Memasuki area pengajian Gambang Syafaat, area Masjid Raya Baiturrahman Semarang jammah bertanya-tanya, ada apa dengan Gambang Syafaat kali ini (25/08)? Ada kain putih terhampar disorot lampu kuning temaram. Ada bayang-bayang wayang. Tiga tokoh wayang berdiri tegak, ia adalah Dewa Bayu, Dewa Indra, dan Bima.
Selalu ada yang beda dalam majlis maiyah nusantara Gambang Syafaat. Untuk pertemuan kali ini yang membuat beda salah satunya adalah penampilan wayang berkolaborasi dengan teater dari teater Majlis Gugur Gunung Ungaran. Mereka mementaskan lakon berjudul “Percakapan jabang bayi kepada diri”.
Pementasan dimulai dengan suara Ki Dalang Jion, “Bumi gonjang ganjing langit kelap-kelap katon…..” Pementasan ini merupakan elaborasi, untuk wayang mengambil tema Bima Suci. Cerita dimulai dari kegelisahan Bima melihat keadaan Negara Ngamarta yang terjadi banyak peristiwa bencana, pageblug. Sang Bima berkeputusan untuk naik ke kahyangan. Ia ingin mengadu mencari solusi mengatasi pageblug yang tidak kunjung selesai. Bima ke kahyangan untuk bertemu bapaknya, Dewa Bayu. Dewa Bayu berkata kepada Bima bahwa yang menyebabkan pageblug itu adalah tingkah manusia sendiri yang sudah tidak mentaati paugeran lima.
Pementasan ini adalah dialog antara dua tokoh. Di dalam diri manusia terdapat dua sisi, sisi yang tetap dan sisi yang berubah. Sisi yang tetap ini nurani, hati kecil yang selalu mengingatkan apabila sisi yang lain ini mau berbuat macam-macam meninggalkan ke-illahi-an. Oleh Teater Gugur Gunung ini secara ciamik tokoh ini diberi nama Jabang Bayi dan Jabang Warna. Jabang Bayi adalah nurani sedangkan Jabang Warna adalah diri yang tumbuh dan berubah-ubah. Dalam pementasan itu Jabang Bayi adalah Dewa Bayu dan Jabang Warna adalah Bima.
Di dalam diri manusia terdapat nurani dan nafsu. Jika nurani tetap maka nafsu itu seringkali tergoda dengan apa fenomena-fenomena dunia. Kedua sisi dalam diri ini sebenarnya satu dan keduanya pada awal kelahirannya sudah bersaksi, bersyahadat dan mengesakan Allah, juga bersaksi bahwa hanya Allah tempat bergantung dan memohon pertolongan dan Nabi Muhammad adalah sebenar-benarnya utusan.
Jabang Warna tumbuh menjadi remaja ia jatuh cinta kepada lawan jenis, jabang bayi mengingatkan jangan sampai kecintaanya kepada lawan jenis itu melebihi atau malah melupakan Allah. Jabang Bayi mengingatkan untuk selalu ingat perjanjian di awal sebelum dilahirkan.
Si Jabang Warna tumbuh ketemu fenomena kebendaan, ia dipinjami kuasa berupa harta, jabatan, dan kenikmatan lain. Ia merasa itu semua miliknya. Lagi-lagi jabang bayi mengingatkan untuk kembali mengingat perjanjian awal dengan Tuhan. Jabang Warna tidak terima, janganlah sedikit-sedikit mengingat.
“Mengapa harus sebentar-sebentar mengingat?” kata Jabang Warna.
“Karena sesuatu yang kemudian menjadi lama hanya dimulai dengan awal yang sebentar. Kita lupa secara berangsur-angsur dan lama karena pernah ada satu hal singkat yang kita biarkan tumbuh dan melenakan. Bisa tentang kepandaian, bisa tentang ketenaran, bisa tentang cinta kepada fatamorgana dunia”
Harta benda memang melenakan dan menginjak hati nurani. Hal itu bisa didengar dari dialog ini: Wahai.. kini lihatlah aku. Sebagai orang yang sukses merintis dan meniti karier. Aku punya kekayaan, punya pengagum, punya anak dan istri yang mengagumiku pula, punya yayasan untuk para terlantar. Itu karena aku adalah teladan kehidupan, bisa bangkit dari keterpurukan, dan tidak cengeng sedikit-sedikit sambat sama Tuhan”.
Tetapi lagi-lagi merengek saat terpuruk dan keterpurukan, kegagalan adalah cara Tuhan untuk memanggil untuk kembali ke nurani.
Pementasan keren ini didukung Kang Jion sebagai Jabang Bayi, Dian rogo sebagai Jabang Warna, Khafid membaca narasi, untuk lagu pengiring diisi oleh Kang Nugroho, dan audio video oleh Koko Nugroho dan Dika Suseno. (redaksi/hjr)