blank

Menarik  membaca tulisan dari Muhajir Arrosyid –Krisis Kedaulatan dan Hilangnya Nilai Pengayoman-, saya sama sekali tidak menyangkal beberapa kemungkinan yang diuraikan mengapa nilai pengayoman dengan bentuk tradisi sambatan berangsur-angsur hilang. Saya mencoba menambahi kemungkinan yang lain, kemungkinan yang menurut saya alamiah. Saya tumbuh di keluarga yang tidak kaya, tapi juga tidak bisa dibilang miskin. Saya melihat keluarga dan lingkungan di sekitar saya hidup guyub. Saya punya asumsi sederhana, keluarga yang pas-pasan cenderung menghasilkan pribadi yang mempunyai nilai pengayoman.

Bagaimana asumsi itu terbangun? Saya mencoba cerita masa kecil saya saja, keluarga dengan enam anak, dengan selisih umur dikisaran 3 tahun, dan penghasilan keluarga yang pas, tidak memungkinkan ayah saya untuk memberikan semua kebutuhan ke masing-masing anak satu-satu. Maksud saya begini, di keluarga saya tidak ada sepedanya kakak, sepeda adik. Saat misalnya musim badminton, tidak ada istilah raket kakak, raket adik, raket saya. Atau yang paling sederhana saja, kaos dalam, karena sebaya, saya dan kakak saya terbiasa saling “ijolan”, karena memang tidak ada istilah kaos dalam saya dan kaos dalam kakak. Tentu beberapa hal ada semacam “hak milik pribadi”, semisal buku pelajaran. Tidak mungkin saya berbagi buku tulis  pelajaran dengan kakak saya, tapi jelas saya adalah pewaris buku pelajaran yang sudah dipakai, dan saya akan juga akan mewariskan buku pelajaran ke adik saya. Dahulu belum ada jaman LKS yang setiap tahun harus beli, zaman saya sekolah buku pelajaran bisa di wariskan kepada adik atau tetangga.

Saya katakan alamiah karena mau tak mau, karena kami tidak diberi raket satu satu, tidak diberi sepeda satu satu dan seterusnya, kami melakukan kompromi, kami melakukan regulasi agar sama-sama bisa menikmati raket, menikmati sepeda. Tentu saat itu ada juga semacam perseteruan antar kami karena satu barang menjadi “hak milik bersama”, tetapi karena tidak ada solusi lain selain melakukan “mekanisme kebersamaan” secara alamiah kami terbiasa berkompromi dan tidak egois. Kebiasaan yang terbangun karena keadaan lama-lama menjadi semacam dalam bahasa Muhajir Arrosyid “nilai pengayoman” yang melekat.

Berbeda dengan keluarga yang kaya, setiap anak akan diberikan haknya secara privilege. Saat musim raket, tentu dengan kemampuan logistic yang ada, sang ayah membelikan raket kepada masing-masing anak satu-satu. Saat mengajak ke restoran, tidak ada istilah “barengan”. Setiap anak diberikan menu sesuai dengan kehendak anak. Tidak ada istilah pergiliran sepeda, karena setiap anak memiliki sepeda. Dengan keadaan seperti itu, secara tidak disadari, menumbuhkan sikap egois, tidak peka terhadap orang lain, tidak membutuhkan orang lain, dan tentu tidak ada jiwa mengayomi.

Itu hanya sebuah asumsi, tentu tidak bisa dijadikan rumusan mutlak. Sangat banyak orang yang berjiwa mengayomi lahir dari keluarga kaya, yang dididik sejak dini untuk memberi. Tidak sedikit orang yang egois yang lahir dari keluarga miskin, yang karena kemiskinannya, cita-cita hidupnya adalah balas dendam untuk menjadi kaya tanpa menghiraukan kanan kiri.

Cak Nun pernah melontarkan pertanyaan menggelitik, pilih mana hidup di lingkungan bertetangga yang jika anda melakukan sesuatu selalu dikomentari, dirasani, dikritisi atau hidup di lingkungan bertetangga yang “nafsi-nafsi”, yang saling cuek? Manakah yang komunitas, mana yang sekedar gerombolan? Dimana yang terdapat benih pengayoman diantara dua model bertetangga itu?

Ternyata begitu luas kemungkinan hidup manusia, semoga kita bisa mempertahankan hal yang baik dimasa lalu, dan menginisiatifi hal yang lebih baik di masa datang. Mudah diucapkan, tapi tidak mudah diterapkan, bukan?