“Tentu dalam hal kompetensi berbicara soal kewarasan, saya merasa ngeri. Begini, aku ki ngomong soal waras opo aku ki wes waras tenan? Ada terminologi yang sangat menarik, ditulis oleh Mas Prie GS (Sastrawan Semarang) dalam bukunya Waras di Zaman Edan. Ada term belum waras, nyaris setengah waras, setengah nyaris waras, dan waras. Itu kan sangat menganggu pikiran, terutama saya. Apakah saya sudah waras tenan? Jangan-jangan yang dianggap waras malah tidak waras?” Ucap Gus Aniq mengawali diskusi bersama Jamaah Gambang Syafaat (GS) dengan tema Menyongsong Zaman Waras.
Gus Aniq bercerita, “Saya pernah njagongi ‘wong edan’ di daerah pantura. Ada wong tuwa lanang, ‘edan’. Pokok’e wudoh (telanjang) edan. Saya panggil, Mbah-mbah rene. Jenengmu sopo? Weh, kok malah mlilik’i. Bahaya iki!” ucap Gus Aniq ketika melihat respon dari Mbah tadi. Entah kenapa tiba-tiba Gus Aniq kok berubah pikiran.
Dengan gaya bicara lebih halus, Gus Aniq betanya lagi. “Mbah, nyuwun sewu. Keparing asmo sinten?” Setelah itu Gus Aniq diajak ngobrol bareng. Mbah tadi menjawab dengan menulis namanya dengan aksara Jawa, tertulis nama “Supar”. “Ee.. tibak’e keliru awehku takon. Jebule aku sing ora waras”, ucap Gus Aniq. Jangan-jangan yang kita anggap tidak waras malah lebih waras dari kita.
Suasana GS bulan September ini makin mesra. Gus Aniq kembali bercerita pengalamannya. “Pas ning Bangjo, aku ketemu karo wong sing dewe arani kui ‘ora waras’. Wong kui numpak sepeda, dihias, ono spione, pakaiane koyo pakaian cah SD, ning mburi sepedane ono tulisan “Dirgahayu RI”. Ning pas lampu merah wong iku mandeg, tapi kok malah ono wong sing numpak motor malah ngluyur seko lampu merah. Dilihat seperti tidak waras. Tapi justru yang berhenti saat lampu merah-lah yang waras.
Gus Aniq mengaku sulit mendefisiikan waras atau tidak waras. Alquran iku nyindir, nyindir dengan pertanyaan, afalaa ta’kilun, afalaa tatafakkarun. Sesungguhnya kita belum menemukan jatidiri kita sebagai manusia. Karena pada hakikatnya kita belum waras.
Kemudian Gus Aniq berkisah tentang Abu Nawas. Abu Nawas, seorang Wali, itu saja dianggap gila. Kemudian diakui oleh Harun Ar-rosyid bahwa Abu Nawas ini Wali. “Kisahnya begini”, lanjut Gus Aniq berkisah. Gara-garanya Harun Ar-rosyid itu, rumahnya luas sekali, jadi di sebelah rumahnya itu khusus bagi para perempuan dan disitu para perempuan pada mandi, berendam disana. Lalu dilihat (diintip) oleh Harun Ar-rosyid. Dalam batin Harun Ar-rosyid berkata, “Kalau aku lanjutkan malah aku melakukan zina dan dosa tapi kalau dibayangkan malah ngeden (kepingin). Akhirnya Harun Ar-rosyid memilih untuk tidur, tapi malah tidak bisa tidur. Kemudian Harun Ar-rosyid mengadakan sayembara untuk mencari siapa saja agar bisa membuat Harun bisa tidur. Ada banyak orang melakukannya, penyair, dokter, dan lain-lain. Tetapi tetap belum bisa membuatnya tidur. Lalu datanglah Abu Nawas dengan berbekal cerita. “Tak ceritani”, kata Abu Nawas. “Ceritani opo?”, jawab Harun. Ada semut masuk ke dalam telinga, dan telinga yang dimasuki itu badeg (bau busuk) lalu semut itu keluar lagi. Sampai beberapa kali semut itu melakukannya. Terus keluar masuk telinga. “Itu cerita apa? Daripada mendengarkan ceritamu tak turu wae”, jawab Harun. Langsung Abu Nawas merespon, “Lha iya, njenengan iku ya raja ning ya ngincengan (suka mengintip)”. Akhirnya Harun Ar-rosyid baru tahu bahwa Abu Nawas adalah seorang Wali.
“Jadi didepan Abu Nawas itu ilmu siapapun runtuh semua”, terang Gus Aniq. Kisah kedua dituturkan oleh Gus Aniq.
Saat itu hujan tiba-tiba datang, Abu Nawas mlayu ngiyup. “Ada hujan kok malah mlayu? Hujan itu kan rahmatullah, kok malah ngiup?”, tanya seseorang kepada Abu Nawas.
“Lha daripada aku ngidak-idak rohmat?” Jawab Abu Nawas.
Makin malam, jamaah kian merapatkan barisan. Gus Aniq menularkan kegelisahan kepada jamaah GS. Sekarang itu televisi sudah dikebiri oleh adegan komedi, komedi yang cuwawak (tidak berisi). Bukan pelawak temenanan yang ada di televisi. Sekarang itu kita sudah kehilangan pelawak yang benar-benar cerdas, membawa entitas tajalliyat-Nya Allah dengan kejenakaan, kok sekarang angel (sulit). Kalau dulu ada ludrukan, ketoprak, dan sebagainya. Sekarang kita bisa menengok kalau di televisi, wah, amburadul! Malah lebih cerdas para pelawak yang melawak di panggung.
Bicara soal waras ini sulit. Diri kita belum tentu waras, apa lagi nyaris waras. Yang susah adalah bagaimana ukuran waras. Waras yang sesungguhnya yang bagaimana? Beberapa kali Gus Aniq omongkan dihadapan semua, waras kui iku podo ngertine dewe kui uwong, mangungsake manungso, nguwongke uwong.
“Manusia memang ada unsur empat, sedulur papat limo pancer”, pungkas Gus Aniq. Kalau dalam bahasa fisika, itu ada kuantum, dan disebut dengan unsur C-H-O-N, ada unsur Carbon, Hidrogen, Oxygen dan Nitrogen. Maka di dalam beberapa tafsir itu sangat unik, manusia itu termasuk makhluk yang paling rumit penciptaannya, ciptaan Allah yang paling rumit. Ada unsur-unsur yang kompleks tadi. Bahkan unsur tanah pun dibagi menjadi empat: ada tin, turot, sol-sol, dan hamaimmasnun. Allah menciptakan Adam dari turot dan tin. Tetapi jika diterjemahkan dalam bahasa Jawa itu akan pas. Karena dalam bahasa Jawa akan langsung mejurus pada presisi ketepatan kata. Ada lebu, tanah sing mambu banyu, tanah yang kering karena ada unsur apinya, ada unsur kelembapan menjadi awu, dan lain-lain. Itu sudah rumit. Makanya tidak heran jika Iblis diciptakan dari api karena manusia juga ada unsur apinya.
Kewarasan dalam Pola Pikir Manusia
Waras, sehat, selamet, itu pandangan. Waras itu bisa ditujukan sebagai waras awake, (fisik) atau psikis. Yang tadi kita bahas adalah waras dan ketidakwarasan secara psikis, pola pikir, dan akal. Dan akal itu sudah mengandung unsur sehat, tidak ada di dalam lafal Alquran aqlun shohihiun, karena aqlun itu mesti shohih. Akal itu ada yang kena taklif maka menjadi Mukallaf, akal itu musti sehat. Akal itu sesuatu yang mengikat kuat untuk mengolah rasa untuk melihat tajalliyat-Nya Allah. Kewarasan dalam pola pikir manusia yakni mangungsake manungso, itu sudah waras. Ukhwah insaniyah, ukhwah basyariyah, persaudaraan untuk menciptakan keharmonisan antar makhluk. Lalu kalau mendoakan untuk kesehatan, keselamatan, yakni slamet pikir dan awake. Kenapa tadi saya mencontohkan sesuatu yang ‘edan’? Karena terkadang ada unsur-unsur, satu bagian tertentu bisa diarani waras dan ora waras. Tetapi itu kan anggapan.
Kemudian Gus Aniq berkisah lagi bahwa sejak dulu orang Jawa sudah diatur oleh pola-pola kehidupan. Gus Aniq bercerita semasa kecilnya. “Maghrib-maghrib Le, ojo lungo surup-surup, menko ono Candi Olo (Memedhi/setan)”. Lalu ada juga nasihat, “Ojo linggih ning ngarep lawang, menko bojomu minggat”. Itu artinya bukan sesuatu yang mistis-mistis banget, itu berfungsi untuk mengatur kehidupan. Lalu pola-pola tadi dirusak oleh pandangan rasionalis (modern). Wong Jawa sing ulihe ngatur lan ngelola kehidupan iku canggih, presisinya tepat. Piye carane mahami awake dewe dengan term sedulur papat limo pancer. Memahami itu sangat insaniyah. Orang Jawa sudah mengatur tatanan kehidupan, namun persoalan yang kita hadapi di sisi lain, yakni perubahan tatanan kehidupan.
Gus Aniq kembali bercerita, “Saya itu punya teman santri dari Betawi. Ia mengatakan orang Jakarta geger sepeti itu karena banyaknya pendatang. Pendatang banyak merusak tatanan masyarakat, karena sakarepe dewe”. Semarang kedatangan mahasiswa kos-kosan, mesti akeh sing ngrusak tatanan masyarakat. Kuliah terus iku terus iso lapo-lapo (berbuat) sakarepe dewe? masyarakat pasti marah dengan perilaku-perilaku yang tidak mengiukti aturan masyarakat. Maka yang paling sederhana adalah menciptakan keharmonisan, insaniyah. Menungsakke menungso. “Kita itu sudah kehilangan pandangan secara makro kosmik. Contohnya, bocah saiki sering mengatakan kiri, kanan, selatan, utara. Namun bukan timur, barat, utara ataupun selatan. Ning orang Jawa punya presisi yang tepat yakni kulon, kidul, wetan, dan ngulon sebagai penunjuk arah. Sekarang kan sudah bingung.”
Dulu Kanjeng Nabi pernah bertanya kepada penggembala kambing. Nabi bertanya, “Kapan srengenge muncul?, kapan srengenge rodok ngidul sitik? rodok ngalor sitik?”. Bukan berarti Nabi tidak mengetahuinya. Namun artinya ialah tawadhu’, Nabi mengetahui bahwa umatnya pinter-pinter, waras. Nabi menganggap bahwa manusia pasti punya pengalaman. Maka guru itu ialah yang punya ilmu dan laku. Ilmu pasti ada, namun kalau laku belum tentu. Ilmu itu ilmu kanthi laku. Wong Jawa akeh prihatine karo gelisahe. Dipikir-pikir opo to iki, mburine kepriye ya.
Di dunia pendidikan kurang lebih banyak media pembelajaran yang canggih akhirnya menyebabkan kompetensi guru menjadi kurang. Ceramahe kurang. Padahal warisan Nusantara itu lebih banyak bercerita, berkisah, dan diwariskan oleh anak-anak, dan dititipkan kepada anak supaya langgeng. Kemudian Gus Aniq bercerita tentang kisah tokoh Kancil, “Kancil itu kalau tidak salah adalah nama anak dari Pangeran Patengkus yang hidup dinabad ke-12 atau 14. Ibarat seperti Kyai desa yang punya anak, anaknya dikenal dengan nama Kancil dan dia dikenal sosok yang cerdik. Dia hapal Alquran, fikih, tasawuf, dan lain-lain”. Sekarang Indonesia tidak punya Kancil, malah saat ini Kancil diambil oleh Malaysia, dan diputar pada kartun anak.
Gus Aniq kembali menegaskan bahwa tembang bisa langgeng karena diwariskan kepada anak. Kenapa guru sekarang tidak begitu menggunakan model ceramah atau cerita?, karena dia tidak punya kompetensi untuk cerita. Akhirnya dipukul dengan media pembelajaran ala Barat. Karena dia tak mampu untuk bercerita dan akhirnya menggunakan jalur instant. Powerpoint. Maka kita bisa lihat, Mubaligh itu pasti bercerita ketika di pengajian. Kalau cerita pasti mudah melekat dalam ingatan. Makanya kita punya tembang, fable, folklore, serat, wayang, ketoprak, dan juga Alquran berisikan cerita-cerita. Saat ini sastrawan agak gelisah, bahwa kurikulum pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dibuang. Ini waras atau tidak?
Slamet donya, agama, akhirat, awake, awake sedulur kabeh dan itu yang penting. Karena mendoakan orang lain itu sudah diakatakan waras. Itu artinya menungso ngerti karo menungso. (Redaksi-Malik)