Sebelum mempersilahkan seluruh narasumber yang telah berada di atas panggung, Mbah Nun memberikan pengantar, pengantar yang berisi idiom-idiom penting agar jamaah bisa menyerap apa yang akan disampaikan dan sekaligus memberi semacam landasan berpikir.
“Janganlah berdiam diri secara statis, baik diam dalam artian fisik, maupun pikiran. Anda harus bisa melakukan simulasi-simulasi secara komprehensif dalam memandang masalah. Saat Anda ditimpa badai, maka Anda harus bisa menghadirkan suasana sepoinya angin, sebaliknya saat Anda sedang menikmati sepoinya angin, Anda harus mampu merasakan badai”
Mbah Nun ingin memberikan panduan bahwa jangan sampai kita kebingungan saat kita dikelilingi masalah yang rumit, kita harus mampu mentakaburi masalah.
“Kita harus dinamis, dialektis, karena sebagaimana kehidupan, seluruhnya tidak pernah diam. Alam semesta bergerak terus dalam orbitnya masing-masing. Kita menjalani hidup harus dengan kelincahan/kelenturan dalam keseimbangan, mampu menthawafi segala hal. Kebenaran sejati tidak pernah ditemukan secara benar-benar sebab semua adalah tafsir”
Lagi-lagi Mbah Nun melontarkan metafor-metafor kepada jamaah dalam memberikan pengantar.
Qodho, Irodah, Amar
Manusia dan Jin adalah makhluk kemungkinan, tidak seperti malaikat, batu, gunung. Allah memberikan cipratan hak-Nya kepada manusia berupa nasib, takdir. Manusia bisa melakukan negosiasi, percintaan dialektis dengan pusat kehendak. Pusat kehendak mengatakan Kun, fa Yakun.
“Jadi, maka berlangsunglah!”. Kita semua sedang di dalam proses fayakun. Rencana Allah terus berlangsung, sampai hari ini.
Dalam proses Fayakun tadi, Allah memberikan qodho kepada makhlukNya. Wa idza qodho amron, qodho itu semacam potensi dasar (default). Setiap makhluk diberi potensi dasar yang sesuai dengan takaran yang diinginkan Allah.
Di luar qodho, Allah punya irodah, “wa idza aroda syaian”. Semacam rentang kejadian yang diizinkan, skala dinamis dari makhluk. Triger-triger, peristiwa-peristiwa yang saling mempengaruhi. Irodah bisa semacam skenario, yang melibatkan beberapa proses, membutuhkan momentum-momentum dan hulu ledak.
Berbeda dengan qodho dan Irodah, yang dititipkan kepada makhluk, Allah dalam proses fayakun tadi punya semacam hak veto, perintah yang tidak bisa ditolak. Amar menjadi semacam ketok palu dalam proses takdir.
Robbinnas, Malikinnas, Ilahinnas
Untuk mempertajam pemahaman jamaah, Mbah Nun mengulangi lagi tadabbur surat Annas. Qul a’uudzu birabbinnaas, Malikinnaas, Ilaahinnaas. Di dalam kalimat tersebut terkandung metode sosial, manajemen silaturahim.
Defaultnya adalah Anda harus menggunakan prinsip rububiyah, Robbi. Prinsip dasarnya adalah menyayangi, memaklumi, try to understand. Anda memahami sesuatu yang sebelumnya belum Anda pahami, di apresiasi dan di “mong”. Anda jadi apapun, jadi presiden, jadi Ayah, jadi ketua RT, yang pertama-tama Anda lakukan harus prinsip Robbinnas, prinsip keibuan. Anda member pengarahan.
Kalau dengan robbinas, tidak membuat anak buah, rakyat, berlaku baik sebagaimana ia harus berlaku. Anda terpaksa memakai malikinas, yaitu dengan kekuasaan/wewenang. Anda memberi perintah.
Dan terakhir, dengan metode ilahinnas, Anda memberi hukuman dalam wewenang dan kekuasaan yang anda miliki. Kepada anak, Anda pertama harus memberi perhatian, pengarahan, kemudian memberi perintah jika dengan pengarahan belum berhasil, dan terpaksa dengan kekuatan/hukuman.
Di Maiyah, yang dikedepankan adalah tarbiyah/robbinnas, kepengasuhan.
Sabil, Syariah, Thoriqoh, dan Sirath
Dalam Islam kita terminologi jalan digunakan beberapa istilah; Sabil, Syariah, Thoriqoh dan Siroth. Sabil itu jalan besarnya, arahnya saja. Ud’u ila sabili Robbik, Allah memanggil pertama kali hanya dengan menunjukan arah. Baru kemudian teknisnya, regulasinya, jalan yang telah terdapat rambu-rambunya, itulah yang dimaksud syariah. Jadi Syariah itu jalan menuju sabil. Sedangkan thoriqoh adalah cara memasuki jalan, ada yang pakai motor, ada yang pakai mobil, pakai sepeda. Termasuk cara mengemudinya, kapan ngegas kapan ngerem. Panduannya jika pikiran dan rasa Anda yang bekerjasama, maka melakukan perjalanan di jalan yang tersedia menjadi seimbang.
Kemudian apa siratalmustaqim, ketika Anda sudah mengerti arah perjalanan, menempuh jalan, anda mengerti haluan dan rambu-rambu, saat Anda sampai ke tujuan akhir itulah sirath. Sirath itu Presisi atau titik paling inti dari kebenaran dan ridho Allah baru akan Anda ketahui di ujung jalan. Maka setiap hari kita mengucapkan ihdinassiratol mustaqim, itu diucapkan oleh orang yang belum tahu persis sirath. Kita selalu minta petunjuk, bahkan saat kita sudah merasa dijalan dan arah yang benar, agar tujuan kita benar-benar sampai pada ketepatan dan presisi yang dikehendakai Allah.
Mbah Nun di akhir uraiannya, mengatakan bahwa apa yang disampaikannya pun sebatas tafsir. Prinsip tafsir adalah kebenaran tidak ada yang di dirimu, melainkan dari Tuhanmu. Maka berendah hatilah, jangan membawa-bawa kebenaran, tapi bawalah kesalehan.
Malam itu adalah malam yang istimewa, Gambang Syafaat kedatangan tamu. Mbah Nun memperkenalkan Bu Ann, seorang Professor Etnomusikologi dari Universitas William and Mary, Virginia, Amerika Serikat. Di samping Bu Ann, ada Presiden Jancuker, Sujiwo Tedjo. Pak Toto Rahardjo, Kiai Muzammil juga bergabung disamping tentu pendamping setia Gambang Syafaat yakni Habib Anis, Pak Ilyas, Pak Budi Maryono, dan Pak Prof Saratri.
Mbah Nun mempersilahkan pertama kalinya kepada Bu Anne, untuk performance. Bu Anne mengatakan “Kami menilai musik tidak ada herarki, tidak ada yang paling indah. Biasanya kalau masuk ke sekolah musik pasti memproduk satu piringan musik dan mereka bilang kepada seluruh siswa, ini musik yang paling indah. Mungkin itu musik dari Eropa, mungkin karawitan. Tetapi kami dari etnomusikologi kami tertarik pada musik pada sifat suatu masyarakat. Itu bisa musik yang halus dan kasar, itu bisa musik keraton tetapi juga bisa musik anak. Kami tertarik melihat dan hubungannya dengan masyarakat tanpa menilai musik yang satu lebih baik dengan musik yang lain. Saya meneliti tentang musik Arab dan disini di Indonesia saya mendengar di mana saja musik Arab, di radio, masjid, di kampung-kampung. Saya meneliti tentang seni musik Islam, peran perempuan dalam seni baca Al-Quran. Saya mengalir saja dan tidak tahu di mana ujungnya. Dan sampai akhirnya ketemu dengan Pak Emha Ainun Nadjib.”
Sujiwo Tedjo merespon Bu Ann dan paparan dari Mbah Nun, Sujiwo Tedjo menuturkan, “Saya itu dibentuk dari bukunya Cak Nun yang berjudul Indonesia Bagian Dari Desa Saya. Kamu baca atau tidak, buku itu bagus. Beliau kaya metafor. Dia bisa berbicara dengan siapa saja. Karena memang dari kecil bergaul dengan banyak orang, dari pejabat hingga bajingan. Di Jogja dan di Jombang. Dalam bicara Cak Nun itu tidak pernah bisa tersudut. Kemudian dia melanjutkan tentang Tafsir. Menurutnya memang tidak ada kebenaran yang mutlak tetapi harus ada tafsir yang diyakini untuk mantap melangkah. Ketika kita sudah melangkah di kehidupan kita harus bersikap. Memang bahasa diciptakan oleh manusia untuk mempermudah tetapi sekaligus belibet. Karena bahasa itu juga menjebak. Misal ada kata-kata ‘tidak ada kebenaran di dunia’ lha ini apa? Makanya orang perlu musik.
Performance Sujiwo Tedjo menyanyikan lagu Anyam-Anyaman dan Titi Kolomongso dan diteruskan oleh petikan Bu Anne. Kolaborasi spontan, Wakijo dan The Ranu, memeriahkan suasana malam yang syahdu. Diselingi guyonan antara narasumber membuat kegembiraan seakan tanpa rem, gelak tawa, dan senyum memancar dari jamaah.
Tafsir, Kuasa Pengetahuan
Mbah Nun memberikan kesempatan kepada Pak Toto Rahardjo untuk melakukan semacam workshop pemikiran. Pak Toto Rahardjo yang dikenal dengan sebutan Kiai Tohar memulai memantik-mantik dari apa yang telah diurai diawal, tentang tafsir yang rigid, tentang keniscayaan mengambil satu tafsir untuk pegangan, tradisi tadabbur, juga tentang memandang peristiwa kekinian. Kiai Tohar mengajak jamaah menyikapi informasi yang terdekat semisal peristiwa 212, Ahok, Bom, dan seterusnya, kira-kira ini menurut Anda itu apa? Anda ambil satu hal, Anda bersikap apa terhadap isu tersebut. Itu bisa menjadi bahan kita menyikapi. Wong Maiyah iku kudu piye?
Pertanyaan pertama datang dari Anggoro Kasih. Ia menanyakan, ”Apa sih yang kita pahami tentang persatuan dan kesatuan Indonesia, siapa yang disebut Bangsa Indonesia, dan janjane awake dewe apa kita bisa mengaktualisasikan atas nilai yang ingin kita tafsirkan?”
Respon kedua dari salah seorang jamaah, ia mengatakan “Perut tidak menuntut jenis makanan, perut hanya menuntut jenis makanan yang harganya seribu rupiah, tapi lidahlah yang mendorong kita untuk membeli makanan dengan harga seratus ribu, sejuta, dan lain-lain. Apakah fenomena ini adalah by design, ataukah kita umat Islam maklum dan mafhum dan wajar bulan puasa pengeluaran lebih banyak. Jika itu sebuah masalah bagaimana solusi yang bisa ditawarkan? Faktanya impor barang konsumsi justru naik saat bulan Ramadlan”
Jamaah yang bernama Ozi memberikan statement, Indonesia bukanlah negara hukum, sebab lembaga ekskutif, yudikatif tidak melaksanakan tugas dan wewenangnya, justru yang terjadi adalah perkawinan antara pengusaha dan politisi yang melahirkan oligarki yang justru mensahkan, mengformalkan kejahatan. Bagaimana sikap kita terhadap peraturan legalistic yang nyata-nyata beraroma oligarki tadi? Ozi juga mengulang pertanyaan tentang kedudukan filsafat dalam agama.
Mahasiswa UIN Walisongo menanyakan bagaimana dan apa yang harus dipegang dari berbagai tafsir yang ada di lingkungan kampus, karena ada beberapa jenis seperti hermenuatik, ada yang literal. Ataukah ikut Cak Nun yang justru memberi kemerdekaan.
Penanya selanjutnya ingin dijelaskan tentang sedulur papat lima pancer, apakah ada kaitannya dengan qorin? Dan yang terakhir adalah pertanyaan tentang apakah alfurqon, diartikan revisi total ataukan bagaimana?
Pak Kyai Tohar merespon, kalau kita bicara tafsir akan panjang sekali, maka kemudian di Maiyah ditekankan tadabbur. Menurut Kiai Muzammil, perintah secara verbal di Al-Quran adalah tadabbur. Kitabun anzalnahu mubarokun liyatabbaru ayatihi, sedangkan tafsir itu muncul karena kebutuhan akademik. Tafsir membutuhkan ilmu alat (nahwu shorof balaghoh dsb), dan ilmu alatnya muncul setelah zaman Nabi. Kalau ada tafsir Ibnu Abbas sebenarnya orang setelah masa Ibnu Abbas mengumpulkan pendapatnya Ibnu Abbas.
Kebenaran adalah Benih, Buahnya Kesalehan
Mbah Nun menengahi bahwa jangan mendikotomi antara tadabbur dan tafsir. Tadabbur itu kepalanya, tafsir adalah kelanjutan/kebutuhan karena perintah tadabbur. Tafsir silahkan dilakukan yang penting kembali ke semangat tadabbur, yakni keluarannya, outputnya adalah rahmatan lil alamin. Munculnya Madzhab itu tidak diinginkan oleh pendirinya, persis seperti Gus Dur, yang menginginkan berdirinya gusdurian bukan Gusdur tetapi orang-orang setelah Gus Dur. 14 Abad Islam menimbulkan kotak-kotak, karena tafsir lupa atas prinsip awalnya bahwa yang terpenting adalah outputnya yang berupa akhlak. Maiyah selalu menekankan tentang kemerdekaan dan Sholawat. Karena tidak ada yang mutlak benar atas pendapat kita, kita memohon syafaat Kanjeng Nabi, dan tentu agar Allah ridha. Hati adalah presiden, aqal adalah perdana menterinya, jangan menomorsatukan tafsir dari pikiran, tapi tetep harus melibatkan rasa.
Mbah Nun menekankan untuk tidak anti tafsir, bahwa mblenger ya jangan ditelan semua. Kebenaran itu input (bekal, benih), outputnya (buahnya) adalah kebaikan, kasih sayang, kearifan. Kebenaran itu di dapur, tidak perlu dibawa dan ditonjol-tonjolkan. Kebenaran untuk menjadi Kesalehan, butuh strategi dan simulasi. Kesalehan adalah hasil proses yang mendalam dan presisi akan kemanfaatan yang tanpa menimbulkan kemudhorotan. “Saya tidak begitu setuju dengan metode dakwah yang menekankan kebenaran Islam dan menunjukan kesalahan yang bukan Islam, sebab itu menimbulkan permusuhan” tutur Mbah Nun.
Mbah Nun menekanan untuk tidak membawa tafsir kebenaranmu kepada orang lain, jika pun dalam pergaulan terpaksa bicara kebenaran maka jangan lupa bahwa orang lain juga berhak untuk tidak sependapat dengan kita, “Faman sya’a Fal yukmin Faman Sya’a Fal yakfur” Tuhan saja memberi kemerdekaan dan tidak memaksakan, hanya menawarkan, karena sebenarnya jika tawaran Tuhan ditolak yang rugi bukan Tuhan melainkan manusianya. Mbah Nun membesarkan hati jamaah, dan berdoa agar jamaah maiyah menjadi kekasih Allah karena keikhlasannya mencari ilmu dan menyebarkan kebaikan-kebaikan, sebab jika Allah mengangkatmu menjadi kekasih, saat engkau di dholimi, saat engkau sedih, Allah lah yang akan turun langsung membela kekasihnya. Indonesia tidak bisa diatasi dengan cara bumi, Indonesia hanya bisa diatasi dengan campur tangan langit, dengan pertolongan Allah, dan strateginya adalah merangsang agar Allah menjadi kekasihmu. Wa ma romaita idz romaita walakinnalloha roma, kalau ada kejahatan datang kepadamu, malaikat akan menunggangi kejahatan itu sehingga mentranformasi kejahatan tersebut menjadi berkah dan kebaikan.
Kepekaan menyerap intisari
Pak Kyai Tohar meresume beberapa poin-poin kepada jamaah, memberikan penekanan-penekanan. Bahwa tidak ada yang netral, pasti terjadi pemihakan, yang penting adalah memihak kepada siapa. Maiyah sebagai majelis ilmu juga sebenarnya berpihak, berpihak kepada nilai-nilai. Pendidikan tidak boleh merusak kedaulatan yang diberikan oleh Sang Pencipta. Kritis dan Vokal berbeda, banyak orang hanya menjadi vocal tetapi tidak kritis. Pak Kyai Tohar melemparkan wacana sekularisasi yang pernah diusung oleh Cak Nur, saat kita tidak bisa membedakan mana nilai Islam dan mana yang Arab. Mbah Nun menjelaskan bahwa ada perbedaan antara sekularisasi dan sekularisme. Sekularisme itu gagasan dimana agama dipisahkan dengan negara, ada batas yang tegas mana wilayah negara mana wilayah agama. Sekularisasi itu semacam demitologisasi, upaya untuk sensitive memilah dan menemukan mana yang profan mana yang sakral. Contohnya kalau ada pohon lebat, orang menyangka pasti angker, padahal ada pemilahan, pohon ya pohon, angker ya angker, bukan berarti tidak percaya angker, tapi tidak mesti bahwa pohon lebat itu angker. Cak Nur dulu menggagas upaya untuk memilah dan sensitive dalam memandang mana yang “dari Tuhan/ilahiah” dan mana yang “respon keberagamaan”. Mbah Nun memberikan penjelasan pentingnya kepekaan, bahkan tidak menyarankan untuk belajar kekebalan, sebab dengan kepekaan rasa itulah kita bisa menemukan yang tidak ditemukan orang lain. Kebal kepada kebatilan menjadikan kita bebal.
Giliran selanjutnya Pak Kiai Muzammil mengatakan bahwa beberapa istilah di bulan puasa sedikit kurang pas, perbanyak ibadah itu kurang tepat, lebih tepat adalah menekankan sisi kualitasnya. “Ibadahlah yang tenanan!”. Qur’an harus dibaca tidak sekedar disuarakan, dibaca itu maksudnya adalah ditadabburi, dicari nilai-nilai dan maknanya. Memungkasi pernyataan Kiai Muzammil, Mbah Nun memberikan tips, ada orang yang terbatas untuk bisa membaca Qur’an, maka Mbah Nun ambil shortcut untuk sampai pada puncak Qur’an, yakni iqro’ Muhammad, menurut Mbah Nun perintah iqro’ tidak cuma berlaku kepada Nabi Muhammad, kalau Nabi Muhammad diminta iqro’ “kahanan” dan “wahyu”. Perintah iqro’ kepada kita adalah membaca Muhammad, dengan membaca sirah Rosul, kita bisa menemukan puncak Qur’an, sebab Muhammad adalah Qur’an aktual.
Pukul 03.00 wib, menjelang subuh Gambang Syafaat bulan Mei ditutup dengan dengan musik kolaborasi antara Bu Anne, Mas Wakijo, dan Sujiwo Tedjo. Dan dipuncaki doa oleh Kyai Muzammil. Semoga apa yang kita dapatkan bermanfaat dan berkah. (Redaksi: Em Ali Ef & Maulana Malik Ibrahim)