Ada tiga patokan bagaimana menyikapi informasi yaitu yang harus dibuka, tidak boleh dibuka, dan dipastikan dulu kelayakannya. Informasi wajib disebarkan jika menyangkut kedaruratan dan kepentingan bersama. Adapun yang tidak layak tebar adalah jika hanya berisi cela perorangan. Sedangkan yang belum pasti statusnya harus diteliti lebih dalam supaya menemukan ketepatan. Agar lebih cepat bereaksi dan spontan dibutuhkan latihan tanpa henti.
Kita memang perlu iqra’, membaca informasi yang harus dibuka agar lebih tepat bereaksi. Kriteria yang harus dibuka adalah yang mendesak menyangkut hidup-mati, pemenuhan kewajiban, sampai hajat hidup orang banyak. Soal hak boleh dikejar asal niatnya hanya untuk menghindari pergunjingan di belakangnya. Inilah yang Kanjeng Nabi lakukan selama periode Uzlah beliau, yang tak dilakoni lagi pasca mendeklarasikan dakwah. Memilah permasalahan lantas memilih yang paling harus segera disikapi.
Mbah Nun menghendaki maiyah untuk menghindari perdebatan yang tak perlu. Hal itu beliau sampaikan dalam Gambang Syafaat 25 Oktober 2017 di halaman Masjid Baiturahman Semarang. Membiarkan begitu saja yang tak perlu dengan gunakan skala prioritas. Tujuannya tak lain untuk hemat energi supaya tak mudah habis. Hal ini mengambil salah satu wejangan Kanjeng Nabi yang melarang umatnya memasuki area perdebatan. Bahkan lebih lanjut diberi saran untuk serahkan permasalahan kepada ulama, atau yang ahli di bidangnya.
Mbah Nun berkelakar bahwa beliau bisa berkilah dari berbagai pertanyaan sebagaimana Kanjeng Nabi contohkan. Pernyataan seperti ‘aku ini Nabi, kok kamu tanya soal kurma. Kamu lebih tahu tentang itu daripada aku’. Tapi Mbah Nun memilih untuk mengajak dialog siapapun dan tak meremehkan masalahnya. Selain bentuk menghargai lawan bicara juga yang bersangkutan melontarkan pertanyaan juga dikarenakan digerakkan oleh Allah juga.
Walaupun ajaran untuk meninggalkan sesuatu yang tak diketahui akibat-manfaatnya tetap dilaksanakan. Soal hoax misalnya harus hati-hati bersikap. Jika fikih atau masalah sejarah masih bisa melalui jalan diskusi sebab memilih aturan main yang ketat di ranah akademisi maupun budaya, tapi hoax? Selain masuk ke wilayah pseudoscience yang tidak jelas sangkan-parannya, juga malah berpotensi mengarah ke perdebatan tanpa dasar. Maka wajar jika meninggalkan yang demikian sangat dianjurkan dengan tetap melihat kadar etis silaturahim.
Termasuk maiyah tidak memasuki ribut-ribut soal bumi datar versus bumi bulat. Ditambah lagi Nabi Adam punya pusar atau tidak, sebab tak dilahirkan dari rahim ibunda. Persoalan semacam itu yang hari-hari ini begitu heboh diperbincangkan di mana-mana tak perlu ditanggapi dengan serius dan fokus. Lantaran bagaimanapun apa yang disampaikan tidak jelas sumber data dan metode klarifikasinya. Padahal energi dan konsentrasi yang sama akan lebih bermanfaat jika dialihkan untuk mengulik bab reklamasi, misalnya.
Jadi, tabayyun pun harus pilah-pilih. Tak semua harus diklarifikasi kebenaran sampai kesalahannya. Mencari yang sejati, tak semata apapun yang di depannya dipikir secara mendalam. Apalagi jika hal-hal tersebut di kemudian hari tak berguna dan sia-sia. Lebih baik dipakai untuk mengurusi kebutuhan diri sendiri agar bisa lebih mandiri dari berbagai sisi. Ada kisah di abad pertengahan di mana seorang kakak bekerja keras untuk biayai kebutuhan adiknya yang ahli ibadah. Rupanya di Pandangan Allah sang kakak lebih mulia kedudukannya.
Mbah Nun pernah bercerita tentang seorang wali yang tinggal di rumah beliau sedari belia. Berani prihatin dengan makan bukan nasi bertahun lamanya sampai akhirnya mencapai posisi diagungkan masyarakat sekitar. Sampai digiring ke makam di malam hari pun menurut semuanya. Sampai suatu hari Ibunda Mbah Nun mengutarakan kegelisahannya pada geliat hati sang wali. Beliau mengatakan, ‘Seisi rumah terima makan nasi, cuma kamu yang beda. Aku harus mencarinya sampai luar kota untuk tanggung urusan perutmu sekeluarga. Berarti harusnya aku lebih wali darimu.’
Bak ditimpa bumi, sang wali langsung tersungkur baik fisik maupun jiwanya. Dalam beberapa waktu kemudian ia meninggalkan dunia untuk selamanya. Berkaca dari kisah kakak-adik di abad pertengahan tadi, Mbah Nun sudah menjumpai secara langsung betapa skala prioritas bahkan menyangkut ibadah pun perlu di disiplinkan. Meskipun nanti akan kembali ke kehendak pribadi versus kehendak-Nya. Apakah membuat-Nya mengikuti keinginan kita atau malah kita ikut saja pada ketentuan-ketentuan-Nya.
Indonesia saat inipun tengah hadapi masalah serupa. Keteledorannya merespon skala prioritas buatnya kepayahan sampai ratusan tahun ke depan. Dalam lakon Rahwana yang dihukum dengan dihimpit dua gunung. Mirip Sun Go Kong dalam mitologi Cina. Hanya saja yang menghimpit Indonesia adalah Amerika-Cina atau yang sering digelari sebagai raksasa dan naga. Pertanyaan introspeksi diri selanjutnya adalah apakah Indonesia layak dibegitukan Allah? Rakyatnya dipenjara situasi dan kondisi Indonesia atau malah seperti cahaya rembulan yang memancar di antara deretan mendung?
Sudah begitu Indonesia merasa tak butuh dibantu maiyah meski ia terjepit masalah lintas generasi. Maka kita pakai maiyah untuk diri kita sendiri, Indonesia dijatah kemudian. Maiyah adalah sumur yang kita timba sendiri airnya untuk padamkan kebakaran-kebakaran di sekitar. Bukan malah menjadikan maiyah sebagai alat untuk memadamkan panasnya keadaan. Maiyah harus menjadi karakter tiap manusia yang ingin terjun ke kobaran api. Membasahi diri agar tak sudah menolong malah ditodong.
Mbah Nun bahkan menegaskan bahwa maiyah tak bisa sembuhkan penyakit Indonesia. Bukan maiyah kurang ampuh, tapi Indonesia yang belum mau menerima maiyah. Bagaimana mungkin akan sembuh dari sakit jika percaya pada obatnya saja tidak? Jika Jamaah Maiyah memaksa menyuntikkan maiyah pada Indonesia, yang terjadi justru penolakan dengan keras. Percuma, sebab inti dari berbagai pengobatan adalah kepasrahan yang didapat dari saling percaya.
Kembali ke soal Indonesia dan sakit komplikasinya. Tidak mungkin mengobati Indonesia justru dengan obat yang dibuat oleh ia yang membuat sakitnya. Harus dilihat ke belakang sejak kapan negeri ini mengalami kemunduran sedemikian rupa. Katakanlah lewat patokan sastra di mana Ronggowarsito menjadi pujangga Nusantara terakhir. Tak lain sebab untuk mendapat gelar pujangga tadi memang berat luar biasa latihannya. Tak kalah berat dibanding Kawah Candradimuka untuk menjadi ulama di bidang fikih maupun tasawuf.
Sudah menjadi laku keseharian untuk selalu menentukan skala masing-masing. Ilmu puasa penting diajarkan sedari Adam pada Buah Khuldi sampai Nabi Muhammad dengan beragam puasa yang beliau lakoni. Puasa tadi adalah pembiasaan pada batasan-batasan. Bahwa hidup tak seenaknya sendiri, harus menghormati oranglain bahkan hal yang tak bisa dinalar saat ini. Itulah kenapa dalam istilah Jawa muncul konsep ‘empan papan adepan’. Harus memperhatikan ketepatan momentum apa, tempat, dan pihak yang dihadapi.
Dalam Islam laku ini terwujud sempurna dalam hal adab menerima tamu. Sebuah kewajiban untuk memahami kapasitas orang yang hadir di ruang tamu. Tujuannya agar tercapai kadar pas sesuai kebutuhan saat menyuguhkan sajian. Tidak dibuat kehausan, kelaparan, apalagi kekenyangan. Bahkan Kanjeng Nabi sarankan memberikan air dingin pada tamu yang baru datang dari jauh dan datang tepat siang hari.
Toh kita maiyahan juga untuk menunggu hijrahnya karakter Kanjeng Nabi ke dalam diri. Baik berperan sebagai Ansor, Muhajirin, atau malah keduanya sekaligus. Kita merdeka dengan cara kita sendiri sebab memang begitulah tuntunan dalam mengenali Pencipta salah satunya melalui yang dicipta dulu. Termasuk dalam menyikapi apakah Erdogan lebih kejam dari Hitler atau tidak. Tak lain karena ia meminta semua lawan politiknya yang bergerak di dunia pendidikan seantero jagad untuk dipulangkan supaya bisa langsung dipenjara.
Kiamat sendiri bisa terjadi besok pagi, bisa juga 3.000 tahun lagi. Jangan fokus mempeributkan waktunya tapi perbuat sebisa apapun sekarang juga. Sesepele menanam biji kurma sebagaimana wejangan Kanjeng Nabi. Prinsip yang anti putus asa pada situasi dan kondisi. Harus terus hijrah dalam suasana berbaik sangka pada Allah. Bukankah Kanjeng Nabi terus lakukan misi-misi meski sudah tahu jatah umur raganya sudah mendekati akhir?