Halaman sisi selatan Masjid Baiturrahman Semarang di pagi hari biasa dipakai untuk tempat parkir kendaraan roda empat. Sesekali saya melihat anak-anak bekeliaran sana-sini di pagi hari. Lokasi yang hanya selemparan jagung dengan Simpang Lima, membuat Masjid Baiturrahman selalu ramai dikunjungi. Ada yang menunaikan ibadah salat, duduk-duduk santai menghindari udara panas atau sekadar menikmati riuhnya suasana kota. Masjid adalah tempat paling gratis di dunia serba tergesa ini.
Di malam hari, lapangan sisi selatan Masjid Baiturrahman setiap tanggal 25 disulap menjadi tempat pengajian. Entahlah, kalian boleh saja tidak menyebutkan itu sebuah pengajian. Tepat pukul 20.00 WIB para pegiat Gambang Syafaat telah mempersiapkan tempat pengajian senyaman mungkin. Speaker, Soundsystem, kamera, tikar, bahkan sampai minuman dipersiapkan sebaik mungkin untuk menyambut tamu atau jamaah yang akan hadir. Mereka bahkan selalu mempersiapkan itu sebaik mungkin meski jamaah yang hadir hanya puluhan orang.
Para pegiat Gambang syafaat itu mungkin sudah dibilang gila. Mereka rela mengeluarkan segala tenaga bahkan materi untuk sebuah acara yang tidak ada untungnya sama sekali. Bahkan mereka sendiri saya yakin tidak tahu tujuan sesungguhnya melakukan ini semua. Menyiapkan tempat pengajian tanpa Kyai, Ustad, atau Habib. Semua boleh berbicara. Tak ada sekat apapun.
Bagi Om Budi Maryono, ini adalah sesuatu yang gila. Ada yang jauh-jauh datang dari Gresik, Batang, bahkan Tuban hanya untuk datang ke Gambang Syafaat, Semarang tanpa tujuan yang jelas. Hujan lagi. Ini kan benar-benar gila. Apa ada suatu zaman yang orangnya waras semua? Atau apa ada suatu zaman yang orangnya gila semua? Yang gila itu orangnya atau zamannya?
Kegilaan itu terletak pada manusia bukan pada zamannya. Manusia bisa gila tapi zaman tidak bisa menjadi gila. Zaman adalah waktu. Waktu akan terus berputar. Manusia akan semakin gila seiring zaman ini berputar. Apalagi di era media sosial sekarang. Jika merasa berbeda pendapat sering dianggap gila bahkan sinis. Jika ada yang membaca buku berhaluan kiri sering dituduh yang bukan-bukan. Dianggap PKI bahkan dianggap gila. Bukankah membaca buku sebanyak-banyaknya itu hal baik?
Om Buma, begitu Kang Ali Fatkhan memanggil Budi Maryono, mengatakan bahwa kita harus membuka pikiran kita selebar-lebarnya, membaca buku sebanyak-banyaknya bahkan silahkan membaca buku yang dianggap kiri atau kanan. Silahkan kita sering mendengarkan orang-orang yang tidak suka terhadap kita. Dengan cara itu kita bisa membuat saringan terhadap diri kita sehingga menimbulkan sikap kritis. Tapi jangan lupa terhadap bacaan dasar umat Islam yaitu Alquran. “Jangan sampai kita membaca banyak buku tapi tidak pernah mendalami Alquran itu sendiri”, ujarnya. Alquran adalah dasar dari segala hal.
Sesekali Om Budi Maryono menceritakan perjalanan maiyahnya dari tempat lain. Dari Suluk Surakartan tak lupa Om Budi menyampaikan apa yang pernah disampaikan Mas Agus Gugur Gunung. Orang Jawa ini memiliki etika yang baik. Orang Jawa melarang melakukan pernikahan di bulan Syuro atau Muharram. Ini bukan masalah mistis, namun orang Jawa menghormati bulan tersebut karena di bulan itu ada peristiwa-peristiwa suci agama Islam. Seperti meninggalnya Husein, cucu Nabi. “Orang Jawa itu Tepo Seliro”, tambah Om Budi.
Di Gambang Syafaat, durasi pengajian bisa sampai berjam-jam. Bahkan hanya adzan Subuh yang bisa menghentikan pengajian tersebut, Para jamaahnya juga tetap bertahan. Namun rutinitas kegilaan setiap tanggal 25 selalu disajikan para pegiat Gambang Syafaat. Setelah acara selesai, mereka akan kembali ke rumah masing-masing, beraktivitas seperti biasa, bekerja, kuliah atau berkegiatan apapun itu.
Ketika tanggal 25 datang lagi, mereka kembali mempersiapkan pengajian lagi. Orang-orang dari berbagai daerah berkumpul lagi. Orang-orang dari Gresik, Tuban, Batang, Kudus berkumpul lagi menikmati Maiyah Gambang Syafaat. Rutinitas itu selalu terus digulirkan tanpa pernah mementingkan urusuan kesehatan pribadi sama sekali, Situ Sehat?. (Redaksi-Priyo Wiharto)