Sepanjang ingatan saya sejak baligh atau berakal, entah berapa kali menikmati kualat. Semua selalu seputar apa yang disepelekan malah menjadi diutamakan. Dari masa remaja yang penuh pemberontakan dipungkasi pencarian kebenaran sampai saat sudah berumahtangga dan dibenturkan pada batasan khas manusia kekinian. Istilah kualat tadi saya pegang begitu bahkan isteri pun sampai paham.
Salahsatu kualat tadi adalah pertemuan dengan maiyah. Bertahun-tahun memiliki video Kenduri Cinta unduhan Youtube yang dipaksa copas oleh kawan, tak sudi menonton. Alasan idealisme bahwa Indonesia tak butuh forum diskusi menjadi salahsatu motif. Termasuk anggapan pengkultusan pada sesosok Emha Ainun Nadjib yang pada waktu itu kunilai tak ada bedanya dengan budayawan sekalibernya. Namun apa mau dikata, entah sebab apa tertonton juga video-video itu.
Meski semasa kecil ditemani sholawat-sholawat Kiai Kanjeng, tapi tak tergugah apapun selain lantunan ‘istigfar’ yang sukses memeras air mata dan menyayat hati. Barulah kali itu nalar kembali jalan dan menemukan sosok nyentrik dengan pemahaman yang menyeluruh. Termasuk penguasaan teknik penyampaian gagasan yang jarang dipunyai pembicara. Ketertarikan pada guyonan termasuk menyelipkan isu terbaru itulah sumber kecanduanku pada maiyah.
Dinamika bermaiyah pun tak luput diwarnai berbagai pola. Kala anak masih batita harus rela menikmati maiyahan di saluran-saluran streaming. Perhitungan ekonomis pun dipikir matang seperti dibanding untuk beli bensin beserta kopi juga cemilannya tak sebanding dengan harga paket internet. Selain sebagai ayah siaga juga kondisi pikiran yang terpecah pada banyak bidang. Maiyah saya jadikan pelarian menikmati kesendirian di tengah malam. Me-time, kala itu.
Pola kedua berlangsung ketika anak beranjak sekolah TK. Meski tak punya asisten rumah tangga lagi demi menjaga kedaulatan mengasuh anak, herannya justru bisa maiyahan di mana-mana. Ini hal di luar nalar termasuk keikhlasan isteri melepas suaminya menaikturuni gunung demi bertemu seorang Cak Nun. Bahkan pengorbanan supaya muwajjahah atau bertatap muka itu terasa seperti nostalgia saat awal bertemu isteri bahkan sampai sekarang. Rela menembus situasi dan kondisi apapun tanpa merasa letih.
Ketika jarak tak mungkin ditempuh sebab keesokan paginya harus mengantar-jemput anak ke sekolah, livetweet saya jadikan sarana. Menyimak dan mengungkapkan ulang dengan pemahaman yang saya tangkap sebelumnya. Ada semangat militansi saat turut serta meramaikan tagar di tiap simpul maiyah. Termasuk kaget saat kata ‘Mbah Nun’ menjadi trending topic dan akun twitter saya dianugerahi sebagai yang paling banyak menyebutkannya.
Kini pola ketiga tengah saya lakoni yaitu mengunjungi simpul-simpul maiyah tanpa menunggu ada Mbah Nun atau tidak. Ikhlas menyambung tali silaturahim sebagai sesama saudara yang resah melihat kondisi. Pegangan perkataan Imam Ghazali bahwa resah adalah awal hidayah selalu saya ulang. Termasuk saat menemani kawan yang naik motor dari Batang untuk hadir Suluk Maleman di Pati. Saya bersedia menjadi joki untuk memuliakan dia sebagai tamu yang bersemangat mencari ilmu.
Kualat saya merutuki jalan sunyi ala Mbah Nun adalah melakoninya juga. Seorang diri menempuh jalan-jalan rawan kejahatan maupun kecelakaan sudah tak gunakan perhitungan nalar. Murni cinta pada Allah dan Kanjeng Nabi melalui Mbah Nun yang dengan luwes mengajak meresapi laku segitiga cinta itu. Derasnya hujan, kencangnya angin, sampai dinginnya jalanan pun tak mampu melemahkan raga yang secara logika akan ambruk dihajar keadaan.
Saya teringat tulisan Mbah Nun dalam daur,
“Kenyataan hidup ini tidak terbatas pada yang kalian ketahui, karena jauh lebih banyak dalam kehidupan hal yang tidak kalian ketahui. Kenapa kita sering kaget? Karena kita terlambat tahu bahwa ada fakta yang tidak kita ketahui…” Daur-II 258 Kami Ini Lebih Pribumi.
Kualat yang saya alami adalah karena mengesampingkan kenyataan hidup yang sering datang tanpa sangka. Sedari kecil selalu gunakan perhitungan matematis serba rinci untuk memastikan hasil sesuai perencanaan. Selama sekolah sampai kuliah rumus tersebut manjur sampai akhirnya menjelang pertemuan dengan maiyah di mana kebiasaan yang membentuk cara berpikir itu rontok seketika. Menjumpai kenyataan hidup yang tak sedikitpun terbersit dalam prediksi membuat kaget dan terlambat menghikmahinya.
Bagaimanapun, tiap peristiwa dalam hidup memang bertujuan mengajak manusia mendekat pada Tuhan, kan? Termasuk cara saya yang dicelupkan dalam kualat-kualat untuk akhirnya bisa menemukan ketenteraman di atmosfer maiyah.