Tersebutlah dua orang karib bernama Wisman dan Wislok yang dahulu sama-sama orang desa. Karena keharusan sejarah keduanya merantau ke sebuah kota besar, sebuah kota dengan kelengkapan kemajuan zaman yang melimpah. Kedua karib diperkenankan oleh Tuhan menikmati semua kemewahan kemajuan zaman, baik teknologinya, peralatan modernnya, maupun produk budayanya (gaya hidup modern).
Petualangan mereka terpaksa berhenti, keduanya pulang ke desa. Dengan izin Allah, Wisman dan Wislok menjadi lurah di tempat tinggalnya masing-masing. Tentu sebagai pemimpin masyarakat kedua karib melakukan perjuangan melakukan perbaikan. Setidaknya perbaikan versi sang lurah. Wisman begitu terkesima dengan pengalamannya di kota. Wiman membangun desanya dengan blueprint bahwa desanya harus mengejar ketertinggalan dengan kota. Di pikiran Wisman desanya harus dientaskan dari segala hal yang berbau kuno dan warisan zaman dulu.
Maka segala program desa adalah mengkopi dari “kesadaran orang kota”. Satu kata dari Wisman, desa harus maju melesat mengejar zaman. Lain halnya denga Wislok ternyata dia sama sekali tidak tergiur dengan kemajuan zaman bahkan cenderung resisten (mengalami gejolak penolakan). Baginya seluruh produk kemajuan zaman baik teknologi maupun budaya modernnya tidak sesuai dengan masyarakat desa. Justru Wislok merasa masyarakatnya harus disterilkan dari pengaruh kemajuan zaman. Sebab untuk kembali ke masa lalu sepertinya sulit.
Maka seluruh program desa mengembalikan desa ke kehidupan tradisional. Ternyata keduanya gagal, saat pemilihan lurah untuk kedua kalinya Wislok dan Wisman tidak dipercaya lagi oleh masyarakatnya. Perjuangan mereka dengan program-program yang diusung tidak mendapatkan tempat di hati masyarakatnya.
Saat itulah keduanya bertemu kembali. Pertemuan itu terjadi saat mereka sowan ke guru mengaji mereka yang bernama Ki Ageng Syafaat. Setelah mendengar kedua muridnya, Ki Ageng Syafaat berkata. “Ngger, manusia itu dalam menjalani hidupnya hanya melintasi lingkaran, Innalilahi Wa inailaihi Rojiun. Arah perjalanan adalah maju ke depan untuk sekaligus berarti kembali. Maju itu jika terbangunnya paseduluran, tidak saling menjatuhkan dan dipersatukan dengan tauhid. Yang terpenting bukanlah tradisi dan modernnya, yang terpenting adalah nilai dan kebersamaan dengan Allah, Ma’iyatullah.”
Hari-hari ini kita melihat dua kecenderungan sebagaimana diwakili oleh pribadi Wisman dan Wislok terjadi di masyarakat. Maiyah bukanlah keduanya. Maiyah adalah pejuang yang tersisa (al baqiyyat al baaqiyah) bagi Indonesia.
Kita kutip tulisan Syaikh Nursamad Kamba; “Manakala bagian-bagian luar dari suatu pusaran telah hancur dan yang tersisa hanya pusat porosnya maka yang tersisa disebut al baqiyyat al baaqiyah. Apabila daun-daun, ranting dan cabang-cabang suatu pohon telah berguguran dan yang tinggal hanya akar-akarnya maka yang tinggal disebut al baqiyyat al baaqiyah. Ketika para sahabat Nabi Muhammad SAW telah pada kembali ke pangkuan Illahi maka sahabat yang masih hidup disebut pula al baqiyyat al baaqiyah.”
Dan mana kala semua sudah terjerembab pada konsumerisme sebagai bentuk baru dari imperialisme maka (semoga) maiyah menjadi yang tersisa bertahan untuk menyemai benih-benih keillahian. Jika yang lain sibuk berdebat dan bertengkar demi eksistensinya masing-masing, biarlah Maiyah menjadi pejuang yang terakhir bahwa bukan pertengkaran yang penting, bukan eksistensi kelompok yang terpenting tetapi nilai yang jauh lebih penting entah kelompok mana yang memperjuangkannya.
Gambang Syafaat edisi Agustus kembali meneguhkan bahwa kita adalah khalifah yang berkemajuan dan sekaligus menjaga tradisi. Khalifah yang melintasi perjalanan bergerak ke depan untuk kembali. Wallahua’lam…