Tulisan ini saya mulai dengan sebuah kisah tentang mangga. Ada pohon mangga yang tumbuh di halaman rumah kita. Kemudian mangga itu berbuah banyak sekali. Kita memakan buah itu. Kita membagi-bagikannya kepada tetangga. Kemudian ada tetangga yang bertamu di rumah kita. Ia bercerita bahwa ia mampu memanfaatkan buah mangga itu sebagai saribuah mangga. Ia juga bercerita mampu memanfaatkan buah mangga sebagai obat dan lain sebagainya. Bagaimanakah sikap kita terhadap tetangga kita itu? Banyak pilihan. Kita bisa melarang dengan halus. “Tidak, saya ingin menggunakan pohon mangga ini sebagai amal saya kepada para tetangga.” Kita juga bisa menyerahkan kepengurusan mangga itu kepada tetangga kita.
Pertanyaannya adalah, apakah dengan menyerahkan, memasrahkan pohon mangga itu kepada tetangga kita yang bisa ini itu dengan mangga itu, kita menjadi tidak berdaulat? Menurut saya ya, kita menjadi tidak berdaulat atas mangga kita. Di sana ada bagi hasil dan lain sebagainya. Masalah timbul jika bagi hasil tidak adil, ada main belakang dan lain sebagainya. Sebenarnya jika ada akadnya dan kita sama-sama jujur terhadap akad di awal maka tidak timbul masalah. Masalah mangga ini nanti kita tarik lebih luas ke masalah Negara.
Saya mau cerita tentang pohon jambu. Di halaman rumah Bapak saya tumbuh pohon jambu air, jambu delima. Agar pohon itu berbuah dan buahnya bisa bagus maka harus dirawat. Disemprot dan dibungkus biar tidak terkena hama. Karena Bapak saya tidak sempat mengurus dan merawat pohon itu maka ketika ada orang datang menawarkan jasa merawat dengan syarat membeli saat panen disanggupilah oleh Bapak saya. Apa yang terjadi, setiap saat kami anak-anaknya hanya melihat jambu itu diunduh oleh orang lain berkarung-karung. Kami hanya diberi sedikit itupun dengan kualitas buruk. Uang yang diterima juga tidak pernah genap 100 ribu. Uang 100 ribu itu jika saya belikan jambu tidak dapat satu kardus. Padahal dulu dengan jambu itu keluarga kami bisa membagi cinta dengan para tetangga, teman yang berkunjung, hingga sahabat jauh.
Itulah yang sering terjadi dalam pembagian asset Negara kita bersama dengan pihak asing. Kita mendapatkan hasil yang kecil dibanding pihak lain. Mereka datang membuka lahan, menumbangkan pohon-pohon, mengeruk harta kekayaan, jika sudah rusak mereka pergi. Hartanya dibawa lari. Kita yang ditinggal menikmati tanah-tanah yang rusak. Kita yang harusnya menjadi pemilik itu malah dijadikan jongos, menjadi pembantu di rumah sendiri. Kita mengundang orang dari luar untuk menjadi bos dan kita mengikhlaskan diri menjadi budak. Mental kita dirobohkan digiring untuk percaya bahwa kita tidak mampu merawat bohon jambu, pohon mangga dan tidak diberi kesempatan untuk belajar. Setiap hari kita diteror agar kerdil pikir. Meminjam istilah Mbah Nun, peta kognitif kita dikendalikan.
Kita tidak mampu lagi membedakan mana tamu dan mana rampok. kebaikan hati kita dimanfaatkan sedemikian rupa dan kita dinina bobokkan dengan jargon-jargon. Kita disuruh mengalah, yang melawan itu buruk. Daya kritis kita dirusak.
Pagar adalah Negara untuk menjaga rumah bangsa. Dalam tradisi kita, pagar memang tidak tinggi-tinggi agar memungkinkan orang untuk bercakap-cakap dengan tetangga. Kita memang orang yang ramah dengan tetangga. Pagar juga digunakan untuk menyuguh tetangga. Malam hari pagar berupa buk, kita biasa ngopi bersama tetangga kita. Pagar yang terlalu rapat dan tinggi malah bisa menenggelamkan si pemilik rumah, tetapi sebagai tuan rumah yang baik kita harus paham gelagat tamu atau tetangga yang punya gerak-gerik sebagai rampok tadi. Seorang tamu atau tetangga yang sopan juga tidak akan melakukan hal yang tidak diijinkan oleh tuan rumah. Kita sudah kadung punya pepatah tamu adalah raja dan membiarkan para tamu yang berperilaku sebagai raja itu menginjak-injak rumah kita.
Kita juga punya khasanah tentang pagar mangkok. Pagar mangkok adalah kita setiap saat, jika punya bubur, punya kolak, punya lauk kita bagikan kepada tetangga di sekeliling rumah. Harapannya, jika ada pencuri di rumah kita saat kita pergi, para tetangga itu bisa menjadi pagar yang melindungi rumah kita. Tetapi lagi-lagi sial, para tetangga kita itu sudah tidak tahu diri. Tidak memiliki ilmu hikmah, inginnya dunia mereka kuasai. Khasanah kita tentang pagar mangkok, pagar buk, pagar sebagai hiasan tetap kita pahami dan hayati tetapi tetap hati-hati dengan para tetangga yang sudah bermuka globalisasi. (Muhajir Arrosyid)