisa jadi kalau kita melihatnya dengan cinta kita bisa menemukan yang orang lain tidak temukan. Kita bisa merasakan kewarasan meski orang lain menganggapnya tidak waras.
“Nah, nek Maiyah koyo ngene iki opo wong-wong ngarani kuwe-kuwe sing melu neng kene waras? Ndak orak to. Kuwe lungguh berjam-jam neng kene. Ngrungokke pengajian sing pengisine gak cetho. Ngaji orak ono dalile mung gojekan tok. Opo yo iku waras? Waras menurutku, menurute wong liyo yo edan.”
Pada pokoknya waras itu bagaimana kita melihatnya dan siapa yang menilainya. Karena itu memastikan kewarasan orang-orang tergantung subjek yang menilai dan objek yang dinilai. Seringkali persepsi yang menilai dan dinilai selalu tidak sama. Semua itu bisa kita ambil jalan keluarnya dengan memandang apapun dengan rasa cinta. Sebagaimana cinta yang kita tebarkan pada setiap pertemuan forum Maiyah. Kalau kita sudah mempraktekkan itu maka waras tidak waras kudu waras. (Redaksi-Yunan Setiawan)