Saya jelas santrinya Cak Nun. Jadi saya sakit hati ketika melihat di media sosial orang-orang menjelek-jelekkan beliau. Saya percaya dengan beliau karena menurut penglihatan saya dia tidak punya kepentingan dunia, kepentingan yang saat ini diperebutkan oleh banyak orang, jabatan misalnya.
Kutipan kata-kata Cak Nun secara tidak sopan sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk memukul lawannya. Kata-kata itu digunakan hanya saat sepaham atau mendukung pendapatnya saja. Ok sebagai contoh, teman-teman NU sering mengutip kata-kata Cak Nun begini: “Kalau sudah pinter mengaku Barat, kalau sudah saleh ngaku Arab, lha Jawamu kamu taruh mana?” Kata-kata ini sering dikutip karena seirama dan mendukung visinya digunakan untuk memukul saudara se Islam yang ke Arab-araban.
Sebaliknya ketika Cak Nun mengkritik balik seperti yang beredar luas akhir-akhir ini, “Sing siji diidak-idak, dibubarke, sing sijine di kei duit 1.5 triliun. Iki jengengi politik adu domba.” Kata-kata Cak Nun ini juga digunakan oleh kelompok sebaliknya untuk menyerang NU. Betapa tidak sopannya dan sama-sama tidak punya adabnya kedua kelompok yang sedang tidak akur ini.
Cak Nun adalah manusia merdeka, dia merdeka mengkritik yang selayaknya dikritik. Resikonya ya, kata-katanya dimanfaatkan, dipenggal seenak udelle.
Jika mau memahami Cak Nun pandangan Cak Nun, pelajarilah beliau melalui tulisan-tulisan beliau di caknun.com. Sikap Cak Nun terhadap teman-teman FPI, HTI memang berbeda dengan teman-teman NU. Jika NU sering menganggap dua ormas ini sebagai musuh tidak demikian dengan Cak Nun. Menurut Cak Nun yang saya amini, mereka adalah saudara yang kebetulan mengambil sikap yang berbeda. Kita harus memiliki keluasan hati itu ngereh-ngereh saudara yang ‘beda’ itu. Mereka memang menjengkelkan, membid’ahkan, mengkafirkan. Sekarang menurut saya adalah saat yang tepat untuk merangkul mereka. Ketika mereka sedang terpojok maka kita coba ulurkan tangan kita untuk kembali masuk rumah, kita bersihkan, kita mandikan, kita ajak ngobrol, kita rangkul sebagai saudara.
Fokus kita terhadap kata-kata Cak Nun seharusnya pada kata ‘politik pecah belah’ Islam dengan cara ini, sebagian dinjak sebagian digendong adalah politik pecah belah. Yang satu dicap teroris radikal, yang lain dikasih jempol sebagai Islam toleran adalah pecah belah belaka yang pada kenyataannya melemahkan bergaining Islam di Indonesia.
Untung ada Cak Nun. Kita mau apa dalam berislam, berindonesia? Mau bertengkar terus? Mau hina menghina terus? Mau adu kuat? Jika kita berpikiran waras dan tidak mau menang sendiri maka sebenarnya yang kita butuhkan adalah sosok orangtua. Orangtua tidak dalam posisi bertengkar. Ketika anak-anak bertengkar, orang tua tidak di salah satu pihak. Jika orang tua membela salah satunya maka yang satu merasa tidak diperlakukan tidak adil. Maka fungsi orang tua sebagai penengah punah.
Fungsi penengah ini seharusnya dilakukan oleh pemerintah. Ketika kelompok-kelompok di negeri ini bertengkar, pemerintah harusnya tidak pilih kasih, tidak malah masuk ke dalam dan menjadi peserta konflik. Karena pemerintah tidak melakukannya, NU juga dalam posisi kuda-kuda ingin bertarung, apalagi HTI dan FPI maka kehadiran Cak Nun dibutuhkan negeri ini. Dia jewer semuanya tetapi juga mbombong semuanya. Orang tua adalah orang yang bisa bicara kepada semua anak-anaknya. Siapa yang hari ini mampu melakukannya? Menurut saya, Cak Nun benar-benar orangtua.
Konsekuensinya adalah terhimpit di tengah-tengah. Cak Nun hati orang tua. Berikan beliau kesabaran, kesehatan, dan panjang umur. Takdim Cak Nun. Santrimu menangisi.