Sepertinya saya terlewat bagian penjelasan rokok di awal #maiyahsemarang dengan judul Merti Tembakau di Balaikota Semarang. Selain sibuk memposisikan diri mencari ‘sinyal’ terkuat sembari berdiri, juga harus menyelesaikan beberapa urusan dunia. Begitu fokus didapat, tertangkaplah anjuran Mbah Nun untuk membahagiakan oranglain. Tetap senang di posisi menikmati peran. Jualan di warung dengan niat membahagiakan pelanggan. Sesederhana murah senyum, tidak terlalu banyak ambil laba, sampai memberi perhatian agar bisnis tak sebatas mencari uang tapi juga saluran mempererat persaudaraan.
Sehat Pikiran Penentu Sehat Badan
Memasuki tema, Mbah Nun mengatakan yang merusak tubuh bukanlah tembakau melainkan situasi dan kondisi si konsumen. Jika memang sedang kurang fit sebaiknya batasi diri mengkonsumsi dengan cara membakar dan menghisapnya. Toh dirasakan juga tidak senikmat saat sedang segar bugar. Keburukannya juga ada pada porsi menghabiskan selinting setan menurut Taufik Ismail itu. Kalau dalam sehari habiskan tiga karton rokok tentu saja berakibat jelek dan instan dampaknya. Ketentuan ini tidak hanya berlaku untuk tembakau, tapi juga beras sekalipun akan bawa penyakit jika dikonsumsi secara berlebihan. Semua harus adil dalam porsinya.
Sedikit disinggung rahasia sehat ala Nabi Nuh. Tidak seluruhnya melainkan secuplik konsep darinya. Salahsatunya adalah memahami bahwa dokter hanyalah patih. Si pasien itu sendiri adalah raja. Itulah kenapa dokter selalu bertanya apa keluhan si pasien. Oleh karena itu, manusia harus belajar untuk mengatur diri sendiri. Mulai dari menempatkan segala sesuatu sesuai kebutuhan, berhenti jika hanya sebatas keinginan. Sebab bagaimanapun tetap manusia juga yang akan memanen hasil perbuatannya.
Salahsatu caranya adalah memberdayakan kegunaan lidah dan mulut untuk mendeteksi apapun yang masuk tubuh. Setiap hari kita disarankan untuk memperhatikan tubuh agar tahu tiap perbedaannya. Perubahan tadi harus dirunut kenapa bisa terjadi untuk menentukan sikap selanjutnya. Kalau memang menandakan untuk puasa pada rokok misalnya, segera turuti. Terpenting jangan memanjakan tubuh dengan obat-obat kimia. Dipaksa terlebih dahulu untuk mengobati diri sendiri. Tentu didukung dengan bahan alami yang mudah ditemui.
Ada jenis pengobatan yang tidak bisa melalui suntikan, obat, dan lain-lain. Salah satunya hanya bisa lewat asap. Orang Nusantara menemukan rokok sebagai bagian terapi kesehatan. Maka jika ada yang mengharamkan tembakau, berarti ia menantang Tuhan. Tak lain karena Gusti Allah tidak pernah menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Semua ada manfaatnya selama manusia terus belajar dan tidak putus asa dalam mempelajari ilmu-Nya. Termasuk saat orang Jawa tahu cara memanfaatkan mlinjo. Di Timor-Timor tidak ada yang memanfaatkan sebab tidak tahu caranya.
Definisi ibu yang meliputi melahirkan dan menyusui anak pun dipaparkan Mbah Nun sebelum permainan dolanan anak zaman old. Bahkan menyusui termasuk kewajiban yang mesti dilakukan oleh ibu pada anak. Tidak lantas berkilah karena sibuk mempercayakan gizi anak pada susu sapi yang dikemas aneka rupa. Tetap ada niat untuk memberikan ASI eksklusif kecuali ada sebab yang tak bisa ditawar lagi. Konsep ini berlaku juga untuk merawat kesehatan tubuh masing-masing individu.Tak hanya memiliki raga tapi juga memahami apa yang akan menjaga kesehatan dan merusaknya.
Mengurai Sangkan-Paran Pro-Kontra Tembakau
Sumber geger pelarangan penanaman tembakau sendiri berasal dari kebencian. Sebelumnya Mbah Nun menyebut ada 10 makluk penghuni Indonesia yang terpenjara benci. Akhirnya benci itu tadi membutakan mata dengan cara fanatik. Seperti yang dibiasakan oleh materialisme, memandang hanya dari sisi yang bisa dilihat saja. Begitu menyaksikan ada perbedaan langsung menghakimi tanpa memberi kesempatan untuk munculnya rasa ingin tahu. Tabayun yang disarankan Quran ditinggalkan hanya untuk turuti nafsu merasa benar sendiri.
Padahal walau manusia sendiri memiliki kesamaan satu sama lain, tetap ada bagian-bagian yang berbeda. Itulah keunikan yang Gusti Allah ciptakan. Anak kembar identik saja tidak memiliki kesamaan sidik jari, apalagi watak dan kondisi spiritualnya. Bagi raga manusia suhu udara 35 derajat Celcius saja bisa berdampak macam-macam. Si Anu mungkin kepanasan, si Ane malah bisa kedinginan. Dalam peristiwa lain pun dengan mudah bisa ditemui fenomena sejenis. Merujuk pada alasan Gusti Allah menciptakan manusia berbeda-beda hanya untuk saling mengenal.
Pemerintah yang seharusnya menjadi penengah malah membuat permasalahan makin ruwet. Dari dulu tidak mau belajar. Maunya enak sendiri tanpa peduli kaitan satu dengan lainnya. Perkara tembakau misalnya, hanya melihat dari kacamata kesehatan yang itupun penelitiannya sangat terasa bias. Belum jelas titik temu, dalam artian masih terdapat pertentangan di antara ilmuan, pemerintah sudah menetapkan bahwa tembakau merusak kesehatan. Padahal tembakau sudah mengangkat perekonomian bergenerasi petani menuju nafkah hidup yang lebih baik. Tembakau mampu memandirikan rakyat tanpa bebani negara sedikitpun. Justru negara yang diuntungkan sebab pendapatan dari pajak tembakau sepuluh kali lipat lebih besar dari yang diberikan Freeport. Hasil tumbuhan lebih menghidupi negara berikut aparatnya daripada segunung emas.
Di dunia ini tidak ada yang mutlak jelek atau bagus, sehat atau sakit. Ada konteks untuk masing-masing. Salat Subuh jam 12 jelas haramnya, tapi saat masih pukul lima dini hari hukumnya masih wajib. Oleh karena itu jangan langsung menghakimi pendapat seseorang hanya karena berbeda dan keluar dari kewajaran. Harus ditelusuri apa sangkan paran, sebab-tujuan, pendapat tersebut keluar. Termasuk menelisik kehidupan pribadi pemberi pendapat sebab seringkali sisi manusiawi mempengaruhi penilaian.
Quran pun sediakan dalil bagi yang pro tembakau. Misalkan dalam Surat Ali Imran ayat 191, maa khalaqtahaadzaa baatilaa, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Selain itu juga dilengkapi dalam An Nisa ayat 19, mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. Kedua ayat tadi seyogyanya menjadi pegangan agar kita tidak bersikap menang sendiri, apalagi hanya berdasarkan opini orang lain. Harus menempatkan segala sesuatu pada posisi adil. Jika tetap ngotot menang sendiri maka bersiap untuk kualat sebab melawan Gusti Allah.
Mbah Nun meng-qiyas-kan rokok dengan konsep yang syirik bukan pada patung, kemenyan, dan lain-lain. Syirik justru ada pada niat di hati saat akan, tengah, dan telah melakukan suatu perbuatan atau sekadar perkataan. Sayyidina Umar bin Khattab dengan enggan mengecup Hajar Aswad. Melakukan karena Kanjeng Nabi lakukan hal serupa.
Malaikat dan alam 100% diatur Gusti Allah. Diikat dengan aturan main yang ketat. Lain dengan manusia yang dilepas, tidak diikat. Maka fungsi sekolah atau belajar adalah menemukan ikatan yang bisa membatasi diri. Hasilnya, ikatan tiap orang berbeda-beda tergantung pengetahuan-pengalaman yang dimiliki. Tak seperti pemerintahan Indonesia yang seperti kambing lepas. Tidak diikat dan tidak mau mencari ikatannya. Lain dengan orang Thailand yang menurut Mbah Nun menang di empat sifat nabi yaitu sidiq, amanah, tabligh, dan fatanah. Indonesia kalah di situ.
Menengahi Ambil Pajaknya Tolak Produknya
Salahsatu manfaat maiyahan untuk Indonesia adalah mempersiapkan generasi baru, bukan lagi generasi penerus. Regenerasi dicarikan model paling kekinian, termasuk berkaca pada Kiai Kanjeng yang mengalami hal sama. Generasi yang adaptif pada sekitar tapi tidak kagetan, apalagi berebut klaim kebenaran. Mbah Nun mengajak jamaah yang memenuhi halaman Balaikota Semarang itu untuk ingat ada beberapa lapis kebenaran. Dimulai dari benarnya sendiri, benarnya oranglain, dan dipungkasi benar yang sejati. Ketiga kategori tadi bisa dijadikan patokan agar tidak gampang menghakimi siapapun.
Menilai rokok juga demikian. Kita tidak bisa menerima keputusan yang kebenarannya sendiri belum jelas. Buktinya masih banyak perdebatan bahkan di lingkaran profesi bersangkutan. Begitu juga peristiwa lain yang seringkali tiba-tiba menggegerkan rakyat senegeri. Harus hati-hati sebelum mengiyakan atau menolak informasi. Kretek misalnya, hanya ada di Indonesia yang berisi tembakau terbaik di dunia. Di Belanda harga kretek impor dari Indonesia mahalnya bukan main.
Pertengkaran sehat versus tidak sehatnya rokok harus ditengahi sebab kontra produktif. Mbah Nun usulkan diadakannya penelitian dari kedua belah pihak dengan data yang kuat dan jujur. Harus berani melawan di panggung yang sama. Industri kretek sangat bisa membuat penelitian kaliber dunia untuk mengimbangi penelitian kubu anti rokok. Jika memang rokok dilarang sebab tembakaunya dicap merugikan, harus dicari cara agar tembakau keluar manfaatnya. Jangan malah melarang petani untuk menanam tembakau. Pelarangan itu sama saja menantang Allah karena Dia tidak pernah menciptakan sesuatu tanpa manfaat. Serius sekali hal ini karena bisa kualat senegeri akibatnya.
Jalan tengah berupa adu penelitian objektif memang mustahil sebab ada kepentingan perebutan pasar dari perusahaan-perusahaan multinasional. Dalam kampanye anti rokok, Mbah Nun menengarai yang diserang adalah rokok kretek berisi cengkeh. Tak lain karena cengkeh hasil tanam di Indonesia memiliki mutu terbaik di dunia. Pamornya sudah melegenda di dunia sedari ribuan tahun silam, hingga bangsa-bangsa Eropa berdatangan hendak memonopoli pasar. Tak hanya cengkeh, mi instan buatan Indonesia pun demikian. Di bumbunya ada kandungan kelapa yang lagi-lagi juga terbaik di dunia kuantitas maupun kualitasnya.
Mbah Nun sudah perjuangkan kebebasan berjilbab di era 80-an. Salahsatunya lewat Lautan Jilbab. Melobi ke pengusaha-pengusaha yang larang karyawan kenakan jilbab. Padahal saat itu keluarga beliau belum berjilbab, masih sebatas kerudung. Pembelaan itu hadir bukan karena sebagai pemakai jilbab melainkan perjuangkan kebebasan manusia untuk memilih. Ketika kini jilbab ada di mana-mana, sedikitpun tak ada yang mengeskspose perjuangan beliau di masa lalu. Wajar jika beliau beranitegas berujar merokok atau tidak, bukan masalah lantaran sudah terbiasa puasa. Terpenting berjuang bukan untuk kepentingan. Hanya untuk menyelamatkan semua pihak, termasuk kepada pengusaha juga penguasa agar bisa adil.
Berjuang demi kepentingan akan rontok dengan sendirinya. Lain jika demi Allah, akan dikalilipatkan energi dan hasilnya. Beliau mengatakan yang telah menjadi pengalamannya puluhan tahun menengahi entah berapa banyak konflik. Dari yang sekadar aksi bela sampai bakar-bakaran senegara.
Jika bisa bijak berpendapat, alangkah damai ini, kan?