Tulisan ini saya mulai dengan sebuah pertanyaan, mengapa dan bagaimana kita bisa kehilangan nilai-nilai pengayoman yang dulu melekat pada budaya kita? ‘Mengapa’ menuntut jawaban sebab dan ‘bagaimana’ menuntut jawaban proses.
Sifat asih kita kepada tetangga kita pada zaman dulu demikian besar maka kita kenal istilah sambatan. Jika ada saudara kita yang sambat, punya masalah, punya ‘gawe’ maka kita meninggalkan pekerjaan kita sendiri dan membantu ‘gawe’ tetangga itu secara bersama-sama. Hari ini kita kehilangan itu, selokan tempat air mengalir saja kita biarkan mampet. Ada dompet tertinggal sebentar di tempat umum langsung hilang tanpa jejak.
Jiwa pengayoman itu luntur seiring dengan tumbuhnya keinginan untuk menjadi pemenang di antara kita. Orang yang ingin menang secara otomatis ia membutuhkan orang lain untuk dikalahkan. Kita dididik oleh film hollywood dan struktur narasi cerita-cerita yang selalu memunculkan dua dikotomi yaitu tokoh antagonis dan protagonis, baik dan jahat.
Kemudian kita menempatkan diri kita dan orang yang ada di kelompok kita sebagai orang yang benar dan orang baik, di luar itu kita membutuhkan musuh yang harus dikalahkan. Maka orang lain kafir, liberal, PKI, munafik, zionis, dan lain-lain.
Kelompok yang satunya juga menganggap dirinya adalah kelompok yang baik dan benar, menempatkan diri sebagai tokoh protagonis dan menganggap kelompok lain sebagai antagonis semisal dengan cap ekstrimis. Kemudian yang paling menyedihkan, kita dan kelompok kita merasa yang paling dekat dengan Tuhan dan menganggap surga itu sempit dan tak muat untuk kelompok lain. Maka dakwah tidak lagi mengajak tetapi menuding ‘salah’ dan ‘sesat’.
Sejak kapan kita dididik untuk menjadi pemenang dan membutuhkan orang lain untuk kalah, untuk kita inferiorkan, untuk kita tertawakan, kita injak-injak itu? Sebelum diajari oleh narasi cerita-cerita antagonis-protagonis itu, sekolah kita dari usia PAUD sudah menggiring kita pada iklim menang kalah seperti itu.
Di sekolah kita diberi nilai. Ada nilai 6, 7, 8, 9, 10. Kita didoktrin untuk mendapatkan nilai tertinggi. Kita disuruh menjadi yang terbaik di kelas dengan mendapatkan peringkat satu. Kita disuruh menjadi pemenang dan mengalahkan teman-teman kita sekelas. Setelah meraihnya orang tua kita bangga setengah mati.
Pendidikan warisan barat melalui kolonialsme inilah yang secara sistematis merenggut dan memusnahkan nilai-nilai pengayoman. Kita tidak percaya diri mengembangkan sistem pendidikan kita yang telah kita miliki, seperti pesantren misalnya. Dulu, di pesantren tidak ada nilai apalagi peringkat. Belajar tidak ada batasan waktu. Sistem fakultas juga diterapkan di pesantren sejak dini. Seseorang yang ingin mendalami fikih maka dia akan memilih di pesantren mana, seseorang yang ingin mempelajari Bahasa Arab maka dia akan memilih pesantren mana, seseorang yang akan belajar Al Quran-Hadist mereka akan memilih pesantren yang berbeda. Seseorang dinyatakan lulus juga tidak berdasarkan lamanya belajar tetapi berdasarkan keputusan Kyai. Jika Kyai menyatakan lulus maka sang santri akan diarahkan terjun ke masyarakat.
Bandingkan dengan sistem sekolah. Fakultatif dilakukan baru ditingkat universitas. Sejak SD anak-anak diberi pelajaran yang seabrek banyaknya. Waktu belajar dibatasi maka dibutuhkan kurikulum. Sistem kurikulum justru sering membelenggu karena pembelajaran menjadi tidak tuntas.
Pendidikan yang golnya adalah nilai berupa angka dan peringkat itu melahirkan budaya angka atau materialisme. Saya ingin mengutip Mbah Nun terkait materialisme dalam tulisan di rubrik tajuk berjudul Dialektika Damai dan Keadilan. Katanya, materialisme kalau ada kasus korupsi yang yang disesali adalah hilangnya harta kita. Kasus korupsi dipandang sebagai materialisme. Kita tidak sedih karena turunnya moral, kualitas kepemimpinan. “Yang membuat kita sedih, manusia kok mencuri.”
Kita perlu berpikir apakah pesantren yang harus mengadopsi sistem pendidikan kelas ala barat, atau sistem pendidikan nasional yang harusnya meniru pesantren. Saya ingin mengutip pidato presiden pertama kita Sukarno saat mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dalam ilmu Usuludin jurusan dakwah dari IAIN pada 2 Desember 1964. Begini kata beliau: Lepaskan diri saudara-saudara daripada djiwa yang saja tadi namakan djiwa pesantren. Lepaskan djiwa Saudara daripada djiwa jang demikian itu tetapi naiklah keangkasa setinggi2-nja. Naik keangkasa setinggi-tingginja laksana burung elang Radjawali. Eh, lihat seluruh dunia. Lepaskan saudara2 punya pikiran hanya dari lingkungan pesantren”.
Atas pidato P.J.M. Presiden/ Pimpinan Besar Revolusi maka departemen agama merasa perlu menyelenggarakan sebuah seminar yang diberi nama Seminar Pondok Pesantren Seluruh Indonesia tahap pertama yang diselenggarakan pada bulan Juli 1965 di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Seminar ini untuk merespon andjuran P.J.M. Presiden Soekarno. Dalam seminar itu para pengasuh pondok pesantren diundang untuk merumuskan kurikulum pesantren yang dianggap sudah usang. Ada juga tawar menawar berapa persen ilmu umum dan berapa persen ilmu agama, sistem kelas yang akan diterapkan di pesantren, dan lain sebagainya. Malai itulah penjajahan kedaulatan pesantren dimulai. (Muhajir Arrosyid)