Jangan buru-buru menduga bahwa tulisan ini berbicara mengenai sesuatu yang supranatural. Saya akan meneruskan cerita ini kepada Anda semua, sebab menurut saya cerita ini akan memberi keluasan cara pandang Anda. Pada suatu ketika, saat sebuah majlis pengajian akan digelar, hujan tidak henti-henti turun. Ada rasa was-was di benak para penyelenggara, bagaimana tidak, hari itu pengajian spesial, sebab tokoh utama pengajian telah hadir. Sebenarnya, bukan masalah tokoh utamanya, tapi bagi para penyelenggara, satu-satunya andalan ‘amal sholeh’ mereka adalah menyelenggarakan pengajian itu. Semakin banyak yang bergembira, tentu semakin puas dan semakin penyelenggara punya ‘rasa plong’. Jadi para penyelenggara sebenarnya punya ambisi pribadi juga, yakni semacam nyicil tugas keummatan.
Maka saat hari mendung, beberapa penyelenggara komat-kamit melafalkan apa saja yang mereka bisa, demi agar pengajian bisa sukses dan memberi kegembiraan kepada khalayak. Saya sih yakin, melihat begron dari penyelenggara, tidak ada potongan do’anya mujarab, tapi disaat yang sama, saya juga yakin ada jamaah/pengunjung yang melafalkan do’a yang sama, yakni do’a agar hujan reda. Dan bisa jadi, Tuhan melihat do’a salah satu jamaah yang akan hadir. Dan ajaib memang, hujan reda. Saat hujan reda, salah satu penyelenggara berbisik “Ampuh men sampeyan”. Saya hanya mesem, dalam hati saya bergumam ‘mbuh Iki mergo doane sopo, sing penting faktanya hujan berhenti turun’.
Saya memberi label perangkat Tuhan, kepada orang yang melalui dia, Tuhan menjawab permohonan orang banyak. Dia boleh siapa saja, bahkan bisa jadi bukan siapa-siapa. Sebab memang Tuhan punya kebebasan memilih siapa yang akan dijadikan ‘perantara’, apa yang diplot sebagai ‘wasilah’, bagaimana cara/mekanisme ‘sunnatulloh’Nya. Bentangan kemungkinan begitu luas, kita hanya bisa menduga-duga sebagaimana tradisi tuhan yang kita pahami. Kadang-kadang kita berposisi sebagai orang yang sedang diajak berdialog dengan kemahakuasaan Nya , disaat yang lain justru kita mungkin diperkenankan menjadi ‘khalifah tuhan’ menjadi perangkat Tuhan dalam sebuah adegan tertentu.
Saya pernah mengalami hal yang ‘ndilalah’, Ada seorang yang karena keihklasannya, saya mintai tolong untuk menemani seorang kiai. Disaat telah selesai orang tersebut menemani sang kiai, saya minta kepada panitia untuk memberi uang bensin, panitia menyiapkan uang sejumlah 200ribu. Suatu hari, setelah peristiwa tersebut, orang yang menemani sang kiai, dengan penuh keyakinan, berkata, ‘kiai itu ngrejekeni’ setiap saya menemani beliau, ndilalah kerjaan yang saya tinggal yang semestinya menghasilkan uang semisal 50 ribu, dilipat gandakan. Sebagaimana tempo hari, saya bergegas mengiyakan menemani kiai, padahal saat itu saya sdh ditawari bekerja harian, dengan upah 100 ribu, ajaibnya saya diberi amplop oleh panitia persis 200 ribu. Peristiwa itu bisa kita maknai saat itu Tuhan sedang berdialog dengan orang yang menemani sang kiai, memberikan informasi bahwa khidmatlah kepada sang kiai nanti jatah urusan-Ku. Disaat yang sama panitia adalah ‘khalifah/perangkat’ Tuhan, untuk menjalankan proses tersebut.
Beruntunglah orang yang diajak berdialog dengan kemahakuasaan Tuhan, jangan lupa juga peran perangkat tuhan, sebab dia tidak kalah penting. Saat pengajian yang mendung, bisa jadi Tuhan sedang berdialog dengan tokoh utama pengajian, bisa jadi sedang berdialog dengan penyelenggara, bisa jadi sedang berdialog dengan salah satu jamaah, semua berhak merasa sedang diajak berdialog, tapi kita tetep tidak tahu pasti.
Saat pengajian, salah satu penyelenggara diam-diam memasukan uang 50.000 ke kotak amal sambil wirid ‘Bismillahi, Masya Allah, Kun fa yakun’. Entah kerjaan siapa, setelah muter,di dalam kotak amal ada uang 500.000 dibungkus dengan karet gelang. Penyelenggara tidak boleh GeEr bahwa dia sedang di sapa Tuhan, tapi jelas Tuhan telah mengirimkan perangkat-Nya. Kali ini Tuhan Maha Cash…dan beberapa orang sujud syukur, sujud takjub atas peristiwa ini, tanpa tahu siapa yang diutus Tuhan untuk nge-cash doa salah satu penyelenggara.