Tumpah ruah sudah kenikmatan-kenikmatan yang dimiliki manusia Indonesia. Sandang, pangan dan papan merupakan trilogi yang tak saling memisah. Di Indonesia tercinta, kita bisa nyandang bermacam-macam model dan pernak-perniknya. Kita boleh, tak jadi persoalan, memakai pakaian compang-camping, full-dress, kombor, cekak, bahkan setengah dada atau celana pendek saja. Hitunglah nikmat sandang yang ada di negeri kita. Kita ini diperbolehkan total meniru dan memakai pakaian bangsa lain.
Di zaman post-modernisme dan post-kolonialisme sekarang ini, orang akan lebih suka kaget terhadap sesuatu yang tampil baru. Di saat lagi gencar film korea, semua orang akan berpakaian ala korean hingga berlaku korean. Popularisme membentuk anugerah kolektif pada penonton yang taat.
Tak hanya korean-pop, pada saat satu stasiun televisi menayangkan film India, di saat itu pula produk persuasif mulai mengisi jaringan akal komunal manusia Indonesia. Sehingga, Indonesia sangat berkenan menjadi “shohibul bait” oleh acara apapun, dan laris.
Indonesia menjadi ladang subur untuk bercocok dan dicocoki. Saya yakin dulu Belanda masuk ke Indonesia dalam rangka piknik dan rekreasi. Dalam bahasa estesisnya, tamasya atau jalan-jalan. Tahulah bahwa negeri barat tak seperti Indonesia yang hanya memiliki dua musim dan waktu yang seimbang. Maka, Belanda bertamasya, mampir, dan merasakan nikmatnya singgah di Indonesia. Mereka nikmat dengan suguhan wedang jahe, jamu, pedasnya sambal, aneka godhogan dan gorengan, dan cantiknya perempuan Indonesia.
Saking merasa krasan dan nyaman, muncullah ide buruk dan insting hewani yang ingin memangsa dan menjajah. Tapi, shohibul bait sangat baik hati, masih tetap saja menyuguhi dan melayani. Kata Cak Nun, bangsa Indonesia mempunyai rasa sangat tidak tega terhadap bangsa lain. Kita tidak tega melihat ada orang asing ‘ngarit’, ‘ngayak’ beras, ‘ngonthel’ becak, dan seterusnya. Justru bangsa Indonesia selalu ‘minarakke’ orang lain dan melayaninya. Maka, satu-satunya bangsa yang lebih mengetahui diri adalah bangsa Indonesia. Orang yang mengetahui (memahami secara komprehensif) dirinya, maka ia pun mengetahui Tuhannya.
Kesetiaan menjadi diri bangsa Indonesia terukur dengan sikap dan tatacara keadatan manusia Indonesia itu sendiri. Bukan bagaimana mereka diatur oleh kesatuan sikap doktrinal bangsa lain. Bangsa yang unggul adalah bangsa yang mengerti dirinya. Kesetiaan terhadap makanan saja tak bisa disaingi. Kita boleh beradu, walaupun sebenarnya tak pantas, dengan negara lain apakah ada negara yang menghasilkan kerupuk seperti Indonesia? Ya, hanya di Indonesia saja yang dikenal sebagi “Negara Sejuta Kerupuk”.
Saya agak ngilu, akhir-akhir ini, dengan kemunculan slogan kolot yang mempublikasikan tentang kesetiaan NKRI. Teks kesetiaan bertebaran di medsos, iklan, sponsor dan baliho-baliho kota. Memang kesetiaan itu harus terus-menerus bergelora. Tetapi, tidak sempit pada slogan baliho “Setia Megawati, Setia NKRI”. Janganlah satu kesetiaan abstrak itu mengaburkan pada kesetiaan yang hakiki.
Jangan sampai kita kehilangan ukuran kesetiaan. Matriks kesetiaan sudah pernah dicetuskan oleh Kiai Hasyim Asy’ari, yakni “Hubbul Wathon Minal Iman”. Jadi, ukuran yang tepat untuk menggiring pada kesetiaan negara adalah iman kita. Salah-salah malah muncul plesetan “Hubbul Wadon Minal Iman”. Akhirnya, jadilah seperti itu.
Pembacaan yang salah akan menggiring pada pemahaman yang salah pula. Itulah mengapa Al-Quran untuk ber-qiro’ah tidak hanya ber-tilawah. Membaca NKRI sama saja dengan membaca diri. Jatidiri bangsa Indonesia lahir dari ‘urf bangsa. Qiro’ah memiliki makna pembacaan yang terus menerus dan progresif. “Ro’ro’a” adalah bagian dari pembacaannya, yakni bergerak terus menerus melewati dimensi pemahaman dari pelbagai pandangan.
Artinya, kesetiaan kita terukur dari pembentukan jatidiri kita. Jatidiri kita berawal dan diawali oleh pembentukan Tuhan yang menyatu dalam diri kita. “Iqra’ bismi rabbikalladzi kholaqa”. Hanya Tuhan-lah yang maha menciptakan dan menjadikan.
Isim-isimnya sudah termanisfestasi dalam Pancasila. ‘Ghoyah’ atau visi-nya adalah keadilan. Tentu cara baca kita adalah jika keadilan belum tercapai, maka bisa dipastikan ada yang tidak tuntas dengan kerakyatan. Kerakyatan belum tercapai, ada yang tidak tuntas dengan persatuan. Persatuan belum tercapai, ada yang tidak tuntas dengan kemanusiaan. Kemanusiaan belum tercapai, berarti ada yang tidak beres dengan ketuhanan. Ketuhanan menjadi patron kuat dan menjadi hulu oleh hilir berikutnya. Ketidakberesan berketuhanan tentu berdampak pada anasir selanjutnya. Cukuplah ukuran kesetiaan NKRI dicapai dari kesetiaan terhadap Pancasila, bukan kesetiaan kepada individu yang terkait.[]