Jika sumpek adalah adegan dalam suatu cerita, episode keberapakah sumpek itu? Maksud saya begini, bisakah episode sumpek menjadi episode pertama, tanpa diawali oleh episode sebelumnya? Apa mungkin orang merasa sumpek tanpa ada “azbabun nuzul”nya? Sumpek dalam artian paling gampang adalah dengan mata pandang ruang. Jika sebuah ruangan yang idealnya dihuni oleh 9 orang, tetapi dihuni oleh 15 orang, melebihi kapasitas optimal, yang terjadi adalah sumpek. Sebaliknya, saat dihuni oleh tidak lebih dari 9 orang, yang terjadi adalah kelapangan.
Tetapi sumpek tidak melulu peristiwa kapasitas dan isi. Saat orang yang tidak terbiasa udud, kemudian nongkrong di warung kopi, adakalanya saat ditanya, “tumben mas..” jawabnya, “lagi sumpek neng umah”. Tentu yang dimaksud sumpek disini adalah peristiwa non ruang. Kalau hal itu peristiwa ruang, cukup keluar rumah, di halaman, ngisis di teras, sumpek akan ilang. Sumpek yang sering kita alami adalah kondisi dimana ada sesuatu yang tidak/belum terurai, ada masalah dan atas kondisi ketidakteruraian tersebut, kita mengambil posisi “bertanggung jawab”.
Kalau anda melihat polah ketua DPR anda, dan anda merasa ketua DPR anda ruwet (ruwet atau bermasalah itu anggap saja ada yang belum terurai) tetapi anda tidak mengambil posisi “bertanggung jawab” atas keruwetan ketua DPR anda, maka anda tidak mengalami sumpek. Anda tidak merasa perlu berkomentar, atau sedih atas perilaku ketua DPR Anda. Saat Anda pergi ke warung kopi, kemudian udud, meninggalkan sejenak keruwetan di rumah Anda karena merasa sumpek, itu tanda bahwa anda orang yang mengambil posisi “bertanggung jawab”. Nongkrong di warung kopi, rehat sejenak adalah tindakan “pen-jarak-an”, adalah usaha transendensi, mengambil posisi berjarak terhadap masalah.
Orang yang mengalami sumpek, harus punya kelincahan mengubah sudut pandang. Memotret secara long shoot dan close up secara bergantian. Orang yang tidak mempunyai kemampuan itu, sulit untuk mengambil posisi berjarak terhadap masalah. Berbeda dengan lari dari masalah, jika lari dari masalah, posisi mentalnya meninggalkan tanggung jawab. Saat sumpek karena terjebak dalam suatu masalah, rentan mengambil keputusan yang jernih. Biasanya emosi tidak terkontrol, tidak berfikir objektif serta grusa grusu.
Saat Muhammad, melihat keruwetan keruwetan di sekelilingnya, dan Muhammad merasa bersalah karena beliau mengambil posisi bahwa beliau harus punya peran dan bertanggung jawab untuk mengatasi keruwetan, yang beliau lakukan adalah ber-tahanuts di gua hiro. Saya mengasumsikan bahwa yang dilakukan Muhammad adalah menata hati, menjernihkan pikiran. Maka, kemudian beliau memperoleh pencerahan, membaca keruwetan dengan cara mengambil posisi berjarak tetapi sekaligus bertanggung jawab. Iqro’ adalah melakukan pembacaan yang tidak saja linier, tapi juga melakukan simulasi-simulasi, loncatan loncatan cara pandang, dalam bahasa jawa iqro’ adalah ngangen ngangen.
Itu menurut saya, menurut situ? Wallahu Alam